Waktu Pendakwah Menjawab Seluruh Pertanyaan dan Suka Mengeluarkan Fatwa

Ustadz Seleb. Ilustrasi: Istimewa.

Oleh Muhammad Ibnu Sahroji*

Ibnu Mas’ud, seorang Sahabat yang keilmuannya amat tinggi dan jauh bila dibandingkan dengan para pendakwah ataupun ustadz zaman now, pernah berkata:

وَاللّهِ إِنَّ الَّذِيْ يُفْتِي النَّاسَ فِيْ كُلِّ مَا يَسْأَلُونَهُ لَمَجْنُوْنٌ

Artinya:

“Untuk Allah, sesungguhnya orang yang saat ditanya saban masalah dia senantiasa menjawab (menggampangkan dalam berfatwa), maka dia sungguh-sungguh orang gila.” (Syarah as-Sunnah, Imam al-Baghawi, j. I, h. 209).

Hal senada pernah dikerjakan oleh Imam Malik, 1 dari 4 Imam Madzhab yang keilmuannya diakui oleh dunia sampai sekarang. Alkisah seorang utusan dari Maroko pernah amat kecewa sebab dari 40 pertanyaan titipan yang diusulkan ke Imam Malik, cuma 8 yang dijawab oleh beliau.

“3 bulan perjalanan kutempuh untuk menjumpaimu dengan pertanyaan dari kaumku, Apa yang nanti wajib kukatakan pada mereka,” kata utusan itu menyampaikan keberatannya.

“Katakan saja bahwa Malik tidak tahu,” ucap Imam Malik.

Apakah Imam Ibnu Masud kurang alim? Tentu saja tidak. Apakah Imam Malik masih rendah ilmu pengetahuan keagamaannya? Sama sekali tidak. 2 orang itu ialah sosok yang amat terpandang keilmuannya dalam khazanah Islam. Maka mengapa mereka tidak mau menjawab seluruh pertanyaan dan bahkan berpendapat cuma orang gila yang sudi melakukannya? Apakah mereka tidak berkehendak “melayani” ummat sebagaimana tugas suci mereka? Bukan. Sama sekali bukan seperti ini alasannya.

Dalam khazanah keilmuan Islam, ditanyai masalah agama dikenal dengan istilah “dimintai fatwa”. Bagi para ulama, fatwa bukanlah masalah yang sembarangan. Penting ada proses ijtihad yang dikerjakan untuk memberikannya. Ijtihad itu diawali dari memahami betul persoalannya, lalu usaha untuk menggali dalil yang sesuai atau mendekati masalah tersebut, dan baru lalu merumuskan jawabannya.

Para ulama zaman dulu yang terkenal sebab ketawadhuan dan kewiraiannya juga menghindari fatwa personal. Mereka lebih suka kalau duduk berbarengan untuk melahirkan sebuah keputusan yang biasa disebut selaku fatwa jama’i atau fatwa yang bersifat kolektif. Makin banyak orang yang terlibat dalam merumuskan sebuah masalah tentu akan membikin respon masalah tersebut jadi makin valid.

Agaknya hal seperti ini tidak berlaku di zaman now ini. Manusia berlomba memburu sesuatu yang instan dan bersifat direct ke masalah. Inilah yang lalu melahirkan fenomena ustadz-ustadz yang secara serampangan membuka segmen tanya jawab dan lalu secara instan dan sporadis langsung dijawab oleh ustadz. Untuk memberikan efek meyakinkan, tidak jarang mereka akan mengutip dalil berupa Al-Qur’an ataupun Hadis, yang secara serampangan mereka kait-kaitkan dengan masalah yang ditanyakan. Dengan model semacam ini, jemaah akan merasa puas walaupun sifatnya sesaat, dan ustadz dapat menaikkan wibawanya.

Tidak jarang pertanyaan yang diusulkan berlebihan random bahkan jauh dari spesifikasi keilmuan ustadz. Pertanyaan seputar asuransi, transaksi online, bahkan soal psikologi akan dibabat habis oleh ustadz walaupun sejatinya dia tidak paham-paham amat dengan masalah tersebut.

jema'ah yang menuntut respon yang instan tentu akan melahirkan ustadz instan pula. Makin sering ia ditanyai, maka kemungkinan ia menjawab secara serampangan akan makin besar. Tentu saja, bilapun ustadz sejatinya tidak memahami masalah yang ditanyakan, ia akan gengsi berkata “tidak tahu” sebab kuatir akan dinilai bodoh oleh jamaahnya dan ujungnya akan ditinggal.

Apakah ustadz-ustadz tersebut merasa lebih alim dari Imam Malik? Apakah mereka tidak takut dinilai gila oleh Sahabat Ibnu Masud? Wallahu a’lam.

Kalau ustadz tidak boleh menjawabi seluruh pertanyaan, maka apakah yang dapat dikerjakan oleh mereka? Sesungguhnya jawabannya sederhana, ialah ustadz dapat melakukan fungsinya selaku pemberi kemaslahatan bagi ummat. Sebagaimana yang telah dikerjakan oleh KH Hasyim Asyari yang melayani ummat dengan jalan pendidikan pesantren dan bela negara, atau yang dikerjakan oleh KH Ahmad Dahlan yang menempuh jalan perjuangan ekonomi ummat dan pendidikan. Saya percaya, 2 orang terhormat itu bukanlah orang yang banyak menjawabi pertanyaan ummat, tetapi lebih ke memberikan kemaslahatan apa yang paling dibutuhkan ummat.

Jadi, sebaiknya ustadz tidak usah menjawab haram kalau ditanyai apa hukum bekerja di perusahaan. Cukup berdayakan saja ekonomi ummat. Ustadz juga tidak usah mengajak untuk meninggalkan kemewahan duniawi apabila kendaraan mereka saja jauh lebih mewah dari kendaraan jemaah. Kami rindu dakwah bil hal. [Warta Sunda/pin]

Posting Komentar untuk "Waktu Pendakwah Menjawab Seluruh Pertanyaan dan Suka Mengeluarkan Fatwa"