KH Imadudin Al-Bantani: MENANGGAPI KATA PENGANTAR K.H. SYUKRON MAKMUN
Di antara yang dikatakan oleh K.H.Syukron Makmun (SM) adalah:
―Masalah keabsahan Bani 'Alawiyah sebagai Ahli Bait Rasulullah Saw. sudah selesai. Karena Ulama Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah secara ijmak dengan thariqah Syuhrah walIstifâdhah telah mengakui keabsahan Bani 'Alawiyah sebagai Ahli Bait Rasulullah Saw, dan tidak ada yang menyangkal. Seperti panasnya matahari tidak perlu itsbat, karena panasnya matahari sudah syuhrah wal-istifadhah.‖[1]
Ijma menurut para ulama adalah
kesepakatan para ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah
wafatnya
Rasulullah SAW terhadap suatu hukum syara‘ akan suatu
kejadian. Sebagaimana definisi tersebut diungkapkan oleh Abdul Wahhab Khalaf
dalam kitabnya Ushul al-Fiqh:
الإتٚاع في اصطلاح الأصوليتُ: ىو اتفاق تٚيع
المجتهدين من ات١سلمتُ في عصر من العصور بعد وفاة الرسول - صلى الله عليو وسلم -
على حكم شرعي في واقعة.
Terjemah:
―Ijma‘ di dalam istilah para ahli ushul adalah kesepakatan
seluruh ulama mujtahid dari kaum muslimin dalam suatu masa setelah wafatnya
Rasulullah SAW atas suatu hukum syara‘ dalam suatu masalah.‖[2]
Dari definisi ijma itu, kita
mengetahui bahwa suatu hukum bisa disebut ijma jika hukum itu disepakati oleh
seluruh para ulama ahli ijtihad. Sedangkan nasab Ba‘alwi ini sejak awal
kemunculannya di abad sembilan muncul hanya dari klaim mereka sendiri tidak
disebut para ulama nasab dalam kitab-kitab nasab. Bahkan di Tarim sendiri
banyak orang yang tidak percaya terhadap nasab mereka sebagaimana dihikayatkan
sendiri oleh kitab-kitab Ba‘alwi semacam Al-Burqat alMusyiqat karya Ali bin
Abubakar al-Sakran (w.895 H.) dan Gurar
Baha al-Dlau‘ karya Khirid (w.960 H.). Bagaimana
suatu nasab yang sejak awal kemunculannya saja hanya dari klaim pribadi. dan
orangorang yang ada di Tarim saja tidak mempercayainya bisa dikatakan telah
diijma‘?
Salah satu rukun ijma‘ adalah
kesepakatan itu harus terjadi sejak awal kemunculannya, sebagaimana dikatakan
oleh Abdul Wahhab Khalaf:
الثاني: أن يتفق على اتٟكم الشرعي في الواقعة
تٚيع المجتهدين من
ات١سلمتُ في وقت وقوعها
Terjemah:
―(Rukun) yang kedua adalah terjadinya kesepakatan ulama
mujtahid dari kaum muslimin atas hukum syara‘ dalam suatu masalah saat
terjadinya masalah itu‖[3]
Sedangkan waktu kejadian nasab
Ba‘alwi adalah masa Ahmad bin Isa. karena yang menjadi permasalahan adalah
pengakuan mereka bahwa mereka adalah keturunan Nabi melalui Ubaid ―bin‖ Ahmad
bin Isa. sedangkan kitab-kitab nasab sejak masa Ubaid itu tidak ada yang
mencatat ia sebagai anak Ahmad bin Isa apalagi terjadi ijma‘. Dari mana Ali
al-sakran mengetahui adanya ijma‘ jika nasab mereka sama sekalai tidak
disebutkan oleh para ahli nasab, padahal kitab-kitab nasab yang mencatat anak
Ahmad bin Isa banyak ditulis. Bahkan kitab nasab abad ke-6 yaitu Al-Syajarah al-Mubarakah telah
menetapkan anak Ahmad bin Isa yang berketurunan hanya tiga: Muhammad, Ali dan
Husain. Tidak ada anak bernama Ubaid.
Ibnu Hazm dalam kitab Maratibul Ijma mengatakan: قالوا إتٚاع كل عصر إتٚاع صَحِيح إذا لم يتَ
قَدَّم قبلو في تلكَ
المَسْأَلَة خلاف وَىَذَا ىُوَ الصَّحِيح
Terjemah:
―Para ulama berkata: Ijma‘ setiap masa bisa dikatakan ijma‘
yang shahih jika tidak didahului oleh perbedaan pendapat dalam masalah itu. ini
adalah pendapat yang sahih‖.[4]
Dari situ kita mengetahui bahwa
klaim ijma baik dari Ali alSakran maupun dari yang mengutipnya di waktu
belakangan seperti Al-Nabhani dan Al-Muhibi tidak dapat diterima. Bahkan
menurut Abdullah bin Ahmad bin Hambal bisa disebut pendusta.
وقد نقل ابن حزم في كتابو "الأحكام"
عن عبد الله بن أتٛد بن حنبل قولو :تٝعتُ أبي يقول: "وما يدعي فيو
الرجل الإتٚاع ىو الكذب، ومن ادعى الإتٚاع فهو كذاب، لعل الناس قد اختلف وا
- ما يدريو - ولم ينتو إليو، فليقل: لا نعلم
الناس اختلفوا".
Terjemah:
―Dan telah dikutip dari Ibnu Hazm dalam kitab-nya
Al-Ahkam dari Abdullah bin Ahmad bin Hambal ucapan: Aku mendengar ayahku
berkata: Apa yang diklaim seseorang tentang terjadinya ijma‘ adalah dusta.
Siapa orang yang mengklaim ijma‘ adalah dusta. Bisa jadi manusia telah berbeda
pendapat ia tidak tahu dan tidak sampai kepadanya. Maka hendaklah ia berkata:
kami tidak mengetahu perbedaan pendapat manusia‖.[5]
SM juga mengatakan:
―Masalah sejarah atau nasab yang sudah berjalan
ratusan bahkan ribuan tahun termasuk (أخثار انغٍة
) berita yang kita tidak menyaksikan dengan mata kita. Kita hanya mendapat
berita dari dongeng, katanya. Sejarah manuskrip yang tidak mungkin kita sampai
pada haqqul yaqin atau 'ainul yaqin, kecuali kalau riwayat itu mutawatir
syuhrah wal-istifadhah. Penulis sejarah hanya menulis apa yang ia tahu, apa
yang ia tidak tahu bukan berarti tidak ada. Bisa saja, informasinya belum
sampai kepadanya. Maka, sejarah yang lebih sempurna adalah sejarah yang datang
kemudian sebab informasinya lebih lengkap.‖[6]
Kejadian masa lalu memang tidak
semuanya dicatat, betul sekali yang dikatakan SM. Bahwa pula penulis sejarah
hanya menulis apa yang ia tahu. Itu juga betul. Tetapi jika penulis sejarah
sudah menulis di abad ke-6 H. apa yang ia tahu, misalnya bahwa Ahmad bin Isa
mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain, maka setiap klaim di abad ke-9
H. akan adanya anak ke-4 bagi Ahmad bin Isa seperti Ubaid/Ubaidillah/Abdullah
jelas tertolak. Jika SM mengatakan bahwa sejarah itu tidak qath‟iy, ya itu betul, tetapi jika sebuah penulisan yang dekat
dengan kejadian saja tidak qath‟iy maka
kitab Ali al-Sakran di abad ke-9 H. tentu lebih tidak qathiy lagi. Lalu apa alasan SM mempercayai yang lebih jauh masanya
dengan kejadian lalu mengabaikan informasi dari orang yang lebih dekat masanya
dengan kejadian?
Jika SM menulis buku bahwa
kakeknya yang bernama Kiai Nawawi punya anak 5, lalu cucu SM menulis buku pula
mencatat bahwa Kiai Nawawi punya anak 6. Menurut SM siapa kira-kira yang layak
untuk dipercaya? SM apa cucunya? Dua-duanya tentu tidak qath‘i. tetapi tentu
yang lebih mendekati kebenaran adalah tulisan SM karena jarak waktunya lebih
dekat dengan kakeknya. Begitulah ilmu sejarah difahami. Ali al-Sakran mencatat
Ubaid sebagai anak Ahmad itu setelah 550 tahun wafatnya Ahmad. sedangkan kitab-kitab
sebelumnya hanya mencatat anak Ahmad hanya tiga dan tidak ada yang namanya
Ubaid/Ubaidillah/Abdullah. Lalu menurut SM yang layak dipercaya yang mana?
MS juga mengatakan:
―Untuk menerima (اخثار انغٍة)
berita yang kita tidak menyaksikan dan sudah berjalan ratusan bahkan ribuan
tahun kita harus hati-hati siapa pembawa cerita itu. Kita hanya menerima berita
dari para ulama, para auliyâullah, dan para habaib yang tidak diragukan
keilmuannya, akhlaqul karimahnya, zuhud-nya, wara', dan bersifat dhabit dan
adil: Mereka itu, seperti: Syaikh Murtadha az-Zabidi pensyarah kitab Ihya' 'Ulumuddin, Syaikh Ibnu Hajar
al-Haitami seorang ulama fikih mazhab Syafi'I, Syaikh Ali Jum'ah mufti di
Mesir, Syaikh Ramadhan al-Buthi seorang ulama besar di Syiria, Sayid Muhammad
bin Alwy al-Maliki di Makkah al-Mukarramah, Syaikh Maulana al-Sya'rani Mesir,
Syaikh Nawawi Banten, Syaikh K.H. Cholil Bangkalan, Syaikh K.H. Cholil
Bangkalan,
K.H. Hasyim Asy'ari Jombang, H. Sholeh Darat Semarang,
Syaikh Yasin Padani Makkah, Syaikh Moh. Chotib
alMinangkabawi, Syaikh Moh. Mahfudz al-Turmusi. Dan banyak lagi yang tidak kami
sebutkan. Barang siapa yang membatalkan nasab Ba'alawi berarti sudah tidak
percaya kepada para ulama dan auliyaullah yang saya sebutkan di atas‖.

This post have 0 comments
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon