PASAL KE-5
KH Imadudin Menjawab Soal: PENETAPAN NASAB DENGAN CARA ISTIFADLAH
Pakar nasab Syaikh Husain bin haidar al-hasyimi
mengatakan dalam kitabnya Rasa‘il fi ‗Ilm al-Ansab:
الطريق الأول : اسْتفَاضَة النسب وشهرتو في
بلده، شهرة تثمر علماً، واستفاضة بتُ عددٍ مِن الناسِ يقع العلم تٓبرىم أو الظن
القوي، ويؤمن توافقهم على الكذب، مع عدم ات١عارض انتهى.
Terjemah:
―metode pertama adalah menyeluruhnya (informasi)
nasab dan popularnya di kampungnya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan
menyeluruh antara bilangan manusia yang terjadi keyakinan dengan khabar mereka
atau sangkaan yang kuat; dan aman dari kesepakatan mereka berdusta disertai
tidak adanya dalil penentang.‖[1]
Tetapi syuhrah istifadlah itu bisa diterapkan untuk meng-itsbat nasab, menurut Syekh Husain,
hanya ketika tidak ada bukti yang menentang („adamul mu‟aridl). Bukti yang menentang itu bisa berupa
pengingkaran dari ayah atau adanya Tha‟n
(celaan pengingkaran nasab) dari orang. Misal begini: ada orang bersaksi bahwa
Ubaid adalah anak Ahmad berdasarkan Syuhrah (dengar-mendengar). lalu ada orang
men-tha‟n (mengingkari) dengan
mengatakan bahwa Ubaid bukan anak Ahmad dengan membawa bukti, maka gugurlah Tasamu‟ atau syuhrah istifadlah itu. yang demikian itu namanya tha‟n (celaan pengingkaran nasab). Jika tha‟n ini berdasar bukti maka dapat
diterima, jika berdasar bukti tidak maka diabaikan.
Jadi tidak bisa dikatakan ketika
Ubaidillah hari ini sudah syuhrah wal istifadlah
sebagai anak Ahmad bin Isa, maka itu cukup untuk dijadikan dalil itsbat selamanya. Tidak demikian. Jika
ada dalil yang kuat yang menyatakan sebaliknya maka syuhrah wal istifadlah itu gugur.
Perhatikan apa yang dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz
8 h. 319 karya Imam Ramli: )وَلَوُ
الشَّهَادَةُ بِالتسَامُعِ( حَيْثُ لَمْ ي عَارضْوُ أقْ وى مِنوُ كَإِنْكَارِ
المَنْسُوبِ إليْوِ أوْ طعْنِ أحَدٍ في الِانتسَابِ إليْوِ، ن عَمْ ي تجَوُ أنوُ
لَا بدَّ مِنْ طعْنٍ لَمْ تَ قُمْ قرينَةٌ عَلى كَذِبِ قائلوِ
―Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ ketika tidak ada penentang yang
lebih kuat dari tasamu‟, seperti
inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha‟n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian
bahwa tasamu‘ gugur dengan adanya inkar dan tha‟n,
tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha‟n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan
orang yang menyampaikannya‖
Dari ucapan Imam Ramli ini jelas,
bahwa tasamu‟ atau popularnya Samsul
sebagai anak Samlawi disyaratkan dua hal: pertama, jika Samlawi masih hidup,
maka ia tidak mengingkari bahwa Samsul adalah anaknya, jika ia mengingkari maka
batal-lah tasamu‟ itu ; kedua, jika
Samlawi telah meninggal maka disyaratkan tidak adanya saksi yang mengatakan
bahwa sebenarnya Samsul bukan anak Samlawi, tetapi ia hanya anak angkat. Jika
ada saksi yang mengatakan bahwa sebenarnya Samsul hanya anak angkat dengan
membawa bukti maka gugurlah tasamu‟
itu. terkait nasab Ubaid yang hari ini secara tasamu‘ dikatakan sebagai anak
Ahmad ternyata datang saksi berupa kitab Al-Syajarah
al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad hanya tiga Muhammad, Ali dan
Husain, tidak ada anak bernama Ubaid atau Abdullah atau Ubaidillah, disertai
tes DNA Ubaid yang berbeda dengan DNA keturunan Ahmad, maka gugurlah tasamu‟ itu.
Proposisi demikian pula dikuatkan
oelh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:
ان النسب ت٦ا يثبت بالاستفاضة الا ان يثبت ما
يخالفو )اتٞواب اتٞليل عن حكم بلد ات٠ليل: ٗٚ)
―Sesunggunya nasab adalah sebagian dari yang bisa
ditetapkan dengan metode istifadloh
kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya.‖[2]
Teks senada banyak terdapat dalam
kitab-kitab fikih bahwa Syuhrah dan Istifadlah tidak mutlak digunakan tanpa
syarat, tetapi ia mempunyai syarat yaitu tidak adanya dalil penentang sedangkan
nasab Ba‘alwi yang sekarang popular (Syuhrah) itu ada dalil penentang yaitu
kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke-6 H. yang menyatakan nama anak-anak
Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Jadi munculnya nama
Abdullah/ubaidillah di abad ke-9 H. itu tertolak mentah-mentah.
Maksud Syuhrah Wa al-Istifadlah adalah Min Adzhar alBayyinat
Kalimat Syekh Al-Husain bahwa syuhrah wal istifadlah adalah “min adzhar al Bayyinat”, bukan bermakan
bahwa syuhrah itu dalil paling kuat.
Bukan. Jika yang diinginkan maksudnya adalah ―paling kuat‖ maka kalimatnya
adalah “min aqwal bayyinat”. Adapun
maksud “min adzhar al- bayyinat”
adalah yang ―paling nampaknya bukti‖ atau ―bukti paling mudah di akses‖. Artinya
bukti yang paling mudah dicapai oleh orang untuk mengetahui nasab seseorang.
Kita tidak perlu sulit-sulit menanyakan akta kelahirannya, hasil dengar
mendengar saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa Samsul adalah anak Samlawi.
Artinya jika kita mengatakannya kita tidak dianggap berdusta atau tidak bisa
dituntut di pengadilan.
Hakikat kesaksian itu seharusnya
adalah apa yang dapat dilihat, tetapi ulama membolehkan beberapa hal untuk
dikatakan sah kesaksiannya hanya berdasar syuhrah
atau dengar-mendengar, diantaranya adalah nasab, pernikahan, jima, kematian dan
pengangkatan sebagai hakim. Karena masalah-masalah tersebut biasanya hanya
diketahui oleh orang-orang terdekat dengan seseorang. Jika tidak dibolehkan
bersaksi dengan syuhrah, maka akan
membawa dampak negative yaitu banyak kekosongan hukum karena tidak bisa mencari
saksinya.[3]
Syuhrah
wa al-Istifadlah boleh dijadikan tools
untuk bersaksi hanya karena darurat. Karena ada beberapa hal yang sulit untuk
disaksikan dengan mata secara langsung diantaranya tentang nasab dan kematian.
Tentang kebolehan bersaksi dengan syuhrah
ini dihikayatkan adanya ijma‘. Ijma‘ yang dimaksud itu adalah ijma tentang
kebolehan penggunaan metode syuhrah,
bukan ijma tentang bahwa nasab harus diijma‘ dengan syuhrah. Orang yang menyatakan demikian, seperti Idrus Ramli,
menunjukan kebodohan yang nyata dalam Ilmu Fikih.
Coba perhatikan yang dinyatakan
kitab Al-Najm al-Wahhaj karya Al-
Damiri:
قال: )ولو الشهادة بالتسامع على نسب( بالإتٚاع,
لأن نسبو لا يدرك بالبصر, وغاية ات١مكن رؤية الولادة على الفراش، فاكتفي فيو
بالاستفاضة للحاجة، ويجوز ذلك وإن لم يعرف عتُ ات١نسوب إليو، حكاه في )الكفاية( عن
)الإشراف.( كل ىذا إن لم تكن ريبة، فإن كانت بأن كان ات١نسوب إليو حيا
فأنكر .. لم تٕز الشهادة، فإن كان ت٣نونًً جازت على الصحيح، فإن طعن بعض الناس فى
ذلك النسب .. امتنعت الشهادة على الأصح.
―Boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ terhadap nasab dengan ijma‘. karena nasabnya tidak bisa
dilihat dengan mata. Yang mungkin bisa dilihat adalah kelahiran di ranjang,
maka cukuplah dalam nasab itu dengar-mendengar. Hal itu boleh walau orang itu
tidak mengenal mansub ilaih (seperti
ayahnya). Keterangan itu diceritakan dalam kitab Al-Kifayah. Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada
keraguan. Apabila keraguan itu ada, contohnya orang yang menjadi Al-Mansub ilaih itu masih hidup lalu
mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi. Maka jika mansub ilaih itu gila, boleh ia bersaksi
menurut qaul sahih. Ketika sebagian
orang mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi tentang nasab
itu menurut qaul asoh [4]”.
Dari ucapan Al-Damiri di atas
jelas bahwa ijma yang dimaksud adalah ijma tentang kebolehan bersaksi untuk
nasab dengan tasamu‟, bukan ijma
keharusan bersaksi dengan tasamu‟.
Al-Damiri juga menyatakan kebolehan bersaksi dengan tasamu‟ itu karena nasab tidak bisa dilihat. Hal yang paling
mungkin adalah melihat kelahiran di ranjang, itupun yang mengetahui hanya bidan
dan beberapa orang saja. Untuk orang lain bagaimana cara bersaksi bahwa Samsul
adalah anak Samlawi? Ya cukup dengan mendengar dari orang lain bahwa Samsul itu
anak Samlawi. Bagaimana nanti jika bidan bersaksi bahwa sebenarnya anak yang asli
dibawa pergi lalu diganti bayi yang lain? Maka kesaksian bidan ini sangat kuat
jika diyakini ia tidak berdusta berdasar bukti-bukti lain yang kuat pula. Dalam
keadaan seperti itu tasamu‟ gugur.
Al-Damiri juga menyatakan, tasamu‟ itu bisa digunakan sebagai tools bersaksi ketika tidak ada
keraguan: kullu hadza in lam takun
ribatun (hukum bersaksi dengan tasamu‟
ini jika tidak ada keraguan). Jika ada keraguan, semisal Samlawi mengingkari
bahwa Samsul adalah anaknya, maka tasamu‟
itu batal. Bagaimana jika Samlawi gila, sehingga ia tidak bisa membenarkan atau
mengingkari tasamu‟ yang beredar di
tengah masyarakat bahwa Samsul adalah anaknya. Menurut qaul sahih boleh bersaksi dengan tasamu‟ bahwa Samsul adalah anak Samlawi yang gila itu. tetapi
ketika ada saksi yang mengatakan sebaliknya, menurut Al-Damiri, tidak boleh
bersaksi dengan tasamu‟ bahwa Samsul
adalah anak Samlawi yang gila itu, ini menurut pendapat yang ashoh.
Istifadlah atau Tasamu’ Wajib Terjadi di Kampung Asal
Bukan di Tempat Hijrah Syekh
Al-Husain bin Haidar al-Hasyimi mengatakan:
ويجب التنبو إلى أن الاستفاضة يجب أن تكون في
بلدتو أو قبيلتو ،لا تلك ات١زعومة والتي تكون في مهجره
―Dan wajib diingat bahwa sesungguhnya istifadlah itu wajib terjadi di desanya
atau di kabilahnya bukan (seperti) yang dikira (banyak orang) yaitu istifadlah di tempat hijrahnya.‖[5]

This post have 0 comments
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon