Pengertian Illat, Karena dan Hikmah dalam Qiyas Ushul Fiqih (Download PDF)

pengertian illat dalam ushul fiqih
Pengertian illat, hikmah dan karena dalam Qiyas Ushul Fiqih.

Oleh Wahyu Setyowati

Di antara hal-hal yang diperlukan bahwa sebagian ulama ushul fiqh menjadikan karena dan illat selaku sesuatu yang sama dan bermakna sama. Tetapi sebagian besar dari mereka berpendapat bahwa masing-masing dari illat dan karena itu mempunyai tanda atas suatu hukum, masing-masing jadi dasar hukum dan mengikat hukum berdasar ada dan tidak ada.

Bagi pembuat hukum, masing-masing mempunyai hikmah dalam mengikat suatu hukum. Akan tetapi kalau hubungan dalam ikatan hukum itu sanggup ditangkap oleh akal kita, maka disebut karena saja, tidak disebut illat. Seluruh illat ialah karena, dan tidak seluruh karena ialah illat.

Pengertian Qiyas dan illat
 

Qiyas secara bahasa arab artinya ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan, atau menyamakan sesuatu dengan yang lain. Menurut istilah ahli Ilmu Ushul Fiqh, qiyas ialah mempersamakan suatu Perkara yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu Perkara yang ada nash hukumnya.

Apabila suatu nash sudah memperlihatkan hukum Soal suatu Perkara dan illat hukum itu sudah diketahui melalui bagian metode untuk mengetahui illat hukum, lalu ada Perkara lain yang sama dengan Perkara yang ada nashnya itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga Ada pada Perkara itu, maka hukum Perkara itu disamakan dengan hukum Perkara yang ada nashnya.

Beberapa contoh qiyas hukum syara’ dan hukum positif yang dapat menerangkan pengertian tersebut di antaranya ialah eminum khamar ialah Perkara yang ditetapkan hukumnya oleh nash, yaitu pengharaman, yang ditunjuki oleh firman Allah Swt:


إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ



Artinya :
Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala mengundi nasib dengan anak panah ialah perbuatan keji yang termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu”. (QS. Al-Maidah: 90).

Tidak ada suatu hukum pun dari hukum-hukum syara’ itu yang disyari’atkan sebab main-main tanpa ‘illat. Cuma saja, hukum ada 2 macam, yaitu:

  1. Hukum-hukum yang pengetahuan mengenai hal ‘illat-‘iilatnya dimonopoli oleh Allah. Tidak mempersiapkan untuk menemukan ‘illat-‘illatnya tersebut dengan maksud untuk menguji dan memberikan cobaan ke hamba-hamba-Nya, apakah mereka dapat mengetahui ‘illat yang jadi dasar hukumnya. 

  2. Hukum-hukum yang pengetahuan mengenai hal bermacam ‘illat-nya tidak dimonopoli oleh Allah saja, akan tetapi Allah juga memberikan petunjuk ke akal Soal ‘illat-‘illatnya, baik hukum-hukum tersebut berupa hukum permulaan. Maksudnya, ia bukan hukum pengecualian dari hukum umum, seperti pengharaman meminum khamar yang dengan qiyas. 


Pengharaman itu dijangkaukan ke meminum minuman keras yang memabukkan, dan pengharaman riba pada qumh (kategori gandum) dan sa’ir (kategori gamdum lainnya) yang dengan qiyas pengharamannya itu dijangkaukan ke jagung dan beras, ataupun ia Adalah hukum yang dikecualikan dari hukum umum, seperti pemberian keringanan jual beli ‘arak selaku pengecualian dari sesuatu yang sejenisnya dengan keterlaluan, yang dengan dasar qiyas, hukumnya dijangkaukan ke jual beli anggur basah dengan anggur kering; tetapnya kelangsungan puasa padahal orang yang berpuasa itu makan sebab lupa, selaku pengecualian dari batalnya puasa dikarenakan sampainya makanan ke perut orang yang berpuasa, yang berikutnya, berdasar qiyas, hukum pengecualian itu dijangkaukan ke makanannya seorang yang berpuasa sebab kekeliruan atau keterpaksaan, serta tetap sah shalatnya, padahal orang yang melaksanakan shalat berbicara sebab lupa.

Para ulama ushul fiqh menyampaikan 4 syarat yang wajib dipenuhi oleh al-far’u, yaitu:
  1. ‘Illatnya sama dengan ‘illat yang ada pada ashl, baik pada zatnya maupun pada jenisnya. Contoh ‘illat yang sama zatnya ialah meng-qiyaskan wisky pada khamar, sebab keduanya sama-sama memabukkan dan yang memabukkan itu sedikit atau banyak, apabila diminum, hukumnya tetap haram. ‘Illat yang ada pada wisky sama dengan ‘illat yang ada pada khamar. Apabila antara ‘illat yang ada pada far’u tidak sama dengan ‘illat yang ada pada ashl, maka qiyas seperti ini, menurut para ahli ushul fiqh disebut al-qiyas ma’a al-fariq.

  2. Hukum ashl tidak berubah sesudah ditunaikan qiyas.

  3. Hukum far’u tidak mendahului hukum ashl.

  4. Tidak ada nash atau ijma’yang menerangkan hukum far’u


Secara etimologis, illat ialah nama bagi sesuatu yang menyebabkan berubahnya kondisi yang lain dengan keberadaannya. Secara terminologis, ada beberapa definisi yang dikemukakan ulama. Asy-Syaitibi menuliskan pengertian illat selaku berikut:

Illat ialah kemaslahatan atau kemanfaatan yang dipelihara atau diperhatikan syara’ didalam menyuruh sesuatu pekerjaan atau mencegahnya. Kebanyakan ulama’ Hanafiyah, sebagian ulama’ hanabilah dan Imam Baidhawi, mendefinisikan illat dengan suatu sifat (yang berfungsi) selaku pengenal bagi suatu hukum.

Beberapa istilah terkait, dapat dibaca berikut ini:

  1. Mundhabithah maksudnya ialah 'illat mestinya sesuatu yang dapat diukur dan terang batasannya.

  2. Mula'im wa munasib, yaitu suatu 'illat wajib mempunyai kelayakan dan mempunyai hubungan yang sesuai antara hukum dan sifat uang dipandang selaku 'illat.

  3. Muta'addiyah, yaitu suatu sifat yang Ada bukan cuma pada kejadian yang ada nas hukumnya, tetapi juga Ada pada peristiwa-peristiwa lain yang hendak ditetapkan hukumnya. 


Imam Al-Ghazali mendefinisikan illat selaku sifat yang berpengaruh kepada hukum, bukan sebab zatnya, melainkan atas perbuatan syari’. ‘Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashl  yang sifat itu jadi dasar untuk menetapkan hukum ashl serta untuk mengetahui hukum pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya.

Menurut dia ‘illat itu bukanlah hukum, tetapi Adalah penyebab adanya hukum, dalam arti: adanya suatu ‘illat menyebabkan munculnya hukum. Pada dasarnya, definisi yang dikemukan Al-Ghazali ini tidak tak sama dengan definisi di atas. Akan tetapi, Al-Ghazali berpendapat bahwa pengaruh ‘illat kepada hukum bukan dengan sendirinya, melainkan wajib adanya izin Allah.

Baca: Santri Tidak Sembarangan Ngumbar Dalil, Kenapa?

Maksudnya, Allah-lah yang menjadikan ‘illat itu berpengaruh kepada hukum. Misalnya, wajibnya hukuman potong bagi para pencuri, hal itu tiada lain dikarenakan perbuatan mencuri yang ditunaikan. Akan tetapi, hukum potong tangan itu sendiri pada hakikatnya Adalah kehendak Allah. Bukan semata-mata perbuatan mencuri itu sendiri.

Contoh lain, seorang pembunuh terhalang memperoleh warisan dari harta orang yang dibunuhnya, dikarenakan tindakan mematikan yang ia lakukan. Dalam Perkara ini bukan sebab menghabisi yang semata-mata jadi illat-nya sehingga menyebabkan diia tidak memperoleh warisan, tetapi atas perbuatan dan kehendak Allah. Dengan sedemikian ‘illat dalam ke-2 definisi di atas cuma Adalah indikasi, penyebab dan motif dalam suatu hukum, yang dapat dijadikan untuk mengetahui suatu hukum.

Menurut Mu’tazilah illat ialah sifat yang secara langsung mempengaruhi suatu hukum, bukan atas kehendak atau perbuatan Allah. Menurut mereka, illat itulah yang menyebabkan hukum itu disyari’atkan dan syari dalam hal ini alam menetapkan hukum, wajib ikut illat tersebut.

Jadi illat ialah sifat dalam hukum ashal yang dijadikan dasar hukum. Dan dengan itu diketahui hukum tersebut dalam cabang, seperti illat “memabukkan”. Ia ialah sifat yang Ada pada khamar yang dijadikan dasar keharamannya. Dan dengan itu diketahui wujudnya keharaman dalam saban arak yang memabukkan. “Penganiayaan” ialah sifat yang Ada pada penjualan seseorang atas penjualan seseorang yang lain yang dijadikan dasar atas keharamannya. Sedemikian seterusnya.

Para ulama ushul fiqh mengumumkan, apabila disebut ‘illat, maka biasanya yang dimaksud ialah:

  1. Suatu hikmah yang jadi motivasi dalam menerapkan hukum, berupa pencapaian kemaslahatan atau Tidak mau kemadaratan. Misalnya, tercapainya bermacam manfaat bagi orang yang melaksanakan transaksi jual beli, sebab jual beli itu dibolehkan. Terpeliharanya anak cucu yang diakibatkan diharamkan perbuatan zina dan terpelihara akal manusia dikarenakan diharamkannya meminum Khamar. Dengan sedemikian, menurut ulama ushul fiqh, pada saban hukum syara’ senantiasa terkandung motivasi untuk mencapai kemaslahatan dan Tidak mau kemadaratan. Akan tetapi, tolok ukur dalam menentukan sesuatu maslahat atau Tidak mau mudarat. Sebab masing-masing manusia mempunyai cara yang tak sama dalam menentukan kemaslahatan dan kemadaratan. 

  2. Sifat Zhahir yang dapat diukur yang sejalan dengan suatu hukum dalam mencapai suatu kemaslahatan, berupa manfaat atau menghindari kemudaratan bagi manusia. Tidak mau dan menghindarkan kemudaratan itu termasuk suatu kemaslahatan. Sifat yang Zhahir ialah suatu sifat yang Ada dalam hukum yang dapat dinalar oleh manusia.


Mu’tazilah berpendapat bahwa semua perbuatan dan hukum Allah mempunyai ‘illat dan maksud yang mengandung motivasi untuk dikerjakan, yaitu kemaslahatan bagi ummat manusia. Hal itu sejalan dengan pendirian mereka bahwa Allah itu “berkewajiban” untuk melaksanakan sesuatu yang baik dan the best untuk hamba-Nya.

Para ulama fiqh dan ushul fiqh mengumumkan bahwa hukum-hukum Allah itu didasarkan atas kemaslahatan hamba, untuk di dunia dan di akhirat. Kebanyakan ahli kalam mengumumkan bahwa hukum-hukum Allah itu tidak mengandung ‘illat baik berbentuk kemaslahatan ataupun hikmah.

Ulama Hanafiyyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa munasabah dapat jadi ‘illat apabila Disokong oleh nash atau ijma’, seperti munasabah yang ditetapkan Syari’ untuk memelihara al-maqashad kulliyyah al-khamsah, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta , dan anak cucu atau kehormatan.

Menurut ulama Malikiyyah dan Hanabilah, munasabah itu dapat jadi ‘illat sekalipun tidak Disokong oleh nash atau ijma’. Menurut mereka, apabila munasabah dan hukum Ada keterkaitan yang sesuai, maka telah dapat dijadikan ‘illat hukum. Oleh sebab itu semua sifat yang mengacu kepda pencapaian sesuatu kemaslahatan atau Tidak mau kepada suatu kemadaratan dapat dijadikan ‘illat hukum.

Syarat-Syarat ‘Illat dalam Ushul Fiqih

  1. ‘Illat itu mengandung motivasi hukum, bukan sekedar tanda-tanda atau indikasi hukum. Maksudnya, fungsi ‘illat ialah bagian dari maksud disyari’atkannya hukum, yaitu hukum kemaslahatan ummat manusia.

  2. ‘Illat itu dapat diukur dan berlaku untuk seluruh manusia. Maksudnya, ‘illat itu memiiliki hakikat tertentu dan terbatas, berlaku untuk seluruh manusia dan kondisi. Misalnya, tindakan mematikan Adalah ‘illat yang menghalangi seseorang memperoleh harta warisan dari orang yang dia bunuh, ‘illat ini dapat diterapkan ke tindakan mematikan dalam Perkara wasiat.

  3. ‘Illat itu terang, nyata, dan dapat ditangkap indera manusia, sebab ‘illat Adalah pertanda adanya hukum. Misalnya, sifat memabukkan dalam khamar. Apabila ‘illat itu tidak nyata, tidak terang, dan tidak dapat ditangkap panca indera manusia, maka sifat seperti itu dapat dijadikan ‘illat. Contoh sifat yang tidak nyata, ialah sifat “sukarela” dalam berjual beli. Sifat “sukarela” ini tidak dapat dijadikan ‘illat yang menyebabkan pemindahan hak milik dalam jual beli, sebab “sukarela” itu problem batin yang sulit diindera. Itulah sebabnya para ahli fiqh mengumumkan bahwa “sukarela” itu wajib diwujudkan dalam bentuk ijab dan qabul atau melalui tindakan. 

  4. ‘Illat itu Adalah sifat yang sesuai dengan hukum, artinya ‘illat yang ditetapkan berdasar analisis mujtahid sesuai dengan hukum itu.

  5. ‘Illat itu tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.

  6. ‘Illat itu bersifat utuh dan berlaku secara timbal balik. Maksudnya apabila ada ‘illat maka hukumnya ada, dan sebaliknya apabila ‘illatnya hilang, maka hukumnya pun hilang. Misalnya, orang gila tidak dibolehkan melaksanakan tindakan hukum sebab kecapakan bertindak hukumnya sudah hilang. Kehilangan kecapakan bertindak hukum itu disebut ‘illat.

  7. ‘Illat itu tidak Hadir belakangan dari hukum ashl. Artinya, hukumnya sudah ada, baru Hadir ‘illat-nya lalu.

  8. Hukum yang mengandung ‘illat itu tidak meliputi hukum far’u.

  9. ‘Illat itu Ada dalam hukum syara’.

  10. ‘Illat itu tidak berentangan dengan ‘illat lain yang posisinya lebih kuat.

  11. Apabila ‘illat itu dinisbatkan dari nash, maka ia tidak menambah nash itu sendiri.

  12. ‘Illat itu dapat ditetapkan dan diterapkan pada Perkara hukum lain. 


Adapun hikmah yang Ada dalam suatu hukum, adakalanya dapat dinalar bahwa hikmah itu berhubungan dengan hukum, sebab ia dijadikan motivasi untuk menentukan suatu hukum. Akan tetapi, hikmah itu sendiri terkadang suatu yang sulit diukur dan ditangkap panca indera.

Hikmah ini tak sama dalam pandangan 1 individu dengan individu lain dang tak sama antara 1 kondisi di suatu tempat dengan kondisi di tempat lain. Oleh karena itu menurut mereka, hikmah tidak dapat dijadikan referensi umum. Misalnya, jual beli itu disyari’atkan dengan hikmah untuk menghindari kerepotan serta memenuhi kebutuhan manusia. Akan tetapi, jual beli yang ditunaikan seseorang bukan sebab untuk menghindari kerepotan dan bukan pula untuk memenuhi kebutuhan ummat manusia.

Baca: Bijaksana Membawa Fiqih Jadi Bukti Kefaqihan, Kenapa?

Bolehnya berbuka puasa bagi musafir Adalah hikmah untuk menghindari kerepotan dari mereka. Akan tetapi, masyaqah itu sendiri dapat tak sama untuk saban orang dan kondisi. Orang yang bepergian mempergunakan pesawat udara tidak akan menjumpai kerepotan dalam perjalanan mereka.

Dengan sedemikian menurut jumhur ulama ushul fiqh, hikmah itu sulit diukur dan tidak dapat berlaku umum, sedangkan yang akan dijadikan ‘illat hukum itu ialah sesuatu yang dapat diukur dan berlaku secara umum untuk seluruh orang dan kondisi. Oleh sebab itu, mereka tidak menerima hikmah dijadikannya selaku ‘illat suatu hukum.

Dalam musafir misalnya, menurut jumhul ushul fiqh yang menjadikan bolehnya meng-qashar shalat atau bolehnya berbuka bagi orang yang berpuasa, yang menjadikan ‘illat-nya ialah safar (perjalanan) itu sendiri, bukan masyaqqah-nya.

Jumhur ulama ushul fiqh juga membedakan antara ‘illat dengan karena. Menurut mereka, karena lebih umum kandungannya daripada ‘illat. Tiap-tiap ‘illat ialah karena dan saban karena bukan ‘illat. Apabila suatu sifat berjalan dengan suatu hukum yang dapat ditangkap akal manusia atau nalar manusia, maka sifat itu disebut ‘illat sekaligus juga karena. Misalnya, transaksi jual beli yang memperlihatkan kerelaan ke-2 belah pihak untuk memindahkan hak milik, disebut ‘illat sekaligus karena.

Apabila persesuaian sifat dengan suatu hukum tidak dapat dinalar manusia, maka sifat itu disebut karena. Misalnya, tergelincirnya matahari dari titik kulminasi Adalah penyebab wajibnya melaksanakan shalat dzuhur. Tergelincirnya matahari tersebut dikaitkan dengan kewajiban melaksanakan shalat dzuhur Adalah keterkaitan yang tidak dapat dinalar oleh manusia. Hal seperti itu, menurut jumhur ulama ushul fiqh disebut karena, bukan ‘illat.

Cara untuk Memilih Sifat yang dijadikan ‘Illat
Adapun 3 cara yang ditunaikan untuk memilah dan memilih sifat yang dijadikan ‘illat yaitu:

  1. Mujtahid tersebut menyaksikan bahwa sifat yang dipelihara ternyata sudah membentuk suatu hukum, sedangkan sifat yang lainnya tidak sedemikian. Cara seperti ini disebut para ahli ushul fiqh dengan ilgha’.

  2. Sifat yang dipakai selaku ‘illat tersebut sungguh sifat yang tidak dapat diterima oleh syara’. Misalnya, sifat laki-laki dan wanita dalam memerdekakan budak. Sifat laki-laki dan perempuan sungguh sifat yang menentukan dalam problem persaksian, peradilan, dan perwalian. Akan tetapi, menurut ulama ushul fiqh, sifat pria dan perempuan dalam problem memerdekakan budak tidak dapat dijadikan ‘illat, sebab baik budak laki-laki maupun perempuan, sama-sama wajib dimerdekakan. 

  3. Mujtahid itu sendiri tidak menyaksikan adanya keterkaitan dan kesesuaian (munasabah) sifat itu dengan hukum yang dibicarakan, sebab syara’ tidak menjadikannya selaku sifat yang dapat jadi ‘illat dalam Perkara hukum apa pun. 


Pembagian ‘Illat
Pembagian illat dari segi ada dan tidaknya menurut syara’ yang sesuai pada 4 bagian, yaitu:
  1. Sesuai dan berpengaruh (Al-Munasib al-Mu’tsir), yaitu sifat yang sesuai oleh syari’ sudah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu, baik dalam nash maupun ijma’. Sifat tersebut sudah ditetapkan selaku hukum. Penyusunan hukum itu atas dasar penyelarasan kepada sifat tersebut, seperti firman Allah:


     وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوْا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيْضِ 



    Artinya:
    "Mereka menanyakan kepadamu mengenai hal haid, katakanlah haid itu ialah suatu kotoran. Oleh karena itu hendaklah engkau menjauhkan diri dari perempuan di waktu haid." (QS. Al-Baqarah: 222).

    Pada ayat di atas Allah Swt. (selaku syari') sudah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang tengah haid. Selaku dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, sebab kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah Swt. di atas selaku 'illatnya. Kotoran selaku sifat yang jadi karena haram mencampuri isteri yang tengah haid ialah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.


  2. Sesuai dan sepadan (Al-Munasib al-Mulaa’im), yaitu sifat yang sesuai, yang oleh syari’ sudah disusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan nash atau ijma belum menetapkannya selaku illat hukum yang sudah disusun atas dasar sesuai dengannya. Akan tetapi, ditetapkan oleh nash atau ijma selaku illat hukum dari kategori hukum yang sudah disusun atas dasar sesuai dengan sifat itu, atau menganggap kategori sifat selaku illat hukum dari kategori hukum ini. Maka, bila sifat yang sesuai itu dengan bagian di antara 3 macam pengambilan anggapan, dijadikan anggapan, maka pemberian illat dengan sifat itu mencocoki beberapa maksud syari’ dalam membentuk hukum dan memberi illat kepadanya, sebab itu disebut Al-Munasib al-Mulaa’im, artinya sesuai dengan maksud syari’ dan sudah disepakati kebenaran illat dengan sifat, atau membentuk Qiyas atau dasar itu.

  3. Sesuai dan dibiarkan (Al-Munasib al-Mursal), yaitu sifat yang oleh syari’ tidak disusun hukum yang sesuai dengannya. Tidak pula Ada dalil syara’ yang memperlihatkan pengakuannnya dengan macam legitimasi apa saja, atau menyia-nyiakan pengakuannya bahwa sifat itu munasib, artinya dapat mewujudkan maslahah, tapi ia mursal, artinya terlepas dari dalil legitimasi, dan dalil pembatalan (Ilgha'). Inilah yang dalam istilah ulama’ Ushul disebut Al-Munasib al-Mursalah.

  4. Sesuai dan disia-siakan (Al-Munasib al-Mulgha), yaitu sifat yang nyata bahwa pendasaran hukum kepadanya ialah mewujudkan kemaslahatan. Tengah syari’ tidak menyusun hukum yang sesuai dengan sifat itu. Dan syari’, dengan dalil apa saja, sudah memperlihatkan atas pembatalan pengakuannya, seperti bersamaan anak laki-laki dan anak wanita dalam hal kekerabatan sebab kesamaannya dalam hal harta pustaka. 


Cara Mengetahui ‘Illat
  1. Melalui nash, baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun As-Sunnah Rasulullah saw. Adakalanya illat yang Ada dalam nash itu bersifat pasti dan adakalanya illat itu terang, tetapi mengandung kemungkinan yang lain.

  2. Melalui ijma’. Dengan ijma’ diketahui sifat tertentu yang Ada dalam hukum syara’ yang jadi illat hukum.

  3. Melalui al-ima wa at-tanbih, yaitu penyertaan sifat dengan hukum dan disebutkan dalam lafal.

  4. Melalui as-sibr wa at-taqsim. Sibr ialah pemeriksaan Ada dalam suatu hukum dan apakah sifat tersebut patut untuk dijadikan illat hukum atau tidak. Lalu mujtahid mengambil bagian sifat yang menurut dia paling pas dijadikan illat dan meninggalkan sifat-sifat lainnya. Adapun taqsim ialah usaha mujtahid dalam membatasi illat pada suatu sifat dari beberapa sifat yang dikandung oleh nash.

  5. Melalui munasabah yaitu sifat nyata yang Ada pada suatu hukum, dapat diukur dan dapat dinalar, Adalah maksud yang dikandung hukum itu, yaitu berupa pencapaian kepada suatu kemaslahatan atau penolakan kepada kemadharatan.

  6. Mencari illat melalui tanqih al-manath yaitu usaha seorang mujtahid dalam menentukan illat dari bermacam sifat yang dijadikan illat oleh syar’i dalam bermacam hukum. 

  7. At-Thard yaitu penyertaan hukum dengan sifat tanpa adanya keserasian antara keduanya.

  8. Asy-Syabah yaitu sifat yang mempunyai keserupaan.

  9. Dauran yaitu suatu kondisi dimana ditemukan hukum apabila berjumpa sifat dan tidak Ada hukum saat sifat tidak ditemukan.

  10. Ilgha Al-Fariq ialah Ada titik perbedaan antara sifat dengan hukum, tetapi titik perbedaan itu dibuang, sehingga yang tinggal cuma kesamaannya.


Contoh-Contoh ‘Illat
  1. Dilarangnya minuman keras, menganggap bahwa minuman bir itu dicegah pula. Menurut hukum agama, dasarnya ialah tiap-tiap minuman yang memabukkan ialah dicegah, dan sesuatu yang apabila dimakan dalam hitungan total yang banyak mengakibatkan mabuk, maka dalam hitungan total sedikit pun termasuk haram. Dilarangnya minuman keras, menganggap bahwa minuman bir itu dicegah pula.

  2. Mengqashar sholat 4 rakaat (jadi 2 rakaat) bagi seorang musafir. Illatnya ialah berangkat itu sendiri.

  3. Diperbolehkannya jual beli secara barter hikmahnya ialah menghilangkan kerepotan ummat manusia dalam memenuhi kebutuhannya. Illatnya ialah bentuk ujaran akad jual beli atau sewa menyewa.

  4. Seseorang yang pada bulan Ramadhan tengah bepergian maka diizinkan berbuka sebab ada illat diizinkan, yaitu bepergian, walaupun pada kepergiannya tidak ada kerepotan.

  5. Seseorang yang jadi sekutu kepemilikan sebidang tanah yang dijual, atau jadi Jiran maka ia berhak mengambil tanah itu dengan syuf’ah (menutup harga), sebab ada illat lebih berhak menutup harga yaitu sekutu atau Jiran.

  6. Seorang idiot yang sudah mencapai usia 21 tahun tetapi ada argumentasi lain yang memperlihatkan bahwa dia belum dewasa maka kekuasaan (bertasharruf) tidak jatuh ketetangganya, walaupun ada illat yaitu sudah sampai batas jadi seorang yang berkuasa ialah sampai usia dewasa. 

  7. Seorang hakim tidak boleh menghakimi perkara diantara 2 orang sementara ia dalam kondisi marah. 

  8. Orang gila tidak dibolehkan melaksanakan tindakan hukum sebab kecakapan bertindak hukum itu disebut illat. Apabila ia sembuh dari penyakit gilanya, maka illatnyapun hilang dan kecakapan bertindak hukumnya berlaku kembali. 

  9. Perintah meninggalkan jual beli saat diseru untuk menunaikan shalat jum’at, diikuti dengan perintah bertebaran dimuka bumi dan mencari rizqi Allah, termasuk jual beli sesudah shalat jum’at selesai. Illat larangan tersebut sebab menggangu shalat jum’at. 

  10. Larangan menjual kurma basah dengan kurma kering sebab terjadi penyusutan kurma basah. Illatnya ialah terjadinya penyusutan.

  11. Kewajiban menjauhkan diri dari perempuan pada waktu haid, sudah di jelaskan bahwa haid itu kotoran. Illat hukumnya ialah kotoran. 

  12. Larangan seorang pembunuh untuk memperoleh warisan dari terbunuh. Terang bahwa dia ialah pembunuh. Illatnya ialah tindakan mematikan.  


Perbedaan antara ‘Illat dengan Hikmah 
Perbedaannya ialah, bahwa ‘illat Adalah pendorong atau pemicu disyariatkannya suatu hukum dengan kata lain, sesuatu penyebab disyariatkannya hukum. Adapun hikmah ialah perkara yang menerangkan hasil dan maksud hukum. menurut hal itu, ‘illat ada sebelum adanya hukum dan bukan Adalah hasil dari penyelenggaraan hukum. Adapun hikmah adlah hasil yang mungkin diperoleh dari penyelenggaraan hukum. Hikmah dengan makna seperti ini kadangkala terpisah dari hukum pada keadaan tertentu.

Perbedaan ‘Illat dengan Karena 
Perbedaannya yaitu karena Adalah tanda yang memberitahu adanya suatu hukum seperti tergelincirnya matahari yang Adalah tanda yang memberitahu adanya sholat, sedangkan ‘illat ialah perkara, yang karenanya, terwujud suatu putusan hukum. Jadi, ‘illat ialah karena pensyariatan hukum, bukan karena adanya hukum, sehingga ‘illat termasuk dalil hukum.

Fungsi ‘Illat

  1. Penyebab atau penetap adanya hukum, yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum Adalah penyebab atau penetap (yang menetapkan) adanya hukum, baik dengan nama mu’arrif, mu’assir, atau ba’its. Contohnya ‘illat memabukkan menyebabkan berlakunya hukum haram pada makanan dan minuman yang memabukkan

  2. Penolak (dafi’ah) keberadaan hukum yang akan terjadi. Penolak yaitu ‘illat yang keberadaannya menghalangi hukum yang akan terjadi, tetapi tidak mencabut hukum itu seandainya ‘illat tersebut Ada pada waktu hukum tengah berlaku. Contohnya dalam problem iddah. Adanya iddah Tidak mau dan menghalangi terjadinya pernikahan dengan laki-laki yang lain, tetapi iddah itu tidak mencabut kelangsungan pernikahan bila iddah itu terjadi dalam pernikahan. Iddah dalam hal ini ialah iddah syubhat.

  3. Pencabut (rafi’at) kelangsungan suatu hukum, bila `illat terjadi pada masa tersebut, tetapi `illat ini tidak Tidak mau terjadinya suatu hukum. ‘Illat yang mencabut kelangsungan suatu hukum bila ‘illat itu terjadi dalam masa tersebut, tetapi ‘illat itu tidak Tidak mau terjadinya suatu hukum. Contohnya: sifat thalaq dalam hubungannya dengan kebolehan bergaul. Adanya thalaq itu mencabut hak bergaul suami istri (kalau mereka sudah nikah atau rujuk), sebab sungguh mereka boleh nikah lagi sesudah adanya thalaq itu. 

  4. Penolak dan pencabut yaitu ‘illat yang dalam hubungannya dengan hukum dapat melarang terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabutnya bila hukum itu sudah berlangsung. Contohnya sifat radla’ (hubungan persusuan) berhubungan dengan hubungan perwakinan. Adanya hubungan susuan melarang terjadinya hubungan pernikahan antara orang yang sepersusuan dan sekaligus mencabut atau membatalkan hubungan pernikahan yang tengah berlangsung, bila hubungan susunan itu terjadi (diketahui) waktu berlangsungnya pernikahan.

  5. Penolak dan pencegah suatu hukum. Melarang terjadinya suatu hukum dan sekaligus dapat mencabut bila hukum itu sudah berlangsung. [Warta Sunda/ab]


[Download PDF]


Wahyu Setyowati, maha siswa UIN Walisongo Semarang.



Artikel disampaikan di depan guru besar pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A


DAFTAR PUSTAKA

1. Qarib, Ahmad, Moh Zuhri, 1994, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang: Dina Inti
2. Haroen, Nasrun, 1997, Ushul Fiqh, Jakarta: PT Logos Wacana Ilmu
3. https://id.wikipedia.org/wiki/Kias_(Fikih)
4. https://mahfudriza28.blogspot.co.id/2016/01/makalah-fungsi-dan-syarat-syarat-illat.html
5. http://coretanopini.blogspot.co.id/2014/05/illat-dalam-qiyas_2.html#.WR18DNyyS00

Posting Komentar untuk "Pengertian Illat, Karena dan Hikmah dalam Qiyas Ushul Fiqih (Download PDF)"