banner

Selasa, November 25, 2025

author photo
KH Imadudin Al-Bantani: MENANGGAPI KATA PENGANTAR GUS NAJIH (MUHAMMAD NAJIH SARANG) 

KH Imadudin A-l-Bantani MENANGGAPI KATA PENGANTAR MUHAMMAD NAJIH SARANG

Sebagian dari yang disampaikan Muhmamad Najih Sarang (MNS) dalam kata pengantar itu adalah sebagai berikut:

―Selanjutnya, buku ini secara tegas membuktikan bahwa klaim yang se- ring diembuskan oleh pihak-pihak pembatal nasab mengenai syarat kitab se- zaman sebagai prasyarat keabsahan nasab adalah omong kosong. Tidak ada referensi ilmiah yang mendukung klaim tersebut, dan buku ini dengan cermat membuktikan kekeliruan tersebut. Semua penulis dari kitab yang dijadikan rujukan oleh kalangan ini (seperti Mufti Yaman, Ibrahim bin Manshur dan ad-Dailami) justru berbalik menetapkan Bani 'Alawi dan menentang mereka.

Alhamdulillah.‖[1]

MNS tidak memahami bab ― Thara‘iq Itsbat al-Nasab‖ (metodemetode menetapkan nasab). ia tampak kurang literasi. Sudah penulis sampaikan dalam berbagai kesempatan, bahwa karena ilmu nasab terutama nasab jauh seperti nasab kepada Nabi Muhammad SAW adalah termasuk dalam lingkup ilmu sejarah, maka untuk memvalidasi kesahihan klaim suatu silsilah nasab yang jauh ia memerlukan sumber-sumber rujukan baik sumber primer maupun sekunder. Dan yang demikian itu adalah sesuatu yang sudah mafhum tidak mesti ditanyakan lagi referensinya. 

Tetapi baiklah, jika memang yang penulis hadapai adalah orang yang memang belum memahami permasalahan seperti MNS ini, penulis akan sampaikan pendapat-pendapat ulama tentang kitab sezaman atau yang mendekati berikut ini:

Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain alAnsab karya pakar ilmu nasab Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani halaman 76-77 dikatakan:

وعندما ت٨قق النسب فان ات١صادر التى يدكن ان نستقي منها النسب يجب ان تكون من كتب الانساب القديدة التي كتبت فيما قبل العصر اتٟديث حيث كان الناس اقرب الى معرفة اصوت٢م

―Dan ketika kita men-tahqiq nasab, maka sumber-sumber yang memungkinkan kita mengambil darinya, wajib berupa kitabkitab nasab terdahulu yang ditulis sebelum masa modern, yaitu ketika orang lebih dekat mengetahui keturunan mereka‖[2] Ia juga mengatakan dikatakan:  و لا يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على الذاكرة الشعبية

فقط،  

―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak logis atau berdasar memori bangsa saja‖[3]

Dalam Kitab “Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab” karya Dr. Imad Muhammad al-‗Atiqi dikatakan:

ويختلف ات١رجع عن ات١صدر في ان ات١صدر اقرب زمان ومكان وبيئة الاحداث التي يرويها اما ات١رجع فهو ت٥تلف عن ات١صدر في بعض او كل العناصر السابقة فيحتاج مؤلف ات١رجع الى مصادر ومواد اولية اخرى لات٧از تْثو ويتًتب على ذلك ان ات١صدر يكون اجدر بالاعتبار في حالة التعارض مع ات١رجع مالم يحتو ات١رجع على تٖليل دقيق يفند اوجو التعارض من خلال مصادر او مواد اولية اخرى

Marji‟ (Referensi) berbeda dengan mashdar (sumber), yaitu bahwa mashdar lebih dekat waktu, tempat, dan lingkungannya dengan peristiwa yang diceritakannya. Adapun marji‟ berbeda dengan mashdar pada beberapa atau seluruh unsur sebelumnya. Maka penulis marji‟ membutuhkan mashdar dan sumber lain yang primer untuk melengkapi penelitiannya. Oleh karena itu, mashdar lebih laik dihitung apabila terjadi pertentangan dengan marji‟, kecuali jika marji‟ tersebut memuat analisis yang cermat yang membantah kontradiksi melalui mashdar atau bahan-bahan primer lainnya‖.[4] MNS juga mengatakan:

―Sebagai bagian dari Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah, kita seharusnya memelihara i'tiqâd baik dan percaya penuh terhadap nasab para Habaib Bani 'Alawi. Menolak nasab mereka berarti telah terjerumus dalam keharaman tha'nu finnasab (menuduh nasab orang) yang dalam hadis dijelaskan sebagai kekufuran.‖[5] Kalimat di atas aneh. Apa kaitan ajaran Ahlussunnah

Waljama‘ah dengan nasab klan Ba‘alwi. jangan-jangan MNS belum faham makna Ba‘alwi. jangan-jangan ia memahaminya bahwa kalimat Ba‘alwi itu bernisbat kepada nama Ali bin Abi Thalib sehingga bermakna keturunan Sayyidina Ali. Wahai MNS, Ba‘alwi itu bukan bernisbat kepada nama Ali bin Abi Thalib, tetapi kepada Alwi bin Ubaid atau Alwi bin Himham. Jadi Ba‘alwi itu maknanya adalah anak keturunan Alwi bin Ubaid atau anak keturunan Alwi bin Himham, bukan anak keturunan Ali. 

Sepanjang yang penulis tahu sebagaian dari ajaran Ahlussunah Waljamaah itu adalah tentang mencintai Ahli Bait Nabi, bukan tentang klan Ba‘alwi. sedangkan Ba‘alwi bukan Ahli Bait Nabi. Bagaimana Klan Ba‘alwi menjadi Ahli Bait Nabi, sedangkan mereka keturunan Nabi saja bukan. Lalu apa alasan MNS mengharuskan umat Islam percaya penuh terhadap pengakuan Klan Ba‘alwi. apa alasannya. Mana dalilnya?

Memasukan orang yang bukan keturunan Nabi seperti Klan Ba‘alwi menjadi bagian keturunan Nabi, dosanya sama dengan menafikan orang yang benar-benar keturunan Nabi menjadi bukan keturunan Nabi dan masuk dalam kategori kekufuran. Orang yang tidak percaya kepada Klan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi hukumnya adalah men-tha‘n Klan Ba‘alwi, tetapi orang yang memasukan Klan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi dengan banyaknya dalil bahwa mereka bukan keturunan Nabi hukumnya dia telah men-tha‘n nasab Nabi. Bandingkan wahai MNS bandingan antara penulis yang telah men-tha‘n Klan Ba‘alwi dan anda yang telah men-tha‘n nasabnya Baginda Nabi.

Memasukan orang yang bukan keturunan Nabi sebagai keturunan Nabi telah merendahkan harkat martabat Nabi dan dzuriyah Nabi yang asli. Karena genetic kenabian memiliki sifat ―iradat altathir minallah‖ (diinginkan kesuciannya dari Allah) yang diwarisi dari Ahli Bait Nabi. Kemungkinan mereka menjadi orang yang shalih dzahir dan batin itu sangatlah tinggi. Hal demikian itu tidak dimiliki oleh genetic selainnya. Maka ketika anda memasukan orang yang bukan keturunan Nabi seperti Alwi bin Ubaid sebagai keturunannya, maka anda akan bertanggung jawab jika dikemudian hari banyak keturunan Alwi bin Ubaid berbuat dosa dan kerendahan, lalu manusia menyematkan hubungan mereka dengan Baginda Nabi. Wahai MNS, sesungguhnya khathar yang engkau miliki dengan memasukan Ba‘alwi kepada bagian keturunan Nabi lebih besar daripada yang penulis miliki. 



MNS juga mengatakan:

―Selain itu juga, menolak nasab para Habaib Bani 'Alawi sama artinya dengan sû'ul adab atau menolak kredibilitas para kiai dan guru-guru kita yang telah mengakui dan menerima nasab tersebut. Kita tahu guru-guru kita menunjukkan sikap ta'dzim pada para Habaib, seperti; Sayid al-Zabidi, Sayid Bakri Syatha, Syaikh Nawawi Banten, Syaikh Mahfudz Termas, Syaikhana

Khalil Madura, Syaikh Shaleh Darat dalam kitabnya Minhaj alAtqiya' fi Syarhi Ma'rifat al-Adzkiya' (dalam kitab itu beliau mengimbau para masyarakat umum Indonesia: agar mengamalkan Thariqah Ba 'Alawi dengan membaca Ratib alHaddad setiap hari), Hadhratussyaikh Hasyim Asy'ari, Masyayikh Pondok Sidogiri, Lirboyo, Ploso, Sarang, Langitan, Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani, Tuan Guru Sekumpul, Kiai Hamid Pasuruan, Kiai Hasan Genggong, Kiai Maemoen Zubair, dan masih banyak lagi.‖[6]

Banyak sekali nama-nama yang disebutkan yang katanya mengakui nasab Klan Ba‘alwi. satu nama yang MNS lupakan, yaitu penulis. Penulis tahun 2018 telah menulis kitab Al-Fikrat alNahdliyyat yang di dalam kitab tersebut penulis mengitsbat Ba‘alwi. tetapi pengitsbatan itu bukan hasil penelitian dari kitab-kitab nasab dan beri‘timad (bersandar) kepada Al-Syuhrah wa al-Istifadlah saja. Ketika penulis tahun 2022 meneliti secara dalam dari berbagai macam sumber-sumber, baik kitab-kitab nasab maupun kitab-kitab sejarah, maka penulis berkesimpulan bahwa pengakuan Klan Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi itu batal. Penulis yakin, nama-nama ulama yang disebutkan oleh MNS itu, jika telah sampai datang kepada mereka kitab-kitab nasab abad ke-4 sampai abad ke-9 maka mereka juga akan membatalkan nasab Ba‘alwi.

Sebagai seorang ulama MNS harusnya mengajarkan kepada para santrinya bagaimana menggunakan ―nalar kritis ilmiyah‖ dalam setiap menghadapi masalah keagamaan, bukan malah mengajarkan

―taklid buta‖. MNS pandai mengkritik pengurus PBNU, mengkritik Presiden dan pejabat-pejabat Negara, tetapi mengapa dalam ilmu pengetahuan ―nalar kritis‖-nya tumpul. 

MNS harus ingat ucapan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulum al-Din:    الله عليه وسلمما من أحد إلا يؤخذ من علمو ويتًك إلا رسول الله

―Tidak ada seorangpun keculai ilmunya dapat diterima atau ditolak kecuali Rasulullah SAW.‖[7]

MNS juga, jika ia sudah mengaji kitab Ihya Ulum a-din dengan pemahaman yang benar, maka akan menemukan keterangan bahwa para ulama zaman dahulu biasa berbeda dengan gurunya dan itu tidak dianggap sebagai ―su‘ul adab‖. Bagaimana Imam Syafi belajar kepada Imam Malik lalu ia berbeda pendapatnya dengan Imam Malik bahkan membuat Madzhab Fikih sendiri; bagaimana Imam Ahmad belajar kepada Imam Syafi‘I lalu ia berbeda pendapat dengan Imam Syafi‘I bahkan ia pula membuat Madzhab Fikih sendiri. Imam Al-Ghazali meriwayatkan, Ibnu Abbas belajar ilmu fikih kepada Zaid bin Tsabit lalu ia berbeda dengannya dalam masalah fikih; Ibnu Abbas belajar

Ilmu Qiraat kepada Ubay bin Ka‘ab lalu ia berbeda dengannya dalam Ilmu Qiraat.

 Imam Al-Ghazali berkata‖وقد كان تعلم من زيد بن ثابت الفقو وقرأ على أبي بن كعب ثم

خالفهما في الفقو

Terjemah:

―Dan dulu Ibnu Abbas belajar fikih kepada Zaid bin Tsabit dan belajar qira‘at kepada Ubay bin Ka‘ab lalu ia berbeda pendapat dengan keduanya‖21

Jadi berbeda dengan guru dalam ilmu pengetahuan itu adalah hal yang dicontohkan oleh para ulama-ulama Ahlussunah wa aljamaah. tidak seperti MNS yang mendoktrin muridnya harus sama pandangannya tentang nasab Ba‘alwi bahkan mengancam jika muridnya tidak mengakui Ba‘alwi seperti dirinya maka ilmunya tidak barakah. Sungguh itu bukan adab para ulama tuntunan Ahlussunah wa al-Jama‘ah. Itu mungkin ajaran sekte Ba‘alwi. madzhab doktrin dan khurafat. Bukan ajaran NU dan Ahlussunah wa al-Jama‘ah yang ilmiyah.

Dalam tradisi ulama-ulama Ahlussunnah wa al-Jama‘ah, murid itu didik untuk menjadi manusia merdeka dan berilmu pengetahuan. Bukan untuk menjadi budak gurunya selamanya. Sebagian pondok pesantren yang membuat selebaran untuk alumninya untuk mengikuti pendapat gurunya tentang pendapat keagamaan atau hanya sekedar politik electoral pemilu adalah tidak patut dicontoh, itu menunjukan seorang guru tidak ikhlas dalam mendidik sehingga ia mengemis balas jasa kepada muridnya berupa taklid buta seumur hidup. Sungguh kasihan seorang murid yang ditakdirkan mendapat guru seperti itu dalam hidupnya. 

Kembali kepada pembahasan nasab. wahai MNS, apakah anda memiliki dalil ketika mengatakan bahwa jika Murtadla al-Zabidi telah mengitsbat nasab Ba‘alwi lalu kita yang hidup sekarang wajib bertaklid kepadanya? Mana dalilnya? Kitab apa? Halaman berapa?

Kalau penulis punya dalil ketika mengatakan bahwa jika seorang ulama, seperti Murtadla al-Zabidi, mengitsbat nasab yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya maka itsbat itu tidak dapat diterima. Penulis juga punya dalil bahwa kita sebagai seorang peneliti nasab ketika menemukan itsbat ulama tentang suatu nasab dalam suatu kitab, maka kita harus memverifikasi itsbat itu untuk mengetahui apakah itsbat itu betul atau tidak.

Ini dalilnya, wahai MNS, pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:

وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل نص عدا كلام الله وحديث رسولو صلى الله عليو والو، فهو يخضع

للتحقيق والتدقيق وىو معرض للخطأ والصواب

 

 

 

Terjemah:

―Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan didalami; ia bisa salah dan benar.‖[8] MNS juga mengatakan:

―Gus Dur, langsung turun tangan untuk membela kehormatan para Habaib. Dalam se- buah pertemuan di Pondok Pesantren alFachriyah, Gus Dur dengan tegas menyatakan, "Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu korul dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil, mereka para cucunya Rasulullah Saw, datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar dan hanya orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya.‖[9]

Pertama, penulis merasa aneh ketika seorang MNS mengutip pendapat Waliyullah Gusdur. Bukankah MNS ketika Gusdur hidup mengatakan Gus Dur makan uang haram;[10] Gus Dur liberal; Gusdur perusak NU.[11] Lah kok sekarang mengutip pendapat Gus Dur untuk dijadikan hujjah. Mungkin ini adalah salah satu ―karomah‖ dari seorang wali seperti Gus Dur: seorang pembenci seperti MNS pun ketika Gus Dur hidup, akan berubah menjadi pengagum ketika ia telah wafat. Inilah keramat kiai-kiai NU. 

Kedua tentang ucapan Gus Dur yang dikutip itu di sana tidak ada satupun kata ―habib‖ atau ―Ba‘alwi‖ disebutkan Gus Dur. Maksud dari yang Gus Dur katakan adalah bahwa kita tidak boleh menyamakan keturunan Rasulullah dengan yang bukan keturunan Rasulullah. Itu pernyataan sangat betul sekali. Tetapi Gus Dur tidak mengatakan Klan Ba‘alwi itu cucu Rasulullah. Pernyataan Gus Dur itu respon terhadap ungkapan seorang tokoh bahwa Rasulullah tidak punya keturunan, jelas itu keliru. Jadi konteksnya Gus Dur sedang membela Rasulullah yang dikatakan tidak mempunyai keturunan bukan sedang membela Ba‘alwi.

MNS juga mengatakan:

―Dalil ilmiah saya dalam masalah ini adalah kenyataannya tidak ada satu pun dari ahli nasab pada masa lalu yang menafikan keterhubungan nasab keluarga Bani 'Alawi dengan Rasulullah Saw. Oleh karena itu, konsep dasar yang digunakan dalam fikih madzahib   al-arba'ah         adalah mempertahankan         sesuatu berdasarkan apa yang telah ada استصحاب الأصل وىو بقاء ما كان على ما كان yaitu keadaan yang riil (yaqin). Keyakinan ini tidak bisa dihapus dengan keraguan atau dengan upaya mempertanyakan, termasuk oleh penelitian Imaduddin dan )اليقتُ لايزال بالشك) lainnya‖[12] Untuk tetap meyakini nasab Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi, MNS menggunakan dalil sebuah kaidah Ushul Fikih:   بقاء ما كان على ما كان و اليقِتُُ لَا ي زالُ بِالشَّكِّ

Terjemah:

―Tetapnya sesuatu sebagaimana adanya dan keyakinan tidak bisa dirubah oleh keraguan‖

MNS lupa bahwa dua kaidah itu berasal dari hadist Nabi yang berbunyi:

إذَا وجَدَ أحَدكُمْ فِي بطنوِ شَيْ ئا فأشْكَلَ عَليْوِ، أخَرجَ مِنْوُ شَيْءٌ أمْ لَا؟ فلَا يَخرجَنَّ مِنْ المَسْجِد حَتَّى  يَسْمَعَ صَوْتًً أوْ يَِجدَ ريحا روَاهُ

مُسْلمٌ  

 

Terjemah:

―Jika salah seorang di antara kamu menemukan dari perutnya sesuatu yang menyulitkannya: apakah telah keluar dari perut sesuatu (kentut) atau tidak, maka jangan keluar dari masjid

(sholat) sampai ia mendengar suara atau bau.‖ (H.R. Muslim)

Maksud hadits itu adalah keyakinan kita belum kentut itu gugur jika kita mendengar suara kentut dari kita. Jika orang yang mendengar dan merasa dirinya kentut lalu ia masih meyakini bahwa dia belum kentut maka itu bukan keyakinan tetapi kebodohan. Begitu juga keyakinan seseorang bahwa nasab Ba‘alwi itu sahih tidak ada artinya ketika dalil yang membatalkan itu telah datang. Dalinya sudah datang kitab-kitab nasab abad ke-4 sampai ke-9 yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa tidak mempunya anak bernama Ubaid. Siki endi dalilmu?

MNS juga mengatakan:

―Adapun tidak adanya penyebutan silsilah nasab mereka dalam buku- buku sebelum al-Burqah al-Musyiqah bukanlah bukti putusnya nasab mereka, karena sudah adanya dokumen silsilah mereka yang dimiliki dan disebutkannya Ubaidullah dalam dokumen tersebut. Kemudian, ketika al-Janadi dalam kitabnya, al-Sulûk fi Thabaqat al-Mulük menyebutkan nasab keturunan Ali bin Jadid dan menyebutkan nama Abdullah setelah nama Jadid di antara nama- nama leluhurnya, penulis al-Burqah (Habib Ali al-Sakran) memahami bahwa Abdullah dalam kitab ini adalah Ubaidullah yang disebutkan dalam dokumen nasab mereka yang ada di tangan mereka. Allah lebih mengetahui kebenarannya.‖

Bagaimana MNS bisa memahami kebenaran itu secara terbalik. Harusnya MNS curiga kenapa setelah 550 tahun baru muncul pengakuan dari Ali al Sakran bahwa mereka keturunan Ahmad bin Isa? kenapa sebelumnya tidak ada ulama nasab yang mencatat Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa? kenapa Imam Al-Fakhrurazi di abad ke-6 H. hanya menyebut anak Ahmad bin Isa tiga: Muhammad, Ali dan Husain? Kenapa tiba-tba muncul di abad ke-9 H. bahwa Ubaid adalah anak Ahmad bin Isa?

Harusnya begitu cara berfikir seorang yang mencari kebenaran. Bukan dengan: karena di abad sembilan sudah dicatat ada nama Ubaid sebagai anak Ahmad bin Isa berarti sebelumnya juga dicatat. Bagaimana kalau Ali al-Sakran berdusta? Kira-kira mungkin tidak dia berdusta? Kalau dia malaikat mustahil dia berdusta; kalau dia Nabi mustahil dia berdusta karena Nabi itu maksum. Tapi Ali al-Sakran bukan malaikat juga bukan Nabi, maka kemungkinan dia berdusta atau minimal mendapat informasi yang salah itu mungkin. Begitu dong cara meneliti sebuah kesahihan. Kemudian tanpa menganggapnya berdusta kita bisa meneliti kitab-kitab nasab sebelum abad ke-9 H. apakah yang disebutkan oleh Ali al-Sakran itu terkonfirmasi atau tidak. Setelah diteliti tidak ada kitab nasab yang menyebut nama Ubaid/ Ubaidillah/Abdullah sebagai naka Ahmad. maka, pengakuan di abad sembilan itu bahasa halusnya ―tidak terkonfirmasi‖, bahasa kasarnya ―dusta‖. Begitu. MNS juga mengatakan:

―Tidak dapat dimungkiri bahwa bisa dipastikan, argumen apa pun yang membela nasab Bani 'Alawi akan mendapat kecaman dari mereka yang mem- batalkan nasab-di mana penolakan itu terkesan sangat masif dan terorganisasi- baik dengan gaya yang sok ilmiah maupun dengan narasi caci-maki. Sikap ini menunjukkan keangkuhan dan ketidakmauan untuk menerima kebenaran. Ini seperti Iblis, yang angkuh dan selalu mencari celah untuk menolak kebenaran.‖

Loh loh, apa tidak terbalik ini. Siapa yang tidak menerima kebenaran. Anda yang tidak mau menerima kebenaran. Penulis sampaikan dalil: ini kitab Al-Syajarah al-Mubarakah abad ke-6 anak Ahmad Cuma tiga Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada Ubaid. Anda tidak mau menerima dalil itu dan mengabaikannya. Bahkan menuduh itu kitab Syi‘ah hanya karena kitab itu menjadi dalil batalnya nasab Ba‘alwi. sikap angkuh tidak mau menerima dalil seperti itulah yang seperti Iblis. Bukan penulis. Dalil yang anda sampaikan semuanya telah terbantah. Bukan penulis tidak menerimadalil anda, tetapi dalil anda salah. Bagaimana anda berdalil untuk kesahihan nasab Ba‘alwi hanya berdasar catatn Ba‘alwi. seorang hakim tidak mungkin menerima kesaksian dari tertuduh mencuri bahwa ia tidak mencuri. Pengakuan tertuduh itu diabaikan: hakim mencari bukti dari keterangan orang lain. Kan begitu? Kalau mencari dalil batalnya nasab Ba‘alwi jangan dari Ba‘alwi, tentu mereka maunya nasab mereka tersambung, tetapi carilah dari kesaksian para ulama dalam kitab-kitab nasab. kitabnya harus bertitimangsa sebelum pengakuan mereka. Begitu. Kitabnya kan sudah ada Al-Syajarah al-Mubarakah, kenapa anda tidak mau menerima?

MNS juga mengatakan:

―Keangkuhan yang tergambar begitu nyata saat Imaduddin melontarkan pernyataan, "Meskipun ulama sedunia menetapkan Ba 'Alawi, saya, Imaduddin Utsman akan tetap menolaknya. Saya siap bertanggung jawab dunia-akhirat". Yang dilakukan justru hanya membela orang-orang yang membelanya, hingga menukil bahwa seorang awam/fasik seperti pemusik bisa menjadi wali. Sosok yang menulis انفكزج انىٍٍضح sebuah buku yang hanya hasil menukil dari situs- situs Wahabi.‖

Kalimat itu tidak lengkap, saudara. Yang lengkap adalah: "Meskipun ulama sedunia menetapkan Ba 'Alwi karena suatu hal‖. ―karena suatu hal‖. Apa itu ―suatu hal‖? hal yang selain kebenaran. Missal karena dia pendukung FPI, dan pemimpin FPI itu dari Klan Ba‘alwi, maka ia membelanya karena itu tanpa ada dalil yang benar, maka penulis wajib menolaknya agar nasab Rasululah terjaga dari para dukhala (penyusup) dan lusaqa (pencangkok). 

Lalu tentang bahwa penulis menukil bahwa seorang pemusik adalah seorang wali itu sah-sah saja. Tidak ada orang yang tahu siapa orang yang dicintai Allah, semuanya hanya meraba-raba saja. Seorang pemusik yang siap berdiri membela kebenaran seperti Rhoma Irama lebih pantas dihusnudzoni sebagai seorang wali, daripa orang yang seperti ulama tapi berdiri membela pemalsu nasab dzuriyah Nabi. Lalu jika dikatakan pemusik adalah seorang fasik, bukankah Ba‘alwi juga banyak para pemusik seperti Ahmad Albar, Fahmi Sahab, Muksin Alatas, Husain Mutahar, Lutfi bin Yahya dll. Bahkan mayoritas mereka suka berjoged yang dalam fikih adalah termasuk ciri kefasikan? Jika demikian, ketika anda membela Ba‘alwi berarti anda sedang membela orang-orang yang fasik. MNS juga mengatakan:

―Saya merasa prihatin dan heran melihat kelompok-kelompok ini begitu sigap menolak argumen tentang nasab Bani 'Alawi, namun acuh tak acuh pada kemungkaran yang lebih nyata di sekitar kita. Kasus-kasus seperti judi online, riba, kejahatankejahatan pemerintah, yang terbaru pelarangan jilbab bagi Paskibraka tahun 2024, dan manipulasi hukum terkait usia pencalonan pemilu, seharusnya menjadi fokus utama, bukan sekadar perdebatan tentang nasab. Ke mana mereka, padahal itu nyata-nyata mungkar? Ke mana mereka saat diterbitkannya PP kesehatan yang memfasilitasi kondom untuk remaja, melegalkan aborsi, melarang sunat bagi wanita, dan melarang penjualan rokok eceran yang jadi penghidupan rakyat-rakyat kecil dan justru menguntungkan toko-toko besar saja? Ke mana meraka saat seorang Mama Ghufron mengaku- ngaku bisa berbicara dengan Malaikat Jibril merasa bisa memprotes malaikat, dan keanehan-keanehan lainnya yang ia munculkan? Ke mana mereka saat rezim ini justru mendatangkan ratusan ribu pekerja dari Cina, serta Komunis Cina menguras ekonomi dan kekayaan alam kita? Kita perlu mencurigai adanya agenda

tersembunyi di balik penolakan nasab tersebut.‖

Judi online memang haram tetapi itu penangannannya serahkan kepada pihak yang berwenang; bisa dilakukan oleh polisi dan penegak hukum lainnya. Tetapi tentang nasab Ba‘alwi ini polisi tidak mengerti,

Pak. Kasus-kasus lain, seperti riba, usia calon wapres, Pelarangan untuk Paskibraka, PP kesehatan, aborsi, pelarangan sunat bagi wanita, pelarangan jual rokok eceran itu hal-hal sudah banyak yang memperhatikan. Tetapi, nasab Ba‘alwi yang batal ini, kiai-kianya aja banyak yang malah membela nasab batal, Pak, termasuk Anda. Sedangkan bahayanya dalam beberapa kasus sosial lebih bahaya dari hanya sekedar pelarangan jilbab bagi seorang Paskibraka untuk alasan keseragaman.

 Di mana Anda ketika ada Ba‘alwi yang merubah sejarah NU? Di mana Anda, ketika kiai-kiai keturunan Walisongo ditampar oleh oknum Ba‘alwi hanya karena memakai gelar ―habib‖? ke mana Anda ketika oknum Ba‘alwi mengatakan bahwa Indonesia ini ―Bintu Tarim‖? ke mana Anda ketika oknum-oknum Ba‘alwi meminta uang secara paksa kepada kiai-kiai? Ke mana Anda ketika makam-makam palsu didirikan atas nama tokoh Ba‘alwi? ke mana Anda ketika Faisal

Assegaf menghina Mbah Hasyim Asy‘ari dan menyamakan sejarahnya dengan karya-karya fiksi Ko Ping Hoo? Ke mana Anda ketika Rizieq Syihab mengatakan Waliyullah Gus Dur Radiyallahu

‗anhu sebagai buta mata buta hati? Ke mana Anda ketika oknum Ba‘alwi mengharamkan anak-anak muda masuk Ansor? Ke mana

Anda ketika oknum Ba‘alwi mengatakan seorang habib yang bodoh lebih mulia dari 70 kiai yang alim? ke mana Anda ketika ada oknum

Ba‘alwi menjadi begal motor di Kalimantan? Ke mana Anda Ketika ada oknum Ba‘alwi yang mencuri motor seorang Kades di Bekasi? Ke mana Anda ketika ada anak Taufiq Assegaf mengatakan bahwa

Ba‘alwi yang mabok jangan dibenci tapi dikasih beras? Ke mana Anda ketika ada dua orang Ba‘alwi mabok lalu ketika ditegur masyarakat salah seorang di antara mereka mengatakan ―saya habib‖? di mana Anda ketika ada oknum mengatakan telapak kaki habib yang narkoba, yang maksiat, yang nakal dan kotor, dibandingkan dengan kepala kiai yang pakai sorban lebih mulia telapak kaki yang maksiat? 

Anda bertanya ke mana penulis ketika Mama Gufron bicara dengan semut. Penulis jawab: Mama Gufron mau bicara dengan semut, dengan tawon, dengan kwangwung, urusannya dengan umat apa? Gak ada, Pak. Kata Anda Mama Gufron memprotes Malaikat, memang apa kaitannya dengan umat jika Mama Gufron memprotes malaikat. Itu urusan Mama Gufron; bukan urusan umat. Kalau mau menasihati boleh saja. Wong, kadang manusia banyak juga yang memprotes Tuhan: ―Ya Allah kenapa anakku mati; kenapa bukan saya saja yang mati, ya Allah‖. Itu kan memperotes Tuhan. Mama Gufron tidak merugikan umat, Pak: dia tidak dawir; tidak memeras umat dsb. Apa yang dikatakan Mama Gufron itu tidak lebih waw daripada yang ditulis para Ba‘alwi dalam kitab-kitab mereka. Ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi yang menulis bahwa tahi Ba‘alwi bisa jadi emas; ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi menulis bahwa Nabi Muhammad SAW belajar ilmu nahwu kepada Ba‘alwi; ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi menulis bahwa Faqih Muqoddam mi‘raj 70 kali ke langit mengalahkan Nabi; ke mana Anda ketika sufi Ba‘alwi mengatakan bahwa laki-laki ―dari Sarang‖ jika menikah dengan perempuan Ba‘alwi sama dengan zina wajib bercerai dan mengembalikan keperawanan; ke mana Anda ketika penyanyi solawat bernama Syeh bin Abdul Qadir Solo mengatakan di Tarim ada Raudhoh. Semua itu lebih parah dari Mama Gufron, Pak.

Anda bertanya: ke mana kami ketika rezim mendatangkan ratusan ribu pekerja China. Narasi-narasi khas Ormas terlarang FPI. Data dari mana, Pak? Hoak itu. justru TKI kita di China lebih banyak dari pada tenaga kerja China di Indonesia. Menurut data dari BRIN jumlah pekerja China di Indonesia hanya 59 ribu orang. Bandingkan dengan TKI kita yang di China mencapai 200 ribu orang; bandingkan dengan TKI di Malaysia yang mencapai 1,7 juta; bandingkan dengan TKI kita di Arab Saudi yang mencapai 833 ribu orang. Jadi jangan mudah menerima dan menyebarkan berita hoaks lah.

Anda mengatakan komunis China mengeruk kekayaan Indonesia. Dan Anda mengatakan bahwa kajian nasab harus dicurigai adanya agenda tersembunyi. Data, mana data? Jangan asal ngomong. Kebanyakan denger orasi Riziq Syihab jadi begini. Otak Anda dipenuhi teori-teori konspirasi yang miskin data; kebanyakan

Su‘udzon pada pemerintah sendiri; suudzon pada ulama NU, sementara bahaya doktrin Ba‘alwi terhadap umat Anda abaikan.

MNS juga mengatakan:

―Sudah dua tahun lamanya (hingga tulisan ini dibuat) polemik ini dipelihara terus-menerus. Kita layak bertanya, apa janganjangan ada pendanaan di balik polemik yang subur dan bertahan lama ini? Atau memang ada pihak yang menikmati polemik ini sebagai pengalihan isu atas banyak hal penting lain seperti utang negara yang sudah tembus 8.000 triliun yang pengalokasiannya sangat terkesan menguntungkan asing dan aseng?‖

Heran ya, isu nasab ini tetap bertahan selama dua tahun. Mau tahu jawabannya? Anda bertanya jangan-jangan ada pendanaan di baliknya. Mau tahu, atau mau tahu banget? Akan penulis jelaskan. Begini: umat Islam Indonesia sangat mencintai Nabi Muhammad SAW. mereka adalah umat Islam hasil didikan para Walisongo yang menyebarkan ajaran Islam penuh kasih-sayang rahmatan lil alamin. Salah satu ajarannya adalah mencinta Nabi, ahli bait Nabi dan keturunannya. Selama ini, untuk menterjemahkan cinta mereka kepada Nabi, mereka menghormati keturunannya. Kebetulan di sekitar mereka ada klan yang selalu mengaku bahwa mereka adalah keturunan Nabi, yaitu Klan Ba‘alwi.

Selama ini mereka husnudzon bahwa Klan Ba‘alwi adalah benar dzuriyat Nabi. Seiring berjalannya waktu mereka mulai curiga janganjangan Klan Ba‘alwi ini bukan keturunan Nabi. Kecurigaan itu karena melihat akhlak mereka yang jauh panggang daripada api. Sering terkait kasus zina, sodomi, penganiyayaan, pembunuhan, minum khamar, dsb. Oknum-oknum Ba‘alwi juga banyak yang berbuat seenaknya kepada para kiai dan umat Islam; sering datang memintaminta ke rumah-rumah para kiai dan orang-orang kaya. Tidak seperti pengemis lainnya, mereka membawa-bawa nama Nabi dalam mengemis. Tentu lama-kelamaan ini membuat para kiai resah. Ketika kebenaran datang memancar bahwa sebenarnya mereka bukan dzuriyat Nabi, mereka mulai sadar; mereka berusaha merangkai puzzle-puzle kecurigaan itu dengan kesimpulan ilmiyah bahwa

Ba‘alwi bukan dzuriyat Nabi. Akhirnya, mereka merasa bahagia, bahwa kecurigaan dan suudzon mereka selama ini beralasan, ternyata memang benar sesuai kecurigaan mereka bahwa Ba‘alwi ini memang bukan dzuriyat Nabi. Akhirnya, mereka bukan hanya menerima kesimpulan ilmiyah itu dan membenarkannya, bahkan mereka bertekad untuk menyadarkan saudara-saudara mereka yang lain yang masih menjadi mukibin. 

Bukan hanya tenaga yang mereka rela korbankan, secara ikhlas dan yakin demi membela nasab Rasulullah ini, dan demi menyelamatkan saudara-saudara mereka umat Islam, mereka rela mensisihkan sebagaian harta mereka untuk perjuangan ini. perlu Anda ketahui, untuk sebuah acara pelantikan Perjuangan Walisongo Indonesia tingkat kabupaten, memerlukan biaya ratusan juta rupiah. Dari mana para pejuang itu mendapatkan dana, dari iuran Umat Islam. Yang punya sepuluh ribu menyumbang sepuluh ribu; yang punya seratus ribu menyumbang seratus ribu dst. Yang sedang tidak punya uang mereka andil dengan diri mereka untuk menunjukan ―Aku bersama kalian‖. Yang lain banyak yang hanya bisa menangis di malam hari mendoakan para pejuang tabah dalam cacian dan makian para Ba‘alwi dan mukibinnya. Hati mereka bersedih ingin lebih mengabdi namun keadaan tidak mengizinkan. 

Apa Anda mengira ratusan para Youtuber itu ada yang membiayai dan menggerakan? Yang membiayai tidak ada, tetapi yang menggerakan ada: mereka digerakan oleh panggilan jiwa dan sanubari yang dalam; keikhlasan dan ketulusan; jiwa-jiwa perjuangan yang diwarisi dari leluhur mereka yang juga para pejuang. Sejarah selalu berulang hanya waktu dan sosok pemerannya yang berbeda. Nuthfahnya tetap sama: nuthfah pejuang. Zaman penjajahan Belanda yang gelisah hanya pejuang. Yang lain hidup normal, bahkan banyak yang malah menikmati penjajahan itu karena dengannya ia mendapatkan posisi penting sebagai antek Belanda yang bisa hidup sejahtera. Tapi tidak bagi pejuang. Kehormatan sebagai bangsa jauh lebih penting dari hanya sekedar hidup aman dan mapan. Manusia diciptakan sama terhormat, tidak boleh ada suatu bangsa menjajah bangsa lain; mengambil dan menguasi tanah yang sudah didiami bangsa lain; menguasai sumberdayanya dan mengahncurkan kehormatannya sebagai suatu bangsa. Hari ini, jiwa-jiwa itu yang mengalir di dalam jiwa para pejuang PWI LS, Pak. Ini yang sedang dirasakan Umat Islam Indonesia hari ini. lalu Anda ada di mana?

MNS juga mengatakan:

―Maka sangat benar jika buku ini tidak perlu diniatkan untuk membungkam pihak-pihak yang tidak akan pernah menerima

kebenaran, meskipun sejelas apa pun fakta yang disajikan.‖

Yang tidak menerima kebenaran itu Anda, Pak. Nih kebenarannya lihat dalam kitab Al-Sayajarah al-Mubarakah: Ubed bukan anak Ahmad bin Isa. mana dalil Anda? Mana kitab anda? Halaman berapa? Jangan ikin framing. Nih kebenarannya haplogroup mereka G; bukan turunan Arab. Bagaimana bukan turunan Arab bisa menjadi cucu Nabi? 

MNS juga mengatakan:

 ―Apa pun yang kita sampaikan pasti akan dibantahnya dengan segala cara.‖

Yang anda sampaikan itu bukan dibantah tapi terbantah, Pak. Kenapa? Karena yang Anda bawa bukan dalil, bukan kitab nasab. Ayo bawa mana kitab nasab yang mengatakan Ubed anak Ahmad?

MNS juga mengatakan:

 ―Sebaliknya, buku ini hadir sebagai media untuk menyelamatkan umat dari fitnah besar yang sedang berkembang, yaitu tha'nu finnasab (tuduhan terhadap nasab) dan bughdhu wa sabbu ahlil bait (membenci dan mencaci Ahlul

Bait)…‖

Menyelamatkan umat dari mana, Pak? Justru buku itu akan menjerumuskan umat untuk mengakui pemalsu nasab Nabi. Bukan cucu Nabi ingin diakui cucu Nabi, itu haram, Pak. Yang ngaku-ngaku haram, yang membelanya pun seperti Anda haram, Pak. Terkait narasi anda bahwa polemic nasab ini mengakibatkan ―Bughdu wa sabbi ahlil bait‖ (membenci dan mencaci ahlil bait), tidak ada, Pak. Yang ada menjaga kesucian Ahli Bait Nabi dari para pemalsu nasab yang mengaku-ngaku keturunan Ahlu Bait Nabi.

MNS juga mengatakan:

―Sebagaimana nasab Bani 'Alawi yang sah, melalui isu ini akhirnya kita juga menemukan bahwa nasab Wali Songo juga sah. Jika menurut catatan manuskrip kerajaan-kerajaan, para pakar nasab dan fikih seperti Habib Dhiya'uddin Syahab, pakar sejarah seperti, Habib Ahmad Assegaaf, Sayid Naquib al-Attas dan Buya Hamka serta ahli kasyf dan ahli fikih seperti Habib Alwi bin Thohir Mufti Johor, nasab ini tersambung melalui Adzamatkhan yang artinya mereka juga bagian dari Bani 'Alawi melalui 'Ammul Faqih. Kalaupun bukan melalui jalur itu, mungkin saja Wali Songo tersambung nasabnya melalui Bani Qudaim ataupun Bani Ahdal yang juga turut serta hijrah ke Yaman bersama Ahmad al-Muhajir. Sebagaimana dijelaskan oleh al-walid K.H. Maimoen Zubair bahwa "mayoritas Wali Songo itu habaib yang tidak dihabibkan (disamarkan)". Wallahu a'lam.‖

Kalimat Anda rancu, Pak. Katanya kalau nasab Ba‘alwi sah maka nasab Walisongo juga sah, tetapi Anda katakana kalaupun tidak dari Ba‘alwi bisa jadi nasab Walisongo dari bani Qudaim dan Bani Ahdal. Perlu Anda ketahui tiga marga yang Anda sebutkan: Ba‘alwi, Bani Ahdal dan Bani Qudaimi itu semuanya pemalsu nasab. tidak ada dari ketiganya yang terbukti sebagai keturuna Nabi berdasar kitabkitab nasab. semuanya tertolak. Mengenai Walisongo, pembelokan sejarah dan nasab Walisongo jelas dilakukan Ba‘alwi di satu sisi, dan oleh Belandadi sisi lain. Semuanya sedang diadakan penelitian komprehenship berdasar sumber sezaman atau yang mendekati, yang jelas Walisongo itu bukan Ba‘alwi. 

MNS juga mengatakan:

―…semua madzhab sepakat bahwa kepopuleran dapat dijadikan dasar bukti dalam penetapan nasab¹. Dan nasab para Habaib, sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, memenuhi unsur syuhrah dan istifadhah yang merupakan kriteria sah dalam perspektif fikih. Ini sejatinya sudah sangat cukup untuk membantah berbagai tuduhan yang meragukan keabsahan nasab mereka.‖[13]

Betul, Pak. Semua madzhab sepakat bahwa syuhrah dan istifadalah bisa digunakan sebagai dasar penetapan nasab, tetapi ada syaratnya yaitu tidak boleh ada bukti penentang. Sedangkan pengakuan nasab Ba‘alwi dan ke-syuhrah-nya ditentang oleh kitabkitab nasab yang menyatakan mereka bukan keturunan Ahmad bin Isa. kalau Anda ingin mengetahui dalilnya berikut ini beberapa sampel ibarat dari kitab-kitab fikih yang menyatakan bahwa syhurah dan istifadlah itu ada syaratnya:

Syekh Al-Husain bin Haidar Al-Hasyimi dalam kitab Rasa‘il fi ‗ilm al-Ansab mengatakan: 

وقد عد علماء النسَبِ تَٜسَ طرائق لثبوتو: الطريق الأول : اسْتفَاضَة النسب وشهرتو في بلده ، شهرة تثمر علماً ، واستفاضة بتُ عددٍ مِن الناسِ يقع العلم تٓبرىم أو الظن القوي ، ويؤمن توافقهم على الكذب ، مع عدم ات١عارض . والاستفاضة تعتٍ التسامع ، وىي مِنْ أظهَرِ البَ يناتِ ، وَتتَ وَفر الدَّوَاعِي إلَى نقلها، وإنما خصوىا بالتسامع ، لأنَّ النسَبَ أمْرُ لَا مَدْخَلَ لِلرُّؤَْي ةِ فيو.

Terjemah:

―Ulama nasab menghitung ada lima metode dalam menetapkan nasab: pertama, adalah dengan “istifadlotunnasab” (menyebarnya nasab) dan “syuhratunnasab” (popularnya nasab) di desanya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan dengan menyebar antara manusia yang bisa terjadi keyakinan dengan berita mereka, atau dugaan kuat, dan aman dari kemungkinan kesepakatan mereka untuk berdusta, dengan disertai tidak adanya dalil yang menentang. Dan Istifadlah yaitu Al-Tasamu‟ (saling dengar-mendengar) ia termasuk hal-hal yang paling nampaknya bukti, dan ada alasan untuk memberitakannya. Ulama memilih istifadlatunnasab dengan tasamu‟, karena nasab itu adalah sesuatu yang tidak ada jalan masuk untuk melihat langsung‖

Perhatikan dengan seksama kalimat: ma‘a ‗adamil mu‘arid (disertai tidak ada dalil penentang). Jika ada dalil penentang maka syuhro atau tasamu‘ itu gugur, Pak. Ini adalah lagi satu dalil:

Dalam Kitab Nihayatul Muhtaj juz 8 h. 319 karya Imam  Ramli: )وَلوُ الشَّهَادَةُ بِالتسَامُعِ( حَيْثُ لَمْ ي عَارضْوُ أقْ وى مِنوُ كَإِنكَارِ المَنْسُوبِ إليْوِ أوْ طعْنِ أحَدٍ في الِانتسَابِ إليْوِ، ن عَمْ ي تجَوُ أنوُ لَا بدَّ مِنْ طعْنٍ لَمْ تَ قُمْ  قرينةٌ عَلى كَذِبِ قَائِل وِ

―Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ ketika tidak ada penentang yang lebih kuat dari tasamu‟, seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha‟n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu‘ gugur dengan adanya inkar dan tha‟n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha‟n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan orang yang menyampaikannya‖

Perhatikan kalimat: Haetsu lam yu‟aridhu aqwa minhu (ketika tidak ditentang oleh dalil yang kuat daripada kepopularan itu). kalau ada penentang maka syuhrah itu gugur, Pak. 

Mau tambah lagi dalilnya? Ini satu lagi: Ibnu Hajar AlAsqalani berkata:   ان النسب ت٦ا يثبت بالاستفاضة الا ان يثبت ما يخالفو

―Sesunggunya nasab adalah sebagian dari yang bisa ditetapkan dengan metode istifadloh kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya‖[14]  Perhatikan kalimat: Illa an yasbuta ma yukhalifuhu (kecuali ada yang menentangnya). Mau tambah dalil lagi? Ini tambah lagi:

Coba perhatikan yang dinyatakan kitab Al-Najm al-Wahhaj karya Al- Damiri:

قال: )ولو الشهادة بالتسامع على نسب( بالإتٚاع, لأن نسبو لا يدرك بالبصر, وغاية ات١مكن رؤية الولادة على الفراش، فاكتفي فيو بالاستفاضة للحاجة، ويجوز ذلك وإن لم يعرف عتُ ات١نسوب إليو، حكاه في )الكفاية( عن )الإشراف.( كل ىذا إن لم تكن ريبة، فإن كانت بأن كان ات١نسوب إليو حيا فأنكر .. لم تٕز الشهادة، فإن كان ت٣نونًً جازت على الصحيح، فإن طعن بعض الناس فى ذلك النسب .. امتنعت الشهادة على الأصح.

―Boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ terhadap nasab dengan ijma‘. karena nasabnya tidak bisa dilihat dengan mata. Yang mungkin bisa dilihat adalah kelahiran di ranjang, maka cukuplah dalam nasab itu dengar-mendengar. Hal itu boleh walau orang itu tidak mengenal mansub ilaih (seperti ayahnya). Keterangan itu diceritakan dalam kitab Al-Kifayah. Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada keraguan. Apabila keraguan itu ada, contohnya orang yang menjadi Al-Mansub ilaih itu masih hidup lalu mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi. Maka jika mansub ilaih itu gila, boleh ia bersaksi menurut qaul sahih. Ketika sebagian orang mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi tentang nasab itu menurut qaul asoh [15]”. 

Perhatikan kalimat: kullu hadza in lam takun ribatun (hukum popular ini ketika tidak ada keraguan). Masih mau dalil lagi? Cari sendiri saja, semua kitab fikih ketika berbicara syuhrah dan istifadlah atau tasamu‘ semuanya mensyaratkan adanya satu point yaitu: tidak ada dalil penentang. Dalilnya sudah ada: kitab-kitab nasab abad 4-9 H. yang tidak mencatat nama Ubaid sebagai anak Ahmad, dan kitab AlSyajarah al-Mubarakah di abad ke-6 telah tegas menyebut Ahmad bin Isa hanya mempunyai anak tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Lalu dalilmu endi, Pak?



[1] Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii

[2] Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani, Ushulu „Ilmi al Nasab wa alMufadlalah Bain al-Ansab, 76-77

[3] Ibid h. 77

[4] Imad Muhammad al-„Atiqi, Dalil Insya‟I wa Tahqiqi Salasili al Ansab h. 58

[5] Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii

[6] Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii

[7] Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din, Al-Maktabah al-Syamilah, 1/78 21 Ibid

[8] Khalil bin Ibrahim, h. 85

[9] Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xviii

[10] https://www.hops.id/trending/pr-2942773554/gus-najih-sebut-kadernu-banyak-makan-uang-haram-mulai-dari-zaman-gusdur#google_vignette

[11] https://www.faktakini.info/2019/03/tanggapan-gus-najih-maimoenzubair-soal.html#gsc.tab=0

[12] Hanif dkk, Keabsahan Nasab Ba‟alwi, h. xx

[13] Hanif dkk…h. xviii

[14] Ibnu Hajar al-Asyqolani, Al-Jawab al-Jalil, h.47

[15] Al-Damiri, Al-Najm al-Wahhaj, Juz 10 halaman 356.

your advertise here

This post have 0 comments

Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Themeindie.com