Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk


tabarruk dan tawassul
Tabarruk dan tawassul. Foto: istimewa


Oleh Kholil Abu Fateh 

Kalangan yang anti tabarruk, tawassul, dan semacamnya seringkali saat mereka terbentur dengan hadits-hadits atau amaliah para ulama salaf dan khalaf yang bertentangan dengan pandangan mereka, mereka menjelaskan:

(1). Hadits-hadits soal tabarruk dan tawassul ini spesial berlaku untuk Rasulullah!

(2). Mereka, para ulama tersebut melaksanakan perbuatan yang tidak ada dalilnya, dengan sedemikian wajib ditolak, siapa-pun orang tersebut!

(Jawab):

(1). Kita katakan untuk mereka: Adakah dalil yang mengkhususkan tabarruk, tawassul dan Istighatsah cuma untuk Rasulullah saja?! Mana dalil kekhususan (Khushushiyyah) tersebut?! Apakah saban ada hadits yang bertentangan dengan pandangan Anda semua, lalu Anda semua katakan bahwa spesial berlaku untuk Rasulullah saja?! Mari kita lihat berikut ini pemahaman para ulama kita soal hadits-hadits tabarruk dan semacamnya, bahwa mereka memahaminya tidak cuma spesial untuk Rasulullah saja.

Baca: Menyamakan Tabaruk Rasulullah dengan Tabaruk Kyai

Al-Imam Ibn Hibban dalam kitab Shahih-nya menuliskan selaku berikut:


بَابُ ذِكْرِ إِبَاحَةِ التَّـبَرُّكِ بِوَضُوْءِ الصَّالِحِيْنَ مِنْ أَهْلِ العِلْمِ إِذَا كَانُوْا مُتَّبِعِيْنَ لِسُنَنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ، عَنْ ابْنِ أَبِيْ جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَليْه وَسَلّمَ فِيْ قُبَّةٍ حَمْرَاءَ وَرَأَيْتُ بِلاَلاً أَخْرَجَ وَضُوْءَهُ فَرَأَيْتُ النَّاسَ يَبْتَدِرُوْنَ وَضُوْءَهُ يَتَمَسَّحُوْنَ.


Artinya:
Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, kalau mereka sungguh orang-orang ikut sunnah-sunnah Rasulullah”. Dari Ibn Abi Juhaifah, dari ayahnya, bahwa ia berkata: Saya menyaksikan Rasulullah di Qubbah Hamra’, dan saya menyaksikan Bilal mengeluarkan air wudlu Rasulullah, lalu saya menyaksikan banyak orang memburu bekas air wudlu tersebut, mereka seluruh mengusap-usap dengannya

Dalam teks di atas amat terang bahwa Ibn Hibban memahami tabarruk selaku hal yang tidak spesial untuk Rasulullah saja, tetapi juga berlaku untuk al-Ulama al-‘Amilin. Sebab itu beliau mencantumkan hadits soal tabarruk dengan air bekas wudlu Rasulullah di bawah sebuah bab yang beliau namakan: “Bab menyebutkan kebolehan tabarruk dengan bekas air wudlu orang-orang saleh dari kalangan para ulama, kalau mereka sungguh orang-orang ikut sunnah-sunnah Rasulullah”.

Syekh Mar’i al-Hanbali dalam Ghayah al-Muntaha menuliskan:


وَلاَ بَأْسَ بِلَمْسِ قَبْرٍ بِيَدٍ لاَ سِيَّمَا مَنْ تُرْجَى بَرَكَتُهُ

Artinya:


Dan tidak mengapa menyentuh kuburan dengan tangan, apalagi kuburan orang yang diinginkan berkahnya

Bahkan dalam kitab al-Hikayat al-Mantsurah karya al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, disebutkan bahwa beliau (adl-Dliya’ al-Maqdisi) menguping al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali menjelaskan bahwa suatu saat di lengannya muncul penyakit seperti bisul, dia telah berobat ke mana-mana dan tidak memperoleh kesembuhan. Akhirnya ia mendatangi kuburan al-Imam Ahmad ibn Hanbal. Lantas ia mengusapkan lengannya ke makam tersebut, lalu penyakit itu sembuh dan tidak pernah kambuh kembali.

As-Samhudi dalam Wafa’ al-Wafa  mengutip dari Al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani, bahwa beliau berkata:


اِسْتَنْبَطَ بَعْضُهُمْ مِنْ مَشْرُوْعِيَّةِ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ جَوَازَ تَقْبِيْلِ كُلِّ مَنْ يَسْتَحِقُّ التَّعْظِيْمَ مِنْ ءَادَمِيٍّ وَغَيْرِهِ، فَأَمَّا تَقْبِيْلُ يَدِ الآدَمِيِّ فَسَبَقَ فِيْ الأَدَبِ، وَأَمَّا غَيْرُهُ فَنُقِلَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُئِلَ عَنْ تَقْبِيْلِ مِنْبَرِ النَّبِيِّ وَقَبْرِهِ فَلَمْ يَرَ بِهِ بَأْسًا، وَاسْتَبْعَدَ بَعْضُ أَتْبَاعِهِ صِحَّتَهُ عَنْهُ وَنُقِلَ عَنْ ابْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ اليَمَانِيِّ أَحَدِ عُلَمَاءِ مَكَّةَ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ الْمُصْحَفِ وَأَجْزَاءِ الْحَدِيْثِ وَقُبُوْرِ الصَّالِحِيْنَ، وَنَقَلَ الطَّيِّبُِ النَّاشِرِيُّ عَنْ الْمُحِبِّ الطَّبَرِيِّ أَنَّهُ يَجُوْزُ تَقْبِيْلُ الْقَبْرِ وَمسُّهُ قَالَ: وَعَلَيْهِ عَمَلُ العُلَمَاءِ الصَّالِحِيْنَ.



Artinya:
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa sebagian ulama mengambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad, kebolehan mencium saban yang berhak untuk diagungkan; baik manusia atau lainnya, -dalil- soal mencium tangan manusia sudah dibicarakan dalam bab Adab, sedangkan soal mencium selain manusia, sudah dinukil dari Ahmad ibn Hanbal bahwa beliau ditanya soal mencium mimbar Rasulullah dan kuburan Rasulullah, lalu beliau membolehkannya, walaupun sebagian pengikutnya meragukan kebenaran nukilan dari Ahmad ini. Dinukil pula dari Ibn Abi ash-Shaif al-Yamani, -salah seorang ulama madzhab Syafi'i di Makkah-, soal kebolehan mencium Mushaf, buku-buku hadits dan makam orang saleh. Lantas pula Ath-Thayyib an-Nasyiri menukil dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa boleh mencium kuburan dan menyentuhnya, dan dia berkata: Ini ialah amaliah para ulama saleh

Tabarruk dan Tawassul

Mengenai hal keraguan dari sebagian orang yang mengklaim selaku pengikut Ahmad Ibn Hanbal yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar di atas terang tidak beralasan sama sekali. Sebab pernyataan Ahmad Ibn Hanbal tersebut sudah kita kutipkan langsung dari buku-buku putera beliau sendiri, yatiu ‘Abdullah Ibn Ahmad dalam kitab Su-alat ‘Abdullah Ibn Ahmad Ibn Hanbal dan al-‘Ilal Wa Ma’rifah ar-Rijal seperti sudah kita sebutkan di atas.

Al-Badr al-‘Aini dalam ‘Umdah al-Qari mengutip dari al-Muhibb ath-Thabari bahwa ia berkata selaku berikut:


وَيُمْكِنُ أَنْ يُسْتَنْبَطَ مِنْ تَقْبِيْلِ الْحَجَرِ وَاسْتِلاَمِ الأَرْكَانِ جَوَازُ تَقْبِيْلِ مَا فِيْ تَقْبِيْلِهِ تَعْظِيْمُ اللهِ تَعَالَى فَإِنَّهُ إِنْ لَمْ يَرِدْ فِيْهِ خَبَرٌ بِالنَّدْبِ لَمْ يَرِدْ بِالكَرَاهَةِ، قَالَ: وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ بَعْضِ تَعَالِيْقِ جَدِّيْ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ بَكْرٍ عَنْ الإِمَامِ أَبِيْ عَبْدِ اللهِ مُحَمَّدِ بْنِ أَبِيْ الصَّيْفِ أَنَّ بَعْضَهُمْ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَصَاحِفَ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى أَجْزَاءَ الْحَدِيْثِ قَبَّلَهَا وَإِذَا رَأَى قُبُوْرَ الصَّالِحِيْنَ قَبَّلَهَا، قَالَ: وَلاَ يَبْعُدُ هذَا وَاللهُ أَعْلَمُ فِيْ كُلِّ مَا فِيْهِ تَعْظِيْمٌ للهِ تَعَالَى.

Artinya:
Dapat diambil dalil dari disyari'atkannya mencium hajar aswad dan melambaikan tangan kepada sudut-sudut Ka’bah soal kebolehan mencium saban sesuatu yang kalau dicium maka itu mengandung pengagungan untuk Allah. Sebab walaupun tidak ada dalil yang menjadikannya selaku sesuatu yang sunnah, tetapi juga tidak ada yang memakruhkan. Al-Muhibb ath-Thabari meneruskan: Saya juga sudah menyaksikan dalam sebagian catatan kakek-ku; Muhammad ibn Abi Bakar dari Al-Imam Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Abu ash-Shaif, bahwa sebagian ulama dan orang-orang saleh saat menyaksikan mushaf mereka menciumnya. Lalu saat menyaksikan buku-buku hadits mereka menciumnya, dan saat menyaksikan kuburan orang-orang saleh mereka juga menciumnya. ath-Thabari menjelaskan: Ini bukan sesuatu yang aneh dan bukan sesuatu yang jauh dari dalilnya, bahwa termasuk di dalamnya segala sesuatu yang mengandung unsur Ta'zhim (pengagungan) untuk Allah. Wa Allahu A’lam

Dari teks-teks ini kita dapat menyaksikan dengan terang bahwa para ahli hadits, seperti al-Imam Ibn Hibban, al-Muhibb ath-Thabari, al-Hafizh adl-Dliya’ al-Maqdisi al-Hanbali, al-Hafizh ‘Abd al-Ghani al-Maqdisi al-Hanbali, dan para ulama penulis Syarh Shahih al-Bukhari, seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dengan Fath al-Bari’, al-Badr al-'Aini dengan ‘Umdah al-Qari’, juga para ahli Fikih madzhab Hanbali seperti Syekh Mar’i al-Hanbali dan lainnya, semuanya mempunyai pemahaman bahwa kebolehan tabarruk tidak spesial berlaku untuk Rasulullah saja.

Dari sini, kita katakan kapada orang-orang anti tabarruk: Apa sikap Anda semua kepada teks-teks para ulama ini?! Apakah Anda semua akan menjelaskan bahwa para ulama tersebut Ada di dalam kesesatan, dan cuma Anda semua yang benar dengan ajaran baru Anda semua?!

Baca: Tatkala Hadits Tawasul Tidak Sanggup Lagi Didlaifkan

(2). Kalau dalil-dalil yang sudah kita sebutkan itu bukan dalil, lalu apa yang mereka maksud dengan dalil? Apakah yang disebut dalil cuma kalau disebutkan oleh panutan-panutan mereka saja?! Siapatah yang lebih tahu dalil dan memahami agama ini, apakah mereka yang anti tabarruk ataukah al-Imam Ahmad Ibn Hanbal dan para ulama ahli hadits dan ahli fikih?! Benar, orang yang tidak mempunyai argumentasi kuat akan menjelaskan apapun, termasuk sesuatu yang tidak rasional, bahkan terkadang oleh dia sendiri tidak dipahami. [dutaislam/ka]

Posting Komentar untuk "Kerancuan Kalangan Anti Tabarruk"