banner

Kamis, Desember 04, 2025

author photo
PASAL KE-4

KH Imadudin Al-Bantani Menjawab Soal: "PENGAKUAN ULAMA BESAR NUSANTARA TERHADAP STATUS BA’ALWI SEBAGAI DZURIYAH NABI"

KH Imadudin Al-Bantani Menjawab PENGAKUAN ULAMA BESAR NUSANTARA TERHADAP STATUS BA’ALWI SEBAGAI DZURIYAH NABI


Demi membela nasab Ba‘alwi, Hanif dkk. dalam buku Keabsahan Nasab Ba‘alwi mengklaim bahwa nasab Ba‘alwi sudah diitsbat oleh para ulama Nusantara. Benarkah klaim tersebut? Nama yang pertama yang ia sebut adalah ulama besar asal Banten, Sayyid Ulama al-Hijaz Syaikh Nawawi al-Bantani, kemudian ia menyebut beberapa ulama lainnya.

Syaikh Nawawi al-Bantani (w.1316 H.)

Menurut Hanif dkk. Syaikh Nawawi telah mengitsbat nasab  Ba‘alwi dalam kitabnya Uqud al-Lujjain. Teks kitab Uqud al-Lujjain yang dimaksud sebagai berikut:)قالَ سَيدُنًَ ( أي أكرمنا )اتٟبيب( أي المحبوب السيد ) عَبْدُ الله اتٟداد( صَاحِ بُ الطريقة ات١شهورة، والأسرار الكثتَة. فاصطلاح بعض أىل البلاد أن ذرية رسول الله  الله عليه وسلم إذا كان ذكرا يقال لو : "حبيب"، وإن كانت أنثى يقال ت٢ا: "حبابة"، واصطلاح الأكثر

يقال لو: "سيد" وسيدة."  

Terjemah:

(Telah berkata Sayiduna), yakni orang yang paling mulia di antara kami (al- Habib), yakni yang dicintai, dan seorang Sayid (Abdullah al-Haddad), pemilik tarekat terkenal dan rahasia yang banyak. 'Istilah di sebagian negeri dalam menyebut dzurriyah Rasulullah Saw. untuk laki-laki adalah habib, sementara yang perempuan disebut hubabah. Adapun kebanyakan menyebut keturunan Nabi Saw, dengan sayid dan sayidah."[1]


Menurut Hanif dan kawan-kawan teks di atas adalah istbat Syaikh Nawawi al-Bantani terhadap nasab Ba‘alwi. padahal sesuai dengan kaidah para ahli nasab sesuatu yang ditulis bukan untuk maksud menetapkan nasab tidak bisa dijadikan hujjah penetapan nasab, seperti sanad tarikat yang diklaim merupakan sanad dari ayah ke anak terus ke cucu dst. Pakar nasab Syaikh Khalil bin Ibrahim mengatakan:  فالنسب  يثبت اذا وجد في رقعة او كتاب بشرط ان يكون ىذا ات١كتوب قطعي الدلالة على ات١قصود وليس من ات١ؤتلف اي

متشابو الاتٝاء

Terjemah:

―Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip.‖[2]

Begitu juga para ahli nasab membuat kaidah bahwa tidak setiap apa yang ditulis tentang nasab itu bisa dijadikan hujjah, termasuk teks dari Syekh Nawawi tersebut.

Syekh Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi „Ilm alAnsab mengatakan:

ليس كل من كتب في الانساب حجة وليس كل ما كتب يصح

الاحتجاج بو

Terjemah:

―Tidak semua orang yang menulis nasab itu bisa dijadikan hujjah. Dan tidak semua yang ditulis sah untuk dijadikan hujjah‖[3]

Ditambah kitab Uqud al-lujain itu bukanlah kitab nasab, sedangkan sesuai kaidah para ahli nasab, nasab hanya bisa diitsbat oleh kitab-kitab nasab.

Syaikh Khalil bin Ibrahim berkata:

لا يؤخذ ىذ العلم الا من مصادره ومراجعو ات١عتمدة. 

Terjemah:

―Ilmu ini (penetapan nasab) tidak bisa diambil kecuali dari sumber-sumber dan referensi-referensinya‖[4]



Dari situ, apa yang ditulis oleh Hanif dkk. tentang Syekh Nawawi al-Bantani dan ulama-ulama Nusantara lainnya yang diklaim mengakui nasab Ba‘alwi itu tidak bermakna apa-apa dalam membantu batalnya nasab Ba‘alwi menurut kaidah-kaidah baku yang dipegang oleh para pakar nasab.

Syaikh Hasyim Asy’ari (w. 1366 H.)


Ulama lain yang diklaim Hanif Alatas dkk. mengakui nasab
Ba‘alwi adalah Syaikh Hasyim Asy‘ari. Menurut Hanif dkk. Syaikh Hasyim Asy‘ari pernah mencatat nama seorang Ba‘alwi dengan sebutan Sayyid. Sedangkan sebutan Sayyid itu adalah untuk ciri keturunan Nabi, maka berarti Syaikh Hasyim Asy‘ari telah mengitsbat Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi. Betulkah silogisme semacam itu dibenarkan oleh para ahli nasab? benarkah ketika orang itu menyebut Sayyid maka ia telah mengitsbat orang itu sebagai keturunan Nabi? Ternyata para ahli nasab dan ahli fikih tidak menganggap sah penetapan nasab dengan hanya berdasar panggilan Sayyid atau Syarif. Imam Al-Subki dalam kitab Fatawa al-Subki mengatakan:

وََكأنًَّ إذَا قُ لْنا: يََ شَريفُ أوْ جَاءَ الشَّريفُ، وَمَا أشْبوَ ذَلكَ مُوَافقًا الشَّريفَ عَلى مَا ذكَرنًَ، فإِذَا رأيْ نا مَكْتوبًا ليْسَ مَقْ صُودُهُ إثْ باتَ النسَبِ لَمْ تَ٨ْمِلْوُ عَلى إثْ باتِ النسَبِ ولَا يَجوزُ التَّ عَلُّقُ بوِ فِي إثْ باتِوِ

إذَا كَانَ الْمَقْصُودُ مِنْوُ غَيْ ر هُ

 

 

Terjemah:

―Dan semacam jika kita mengatakan‘Hai Syarif‘ atau ‗Telah datang seorang Syarif‘ dan semacamnya sesuai dengan apa yang kami sebutkan, maka jika kita melihat tertulis tulisan yang maksudnya bukan mengitsbat nasab maka kita tidak boleh membawanya kepada itsbat nasab dan tidak boleh kita bergantung kepadanya dalam menetapkan nasab ketika maksud

tulisan itu bukan penetapan nasab.‖[5]  Imam Al-Subki juga mengatakan:

فكَثتٌَ ت٦نْ ىُوَ مَشْهُورٌ بَ تَُْ الناسِ بِالشَّرَفِ لوْ سُئلْنا أنْ نشْهَدَ لوُ بِالشَّرفِ لَمْ يُخلصْنَا ذَلكَ مَعَ أنًَ نطلقُ عَليْوِ الليْلَ وَالنَّ هَارَ فِي تُ٥اطبتنا لوُ وَلغتَْهِ بِالشَّرفِ  .وكَذَلكَ تَِٚيعُ الْأنسَابِ وَمَا ذَاكَ إلَّا للْعلْمِ بِأنَّ الِْإطلَاقَ في العرفِ تَ٤ْمُولٌ عَلى الِاعْتمَادِ عَلى ذَلكَ مِنْ غَتَِْ انتهَاءٍ إلَى الرتْ بةِ المُسَوّغَةِ للشَّهَادَةِ  ولَا شَكَّ أنَّ ذَلكَ يَحصُلُ ظنا ضَعيفًا وَذَلكَ الظنُّ الضَّعيفُ يكْفِي في إطلَاقِ التخَاطبِ ولَا

يكْفِي في الشَّهَادَةِ  

Terjemah:

―Maka banyak dari orang yang popular di antara manusia dengan ke-syarifan jika kita diminta untuk bersaksi maka kita tidak memenuhinya padahal kita setiap malam dan siang menyebutnya atau lainnya syarif. Begitupula semua nasab. yang demikian itu untuk mengetahui bahwa kemutlakan dalam kebiasaan itu dibawa untuk pegangan itu saja tanpa sampai kepada derajat kebolehan untuk bersaksi. Tidak diragukan lagi bahwa yang demikian itu menghasilkan sangkaan yang lemah yang cukup untuk kemutlakan memanggil dan tidak cukup

untuk bersaksi.‖[6]

Jadi apa yang disajikan oleh Hanif Alatas dkk. bahwa Syaikh Hasyim Asy‘ari dan ulama Nusantara lain diklaim telah mengitsbat nasab Ba‘alwi itu tidak benar secara ilmu fikih dan kaidah ilmu nasab, yang dilakukan oleh para ulama itu hanya “ithlaq al-takhathub” (sekedar memanggil) saja.

 

Abdullah dan Ubaidillah

Dalam fasal ini Hanif dkk. menyelipkan bahasan tentang Abdullah dan Ubaidillah. Menurut Hanif, nama Abdullah yang ditulis oleh Al-Janadi dalam kitab Al-Suluk itu sama dengan nama Ubaidillah yang ada disilsilah mereka. Apa yang dikatakan hanif dkk. itu tidak sesuai dengan kaidah ilmu nasab. para pakar ilmu nasab menyatakan bahwa sebuah kitab bisa dijadikan rujukan jika nama yang ditulis sesuai dengan nama yang dimaksud, bukan hanya sekedar kemiripan nama. Pakar nasab Syaikh Khalil bin Ibrahim mengatakan:  فالنسب  يثبت اذا وجد في رقعة او كتاب بشرط ان يكون ىذا ات١كتوب قطعي الدلالة على ات١قصود وليس من ات١ؤتلف اي

متشابو الاتٝاء

Terjemah:

―Maka nasab bisa dikatakan diitsbat jika ditemukan dalam catatan atau kitab dengan syarat apa yang tertulis itu petunjukya jelas untuk tujuan (mengitsbat nasab) dan bukan termasuk nama yang mirip.‖[7]

Jadi terlepas dari tidak sahihnya nasab Syarif Abul Jadid yang ditulis Al-Janadi sebagai cicit dari Abdullah bin Ahmad bin Isa, selain itu, ketika Ba‘alwi berhujjah dengan kitab Al-Suluk ini tidak sah karena nama yang dikenal keluarga Ba‘alwi adalah Ubaidillah bukan Abdullah. Keduanya memang mirip, tetapi beda orang. Demikian menurut kaidah ilmu nasab.


[1] Syaikh Nawawi al-Bantai, Uqud al-Lujain, h. 11

[2] Khalil bin Ibrahim…h. 58

[3] Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 83

[4] Khalil Ibrahim…86

[5] Imam Subki, Fatawa Subki, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz-2 h. 461

[6] Imam Subki, fatawa al-Subki, Al-Maktabah al-Syamilah, Juz 2 h. 461

[7] Khalil bin Ibrahim…h. 58

your advertise here

This post have 0 comments

Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon

This Is The Newest Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Themeindie.com