Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BAGIAN EMPAT: MEMBONGKAR SKANDAL ILMIYAH NASAB DAN GENEALOGI BA’ALWI

  

BAGIAN EMPAT

MEMBONGKAR SKANDAL ILMIYAH NASAB DAN GENEALOGI BA’ALWI[1]



[1] Ini adalah buku yang patut dijadikan pegangan para pembaca untuk mengetahui keterputusan nasab Habib Ba‘alwi kepada Nabi Muhammad SAW. buku lainnya yang patut jadi sandaran adalah buku Ulama Nusantara Menggugat

Nasab Palsu juga buku Kronik Perjalanan Ilmiyah K.H. Imaduddin Utsman AlBantani 


KATA PENGANTAR

Klan Ba‘alwi yang berasal dari Tarim, Hadramaut, Yaman, mengaku sebagai keturunan Nabi Muhammad Saw. melalui jalur Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib bin ‗Ali al‗Uraidi bin Ja‘far al-Sadiq bin Muhmmad al-Baqir bin ‗Ali Zainal‗Abidin bin Husain bin Fatimah binti Muhammad Saw.. Untuk klaimnya tersebut, mereka menulis banyak kitab-kitab mulai dari abad sembilan Hijriah. Dalam kitab-kitab tersebut mereka berupaya untuk menyambungkan leluhur mereka yang bernama ‗Ubaidillah dengan silsilah genealogi keluarga Nabi Muhammad Saw. melalui klaim bahwa Ubaidillah adalah salah satu anak dari Ahmad bin ‗Isa. Tidak hanya itu, mereka juga membuat sejarah ketokohan dari ‗Ubaidillah dan silsilahnya ke bawah dengan cerita-cerita sejarah yang luar biasa. Sayangnya, klaim itu penuh dengan intrik-intrik dan skandal ilmiyah yang miskin dari sumber-sumber yang bisa dipertanggungjawabkan. Tulisan ini akan membuktikan bahwa berbagai klaim itu tidak mempunyai landasan historis dari sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya, bahkan tertolak secara ilmiyah.

Berita-berita yang terdapat dalam sumber-sumber internal Ba‘alwi tentang Hijrah (pindah) nya Ahmad bin ‗Isa, misalnya, tidak menyertakan sumber primer, bahkan, nampak dipaksakan dengan menyematkan gelar di belakang nama Ahmad dengan Al-muhajir (yang berpindah). Sumber-sumber eksternal yang yang lebih dekat masanya dengan Ahmad bin ‗Isa, bahkan memberitakan posisi Ahmad bin ‗Isa berada di sebuah desa di Madinah yang bernama ―Surya‖. Nama-nama lain dari silsilah Ba‘alwi-pun luput dari reportase para penulis nasab Nabi Muhammad Saw. dan luput dari historiografi para sejarawan sezaman dan setempat. Yang lebih mencengangkan, dalam historiografi internal Ba‘alwi, terbukti adanya pencurian gelar seorang tokoh historis di Mirbat yang kemudian diberikan untuk seseorang yang berada dalam silsilah genealogi Ba‘alwi. Khusus tentang klaim Ba‘alwi sebagai keturunan Nabi, beberapa ulama telah menolak klaim itu, misalnya Ahmad bin Sulaiman Abu Bakrah al-Turbani, Murad Syukri Suwaidan, Syekh Muqbil al-Wada‘i dan ‗Ali al-Tantawi. Buku ini akan menampilkan sesuatu yang penting yang luput dari narasi para ulama sebelumnya yang membatalkan nasab Ba‘alwi.

Akhirnya, dengan buku ini, saya sampaikan, ucapan terimakasih kepada ibunda (Nyai Hajjah Syu‘arah binti Syatibi), isteri, adik, anak, keluarga besar Bani Utsman Cempaka Kresek, para kiai, santri NU Cempaka, dan semua sahabat yang tentu tidak dapat disebutkan satu persatu, yang senantiasa memberikan do‘a, semangat dan dukungan kepada saya selama ini. Semoga Allah Swt membalas semuanya di dunia dan akhirat. Amin.

Dan semoga buku ini akan dapat bermanfaat untuk umuat Islam khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya. Amin.



Cempaka Kresek Banten, Februari 2024

Imaduddin Utsman Al-Bantanie        


BAGIAN EMPAT MEMBONGKAR SKANDAL ILMIYAH NASAB DAN GENEALOGI BA’ALWI


Finalisasi Keterputusan Genealogi Ba’alwi Kepada Nabi Muhammad Saw.

Pendahuluan 

 Abad ke-19 adalah masa gelombang migrasi besar-besaran keluarga Ba‘alwi dan imigran Yaman lainnya ke Nusantara. Menurut Jajat Burhanuddin, ini menyusul perubahan kebijakan Kolonial Belanda yang secara perlahan menjadikan wilayah Jawa dan kepulauan lain di Nusantara terbuka bagi pasar internasional. [1] Perpindahan mereka ke Nusantara didorong factor kemiskinan.[2] Negeri Hadramaut pada akhir abad ke-19 itu mengalami perang saudara antara Al-Qu‟aiti dan Al-Khatiri, mereka memperebutkan kekuasaan di Hadramaut. Bahkan kekayaan Hadramaut tahun 1930 hanya dapat memenuhi kebutuhan seperempat penduduknya. Padahal, penting dicatat, pada tahun itu 20 sampai 30% penduduk Hadramaut tinggal diberbagai Negara Lautan India.[3] 

 Di Nusantara, mereka bekerja di bidang perkebunan, karyawan pabrik, tukang kebun, kurir dan lain-lain. Selain itu, ada juga yang bekerja pada pemerintahan kolonial Belanda seperti Utsman bin Yahya yang diangkat menjadi mufti (yang bertugas berfatwa) Belanda di Batavia. Utsman pulalah yang kemudian mengalami benturan dengan ulama-ulama Banten yang merupakan murid-murid Syekh Nawawi dan Syekh Abdul Karim. Hal itu, dikarenakan fatwa keagamaan Utsman tentang haramnya memberontak kepada Belanda, dan mereka yang melakukannya dianggap terkena delusi agama. Fatwa itu terkait pemberontakan rakyat Banten pada tahun 1888 M.

Fatwa ini termaktub dalam kitab Manhaj al- Istiqa>mat fi al-Di>n bi al –Sala>mat yang dikarang oleh Utsman pada tahun 1889 M.[4] Beberapa peristiwa ini pulalah yang mengakibatkan sedikitnya keluarga Ba‘alwi belakangan ini yang tinggal di Banten, berbeda dengan beberapa daerah lain di Indonesia. Menurut Jajat Burhanudin lagi, setelah dilantik sebagai pegawai Snouck Hurgronje, Utsman membuat do‘a khusus untuk Ratu Belanda, Wilhelmina, seraya memuji ―Sang Ratu‖ dengan menyebut Ratu Belanda itu sebagai ―Ratu yang baik‖. Doa itu dibacakan tanggal 2 September 1898 di masjid Pekojan setelah solat jum‘at. [5]

 Seperti di Pulau Jawa, di Aceh juga tidak jauh berbeda, terjadi penghianatan dari oknum Ba‘alwi terhadap perjuangan rakyat Aceh dalam melawan Belanda, bahkan lebih mengenaskan. Van den Berg menyebutkan, seorang Ba‘alwi, Abdurrahman al-Zahir, yang diberikan kedudukan tinggi dalam Kerajaan Aceh, malah kemudian menggembosi perjuangan rakyat Aceh dari dalam. Ia yang diberikan amanah sebagai salah seorang panglima perang, kemudian malah bekerjasama dengan Belanda dengan bersedia meninggalkan pasukannya dalam gerilya asalkan mendapat gajih seumur hidup sebanyak 30.000 Gulden.[6] M. Adil Abdullah dalam sebuah artikel mengatakan: 

―Sebagai ―hadiah‖ terhadap sikap lunak Habib Abdurrahman, dia pada tanggal 13 Oktober 1878 bersama teman temannya Teuku Muda Baet memilih menyerah kepada Belanda di Kuta Raja. Sebagai imbalannya Gubernur Hindia Belanda (Indonesia) Jenderal Van Lansberge di Batavia (Jakarta) bersedia memberangkatkan Habib Abdurrachman Az Zahir dan pengikutnya ke Jeddah dengan kapal NV Cuaracao. Dia sendiri, menurut para peneliti sejarah, telah mendapat pensiun dari pemerintah Belanda 10.000 dollar per bulan atas jasa ―menjual bangsanya‖ kepada Belanda. …‖[7]

 Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, keluarga Ba‘alwi banyak yang aktif dalam perpolitikan Indonesia, diantaranya D.N. Aidit yang menjadi Ketua Partai Komunis Indonesia (PKI).

Pengakuan bahwa Aidit adalah marga Ba‘alwi diungkapkan oleh anak Aidit, Ilham Aidit.[8] Aidit kemudian dihukum mati di Boyolali pada 23 November 1965 karena pengkhiantan kepada Negara Indonesia.[9] Selain Aidit, marga Ba‘alwi yang menjadi anggota PKI juga adalah Ahmad Sofyan Baroqbah. Ia dieksekusi mati pada 19 Januari 1974, setelah diburu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia selama bertahun-tahun di rimba Kalimantan Barat.[10] Seorang marga Ba‘alwi di Kalimantan Timur, Fahrul Baraqbah, juga anggota PKI yang ditangkap pasca meletusnya peristiwa 1965.[11]

 Marga Ba‘alwi mengaku sebagai keturunan Nabi Besar Muhammad Saw. yang di mulai dari datuk mereka yang bernama ‗Alwi bin ‗Ubaidillah. Menurut mereka, ayah ‗Alwi, ‗Ubaidillah, adalah anak Ahmad bin ‗Isa. Nasab lengkap ‗Alwi kepada Nabi Muhammad Saw., menurut mereka, adalah sebagai berikut: ‗Alwi (w.400 H>.) bin ‗Ubaidillah (w.383 H.) ―bin‖ Ahmad (w.345 H.) bin ‗Isa al-Naqib (w.300 H.) bin Muhammad al-Naqib (w.250 H.) bin ‗Ali al-‗Uraidi (w.210 H.) bin Ja‘far al-Sadiq (w.148 H.) bin Muhammad al-Baqir (w.114 H.) bin ‗Ali Zaenal Abidin (w.97 H.) bin Sayidina Husain (w.64 H.) bin Siti Fatimah al-Zahra (w.11 H.) binti Nabi Muhammad Saw. (w.11 H.).[12] Sayangnya, nasab seperti di atas tersebut, tidak terkonfirmasi dalam kitab-kitab nasab primer yang mu‟tabar (yang diakui oleh ahli). Kesimpulan seperti itu bisa dijelaskan, karena kitab-kitab nasab yang ditulis berdekatan dengan masa hidupnya Ubaidillah tidak mencatat namanya sebagai anak dari Ahmad bin ‗Isa, sebagaimana akan penulis jelaskan di depan.

 

Ahmad bin ‘Isa Tidak Pernah Hijrah Ke Hadramaut

 Ba‘alwi mengklaim genelaoginya tersambung kepada Nabi Muhammad Saw. melalui Ahmad bin ‗Isa. Ahmad bin ‗Isa telah terkonfirmasi kitab-kitab nasab sebagai keturunan Nabi dari jalur ‗Ali al-Uraidi (w.210 H.). untuk keperluan sebuah kesimpulan bahwa Ahmad bin ‗Isa mempunyai keturunan di Hadramaut, maka diperlukan adanya kenyataan bahwa Ahmad bin ‗Isa, atau salah satu keturunannya, hijrah ke sana, sayangnya, kitab-kitab nasab dan sezarah sezaman atau yang paling dekat masanya dengan Ahmad bin ‗Isa, tidak ada satupun yang mengkonfirmasi bahwa Ahmad bin ‗Isa pernah ke Hadramaut, apalagi hijrah untuk menetap di sana. penulis kalangan Ba‘alwi di abad sembilan Hijriah menulis bahwa Ahmad bin ‗Isa dan Ubaidillah berpindah ke Hadramaut pada tahun 317 Hijriah.

Yang demikian itu seperti kita bisa baca dalam kitab mereka: AlBurqat al-Musyiqah Fi Dikri Libas al-Hirqah al-Aniqah (selanjutnya disebut Al-Burqat) karya ‗Ali bin Abu Bakar al-Sakran (w.895 H.) dan Al-Jauhar al-Shafaf karya Al-Khatib (w.855 H.). untuk kitab yang terakhir disebutkan, Al-Jauhar al-Safaf, penulis memandang bahwa kitab ini kitab problematik, karena ditulis oleh seseorang yang sama sekali tidak dikenal oleh para penulis sejarah Hadramaut. Tidak ada seorang ulama di Tarim yang bernama Al-Khatib yang wafat seperti tahun yang tertera itu, 855 Hijriah.323 Maka selaiknya kitab Al-jauhar al-Safaf itu diabaikan sebagai rujukan.

 ‗Ali bin Abu Bakar al-Sakran, kita anggap sebagai orang yang pertama secara formal menulis bahwa Ahmad bin ‗Isa hijrah dari Basrah ke Hadramaut. Menurut ‗Ali al-Sakran, Ahmad bin ‗Isa hijrah dari Basrah tidak langsung ke Hadramaut, tetapi ia pertamakali menuju Madinah lalu ke Makkah lalu ke kampung-kampung di Yaman, baru setelah itu menuju Hadramaut.[13] ‗Ali al-Sakran tidak menulis tahun berapa peristiwa hijrahnya Ahmad bin ‗Isa itu terjadi, kitab yang pertamakali menyebutkan hijrahnya Ahmad bin ‗Isa lengkap dengan tahunnya adalah kitab Gurar al-Baha‟ al-Dawiy wa

323 Dalam literasi karya-karya Ba Alwi, Abdurrahman al-Khatib disebut wafat tahun 855 H. Ia murid Abdurrahman bin Muhammad Maula Dawilah (w. 819 H.), kakek pendiri nasab Ba Alwi, „Ali bin Abu Bakar alSakran. Al-Khatib, katanya, menulis kitab bernama Al-Jauhar al-Shafaf. Kitab itu berisi tentang keramat-keramat para wali di Tarim. Didalamnya juga tersebut silsilah Ba Alwi. Tetapi, ketika ditelusuri dalam kitab-kitab biografi ulama, nama Abdurrahman al-Khatib dengan sejarah dan masa hidup seperti dalam literasi Ba‟alwi itu majhul (tidak dikenal). Tetapi ada nama yang sama yang terdetekasi, dengan ayah dan kitab yang sama. Ia adalah Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman yang wafat tahun 724 H. ia disebut dalam kitab-kitab biografi para ulama seperti Mu‟jam al-Muallifin karya Umar Rido Kahhalah, Hadiyyat al-Arifin karya Ismail Basya al-Babani . kedua kitab itu sepakat bahwa Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman ini wafat pada tahun 724 H. bukan 855 H. ia mempunyai kitab bernama Al-Jauhar al-Shafaf. Bedanya dengan literasi Ba Alwi, ia tidak bergelar al-Khatib. Dari situ, maka kitab aljauhar al-Syafaf versi Ba‟alwi itu aneh, jika seorang yang sudah wafat tahun 724, kemudian di dalam kitabnya memuat sejarah tahun 850-an Hijriah.

Durar al-Jamal al-Badi‟I al-Bahiy (selanjutnya disebut Al-Gurar) karya Muhammad bin ‗Ali bin Alwi Khirid Ba‘alwi. Menurut Khirid, Ahmad bin ‗Isa hijrah dari Basrah ke Hadramaut pada tahun 317 H.[14] dengan demikian kita mengetahui adanya cerita bahwa Ahmad bin ‗Isa itu hijrah ke Hadramaut pada tahun tersebut, setelah 578 tahun peristiwa itu diasumsikan terjadi.

 Akan banyak pertanyaan dibenak para peneliti, dari mana ‗Ali al-Sakran dan Khirid mengetahui peristiwa hijrahnya Ahmad bin ‗Isa dan tahunnya tersebut tanpa ada menyebutkan sumber-sumber sama sekali, padahal peristiwa itu berlangsung sudah sangat lama sekali mencapai jarak 578 tahun. Sebuah pristiwa di masa-lalu, bisa dikatakan benar-benar pristiwa historis, bila dikonfirmasi oleh sumber sejarah sezaman, atau paling tidak, sumber sejarah yang yang mendekatinya. Yang demikian itu, adalah prosedur standar dalam ilmu sejarah.

 Sumber sejarah terbagi menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer adalah sumber yang struktur aslinya berasal dari masa lampau, yaitu masa sezaman dengan objek penelitian, seperti inskripsi (prasasti) yang dibuat oleh seorang raja. Contohnya inskripsi Batu tulis di Bogor yang berangka tahun 1533 M, ia adalah sumber primer untuk sosok raja Sri Baduga Maharaja. Prasasti ini telah membuktikan Sribaduga Maharaja adalah sosok historis di tahun 1533 M. Sumber primer memungkinkan peneliti untuk sedekat mungkin dengan peristiwa yang sebenarnya terjadi selama peristiwa sejarah atau periode waktu tertentu. Sejarawan mengerahkan kemampuan terbaiknya dalam menggunakan sumber-sumber sejarah primer untuk memahami masa lalu dengan caranya sendiri, bukan melalui lensa modern.

 Selain inskripsi, sumber primer bisa berupa koin, tembikar, dsb. Untuk zaman modern ini, jika kita ingin dianggap tidak berdusta mengaku hadir pada pertandingan final antara Brazil dan Italia tahun 1994, maka kita harus mempunyai bukti primer akan hal itu. Bukti itu diantaranya adalah karcis masuk stadion Rose Bowl, California, Amerika Serikat. Selain itu, dibuktikan dengan catatan eksternal dari stadion tersebut yang mencatat nama-nama seluruh penonton. Jika kita ingin dipercaya hadir di pertandingan tersebut, lalu kita tidak bisa menyuguhkan bukti apapun, lalu berdasar apa orang lain harus mempercayainya?

 Sumber sejarah sekunder adalah sumber sejarah yang berupa buku yang menggambarkan kejadian yang telah terjadi di masa lalu. Semakin dekat masanya dengan peristiwa, maka ia semakin dapat dipercaya. Sumber sekunder biasanya menggunakan sumber primer sebagai bukti, atau sumber sekunder lainnya yang paling dekat dengan pristiwa. Sumber sekunder yang lebih jauh, substansinya harus memiliki keterhubungan dengan sumber yang lebih dekat. urgensi sumber sekunder akan hilang, jika berlawanan dengan sumber yang lebih dekat. Jika sumber yang jauh berlawanan informasinya dengan sumber yang lebih dekat, namun sumber yang lebih jauh ini memiliki bukti primer, maka sumber yang jauh harus didahulukan dari sumber yang dekat yang bertentangan dengan sumber primer.

 Baik ‗Ali al-Sakran maupun Khirid tidak menyertakan sumber primer sama sekali, dari situ, kita terpaksa akan mengatakan secara ilmiyah bahwa peristiwa hijrahnya Ahmad bin ‗Isa ke Hadramaut itu, tidak pernah terjadi. Lalu, bagaimana pertanggungjawaban penulis ketika sudah meyakini bahwa peristiwa hijrah itu tidak pernah terjadi, apakah penulis dapat memberikan bukti sebaliknya yang menyatakan bahwa Ahmad bin ‗Isa tidak pernah hijrah ke Hadramaut. Jika yang diinginkan dengan ―bukti sebaliknya‖ itu adalah kalimat tegas yang menyatakan bahwa Ahmad bin ‗Isa tidak pernah hijrah ke Hadramaut, tentu itu tidak ada, dan itu keinginan yang mengada-ada. Bagaimana sebuah peristiwa yang tidak pernah terjadi membutuhkan keterangan negatifnya. Sebagai contoh, kita telah mengetahui bersama bahwa Negara Indonesia, sejak kemerdekaannya, tidak pernah mempunyai seorang presiden yang bernama Samlawi. Untuk mengetahui, bahwa tidak pernah ada Presiden Indonesia yang bernama Samlawi, kita tidak membutuhkan keterangan buku sejarah yang ditulis dari mulai kemerdekaan hingga hari ini yang menyatakan bahwa Negara Indonesia tidak pernah mempunyai presiden bernama Samlawi. Cukup kita menyebutkan daftar nama-nama presiden Indonesia sejak kemerdekaan hingga hari ini yang di sana tidak ada nama Samlawi.  Lalu, apakah penulis dapat mengahdirkan penjelasan: di mana

Ahmad bin ‗Isa berada ketika ia hidup? Apakah benar ia berada di

Basrah? Ahmad bin ‗Isa tereportase oleh seorang ulama bernama Abu Ja‘far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi (w. 460 H.) dalam kitabnya

Al-Gaybah. Al-Tusi menyebutkan, bahwa Ahmad bin ‗Isa bertemu Abul Hasan (w.254 H.) di Kampung Surya di Kota Madinah, dalam kesempatan itu, Abul Hasan menyatakan bahwa anaknya, Al-Hasan (w.260 H.), akan menjadi penggantinya kelak sebagai Imam Syi‘ah ke-11. Di bawah ini kita perhatikan kutipan dari kitab ―Al-Gaybah‖ karya Al-Tusi:

ٔٙ٘-عنو عن اتٛد بن عيسى العلوي من ولد علي بن جعفر قالٙ: دخلت على ابي اتٟسن عليو السلام بصريَ فسلمنا عليو فإذا ت٨ن بأبي جعفر وابي محمد قد دخلا فقمنا الى ابي جعفر لنسلم عليو فقال ابو اتٟسن عليو السلام ليسٕ ىذا صاحبكم عليكم

بصاحبكم واشار الى ابي محمد عليو السلامٖٕٙ

Terjemah:

―165-Diriwayatkan darinya (Sa‘ad bin Abdullah), dari Ahmad bin ‗Isa al-Alwi, dari keturunan ‗Ali bin Ja‘far, ia berkata: ‗Aku menemui ‗Ali Abul Hasan, alaihissalam, di Surya, maka kami mengucapkan salam kepadanya, kemudian kami bertemu Abi

Ja‘far dan Abi Muhammad, keduanya telah masuk, maka kami berdiri untuk Abi Ja‘far untuk mengucapkan salam kepadanya, kemudian Abul Hasan, alalihislam, berkata: ‗Bukan dia

                                                   

326 Abu Ja‟far Muhammad bin al-Hasan al-Tusi, Al-Gaybah, (Muassasah

Al-Ma‟arif al-Islamiyah, Qum, 1425 H.) h. 199

sohibmu (pemimpinmu), perhatikanlah pemimpinmu, dan ia mengisaratkan kepada Abi Muhammad, alaihissalam‖.  Dari riwayat di atas, kita dapat menyimpulkan beberapa hal: pertama bahwa Ahmad bin ‗Isa adalah seorang ―syi‘iy imamiy‖ (orang Syi‘ah Imamiyah), karena jarang orang non Syi‘ah akan dimasukan dalam perawi sejarah Syi‘ah Imamiyah. Kedua, redaksi di atas, juga menjelaskan kepada kita kedekatan antara Ahmad bin ‗Isa dengan Abul Hasan yang merupakan Imam Syi‘ah ke-10. Ahmad bin ‗Isa dan

Abul Hasan, nasab keduanya bertemu di Ja‘far al-Sadiq, keduanya adalah generasi keempat darinya. Silsilah Abul Hasan adalah Abul Hasan bin Muhammad bin ‗Ali bin Musa al-Kadim bin Ja‘far al-

Sadiq. Sedangkan silsilah Ahmad bin ‗Isa adalah Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib bin ‗Ali al-Uraidi bin Ja‘far al-Sadiq.

  Rupanya, ‗Ali al-Uraidi dan keturunannya selalu setia bersama Musa al-Kadim dan keturunannya dalam sikap politik dan keagamaan. Ibnu Inabah (w.828 H.) menyebutkan dengan jelas dalam kitab Umdat al-Talib bahwa ‗Ali al-Uraidi adalah penganut Syi‘ah.[15] Demikian pula disebut dalam kitab Masa‟il Abi Ja‟far bahwa ‗Ali al-uraidi adalah seorang penganut Syi‘ah, dan ia selalu bersama Musa al-Kadim di rumah maupun ketika bepergian. Jika orang hendak menghadap Musa al-Kadim untuk suatu keperluan, maka ‗Ali al-Uraidi adalah jalan yang harus dilalui.[16] Begitu pula kesetiaan itu ia tunjukan untuk putra Musa al-Kadim, ‗Ali al-Rido dan cucunya, Muhammad Abu Ja‘far al-Jawad.[17] Disebutkan oleh Al-Umari dalam kitab Al-Majdi, ‗Ali al-Uraidi sangat menghormati ayah Abul Hasan yaitu Muhammad

Abu Ja‘far, padahal ia adalah paman dari ayah Muhammad Abu Ja‘far. Al-Umari meriwayatkan pula, bahwa suatu hari Muhammad

Abu Ja‘far mengunjungi ‗Ali al-Uraidi, kemudian ‗Ali al-Uraidi mempersilahkan Muhammad untuk duduk di kursinya sedangkan ‗Ali al-Uraidi berdiri tanpa bicara sedikitpun sampai Muhammad pergi.[18]  Dari kutipan Al-Tusi pula, kita dapat mengetahui bahwa Ahmad bin ‗Isa berada di Kota Madinah pada sekitar umur 20 tahun. Perkiraan umur Ahmad bin ‗Isa itu, berdasar umur Abul Hasan ketika bertemu dirinya di Madinah itu, di mana antara Abul Hasan dan

Ahmad bin ‗Isa adalah sama-sama generasi keempat dari Ja‘far alSadiq. Kendati demikian, belum ada sumber yang dapat dijadikan petunjuk, apakah ia lahir di Madinah? Atau ia lahir di Kota lain dan di Madinah hanya menemui Abul Hasan (?) Jika ia lahir di Madinah, dan pada umur 20 tahun ia masih berada di sana, apakah ada sumber yang menyebut ia pergi ke luar Kota Madinah setelah itu? Ketika sebuah konklusi telah ditemukan, yaitu bahwa Ahmad bin ‗Isa berada di Madinah pada sekitar umur 20 tahun, lalu tidak ada sumber yang menyebut ia pergi dari Madinah, maka hendaklah kita membiarkan konklusi itu tetap demikian, yaitu bahwa Ahmad bin ‗Isa tidak pernah pergi dari Madinah, sampai ada bukti yang mengatakan sebaliknya. Kendatipun, misalnya, akan ditemukan riwayat perpindahan Ahmad bin ‗Isa dari Madinah setelah pertemuannya dengan Abul Hasan itu, maka kemungkinan besar adalah pindahnya ia ke Kota Samira dalam rangka menemani Abul Hasan. Al-Khatib al-Bagdadi (w.392 H.) dalam kitabnya Tarikh Bagdad menyebutkan bahwa Khalifah AlMutawakkil mengundang Abul Hasan untuk tinggal dekat dengan dirinya, lalu Abul Hasan pindah ke Samira dan tinggal di sana selama duapuluh tahun sebelum ia wafat tahun 254 H. dan di makamkan di sana pula.[19] Al-Bagdadi mencatat pula, bahwa Abul Hasan lahir tahun 214 H., berarti, ketika ia wafat berumur 40 tahun, dan peristiwa hijrah itu terjadi di tahun 234 Hijriah.[20] Melihat kedekatan Ahmad bin ‗Isa dengan Abul Hasan, maka kemungkinan besar, jika sahih (benar) ditemukan berita kepindahannya, maka ia akan pindah ke Samira, bukan ke Hadramaut. Samira, adalah salah satu destinasi kota yang menjadi tempat tinggal para keturunan Nabi Muhammad Saw. jalur Ja‘far al-Sadiq, selain Bagdad, Basrah, Qum, Ray, Najaf, Syairaz, Asfihan, Kufah, Syam dan beberapa kota lain di Irak dan Iran. Tidak ditemukan riwayat sejarah yang menyebut ada di antara mereka yang hijrah ke Hadramaut. 

 Sulit sekali untuk dimengerti dan diterima logika peneliti, seorang Syi‘ah Imamiyah seperti Ahmad bin ‗Isa, kemudian ia hijrah ke Hadramaut yang ketika itu dikuasai oleh kaum Ibadiyah yang anti terhadap Syi‘ah. Jika pun ia harus pindah, maka ia seyogyanya akan memilih San‘a yang dikuasai oleh Syi‘ah Zaidiyah Hadawiyah. Walaupun berbeda dalam beberapa pandangan keagamaan, tapi tentu akan lebih bisa diterima dibanding dengan Ibadiyah. Hal ini, kemudian membuat sejarawan Ba‘alwi harus bersusah payah mengarang kisah ahistoris di mana dikatakan, misalnya oleh AlSyatiri dalam kitabnya Adwar al-Tarikh al-Hadrami, bahwa ketika datang ke Hadramaut, Ahmad bin ‗Isa berdebat dengan ulama „Ibadiyah, seperti dapat diterka, kemudian Ahmad bin ‗Isa memenangkan perdebatan itu, dan membuat ulama „Ibadiyah terdiam.[21] Penulis tidak menyarankan kepada pembaca untuk menjadikan buku Al-Syatiri ini sebagai referensi tentang sejarah Hadramaut, karena apa yang ditulis oleh Al-Syatiri ini, terutama tentang kisah keluarga Ba‘alwi, nyaris tanpa referensi sama sekali. Daripada sebuah buku sejarah, lebih tepat buku tersebut dikatakan sebagai sebuah buku novel dengan latar belakang ilmiyah. Begitupula, buku-buku yang dikarang atau ditahqiq (diterbitkan dengan dilengkapi berbagai macam kekurangan misalnya dari sisi huruf yang salah tulis atau tidak terbaca karena tua) oleh keluarga Ba‘alwi lainnya, jangan dijadikan sebagai referensi untuk melihat sejarah Hadramaut mulai abad ketiga sampai hari ini. Hal yang demikian itu, karena semangat yang dominan dari penahqiqan dan penulisan sejarah itu, hanyalah ditenagai oleh upaya melengkapi kesejarahan nama-nama silsilah keluarga Ba‘alwi yang terpotong, kontradiktif dan ahistoris. Dengan melihat historiografi Hadramaut dari buku-buku yang tidak terpercaya, kita bukan akan melihat fakta sejarah Hadramaut sesunggunya, tetapi hanya melihat sejarah yang diciptakan untuk suatu kepentingan.

 Dari kutipan Al-Tusi pula, kita bisa melihat, bagaimana cipta sejarah Ba‘alwi akan menghadapi kontradiksi dilihat dari urutan tahun yang mereka ciptakan. Misalnya, Ba‘alwi mencatat, bahwa tahun hijrah Ahmad bin ‗Isa ke Hadramaut adalah tahun 317 Hijriah, dan tahun wafatnya adalah tahun 345 Hijriah. Jika Ahmad bin ‗Isa, pada tahun 234 H. berumur 20 tahun, maka berarti ketika hijrah itu ia telah berumur 103 tahun, dan ketika wafat ia telah berumur 131 tahun. Sangat janggal, ada seseorang yang sudah tua renta yang berumur 103 tahun berpindah dari Basrah ke Hadramaut dengan jarak lebih dari 2000 km. seperti juga sangat kecil kemungkinan ada orang yang bisa mencapai usia 131 tahun. Perkiraaan umur 20 tahun untuk Ahmad bin ‗Isa dengan melihat umur Abul hasan itu, adalah perkiraan untuk menjaga keadilan ilmiyah, bisa jadi, ketika bertemu Abul Hasan itu,

Ahmad bin ‗Isa telah berumur lebih dari itu. Jika diperkirakan umur Ahmad bin ‗Isa telah mencapai umur 40 tahun saja, maka berarti ketika ia wafat telah mencapai umur 151 tahun. Jika dikatakan, bizsa pula sebaliknya terjadi, yaitu bahwa umur Ahmad bin ‗Isa ketika bertemu Abul hasan itu kurang dari 20 tahun. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, tetapi tidak akan kurang dari umur balig yaitu 15 tahun, karena pembicaraan tentang ―imamah‖ dari Abul Hasan kepada Ahmad bin ‗Isa adalah suatu wasiyat atau kesaksian yang penting, yaitu bahwa yang akan menggantikan Abul Hasan adalah anaknya yang bernama Al-Hasan, bukan anak lainnya, tentu wasiyat dan kesaksian semacam ini tidak sah diberikan kepada anak kecil yang belum balig.

Cerita bahwa Ahmad bin ‗Isa tinggal di Basrah itu, menurut penulis, bermula dari adanya nama Ahmad bin ‗Isa bin Zaid yang ada di Basrah yang disebut oleh Al-Khatib al-Bagdadi dalam kitabnya

Tarikh Bagdad, . kemudian, Ba‘alwi mengira itu adalah Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib. Rupanya, Ba‘alwi berupaya menemukan nama Ahmad bin ‗Isa di kota-kota destinasi para sadat (keturunan Nabi), agar historiografi yang telah terlanjur ditulis bahwa

Ahmad bin ‗Isa itu berhijrah dari kota-kota para sadat punya landasan historis, kemudian ketika ditemukan nama yang mirip di Kota Basrah langsung di klaim sebagai kisah Ahmad bin ‗Isa, padahal salah orang. Kesembronoan kutipan dan kesalahan klaim itu, bisa kita lihat misalnya dalam kitab Al-Imam al-Muhajir Ahmad bin „Isa bin Ja‟far karya Muhmmad Diya‘ Shihab Ba‘alwi, dalam kitab itu, ia mengatakan bahwa Ahmad bin ‗Isa telah tercatat oleh kitab Tarikh Bagdad karya Al-Khatib al-Bagdadi Muhammad Diya‘ mengatakan:  وفي  تًريخ بغداد للخطيب عند ترتٚة محمد بن جرير الطبري ٖٔٓ ه( قال الطبري: كتب إلي أتٛد بن عيسى العلوي- (  … مٗنٕ  الٕبلد )بصٖرة ( )من الطويل:( ألا إن إخوان الثقات قليل وىل  لي إلى ذاك القليل سبيل، سل الناس تعرف غثهم من تٝينهم فكل عليو شاىد ودليل، قال أبو جعفر :فأجبتو: يسيء … ، أمتَي  الظن في جهد جاىد … فهل لي تْسن الظن منو سٖبٖيل تأمل أمتَي ما ظننت وقلتو … فإن تٚيل الظن منك تٚيلٖٖٗ

Terjemah:

―Dan dalam kitab ‗Tarikh Bagdad‖ karya Al-Khatib, ketika menerangkan tentang Muhammad bin Jarir al-Tabari (224-310

H.), Al-Tabari mengatakan: Ahmad bin ‗Isa al-Alwi dari AlBalad (Basrah) (dari bahar Tawil)…‖

                                                   

334 Muhammad Diya Shihab, Al-Imam Ahmad al-Muhajir (Dar al-Syuruq, T.tp. 1400 H.) h.42

Setelah mengutip Tarikh Bagdad itu, Muhammad Diya‘ memberi komentar bahwa panggilan Ibnu Jarir kepada Ahmad bin ‗Isa al-Alwi dengan sebutan ―amiri‖ (gubernurku), cukup menjadi dalil akan kedudukan Ahmad bin ‗Isa yang tinggi. Panggilan itu bukan karena Ahmad bin ‗Isa lebih tua, menurut Muhammad Diya, Ibnu Jarir lebih tua dari Ahmad bin ‗Isa.335 Analisa yang sembrono dari Muhammad Diya‘ melahirkan konklusi yang salah. Ketika kita ingin mengetahui siapa Ahmad bin ‗Isa al-Alwi yang yang dimaksud oleh

Al-Khatib itu, maka kita harus mengetahui, adakah Ahmad bin ‗Isa alAlwi disebut ditempat lain dalam kitabnya? Lalu kita lihat, adakah petunjuk di sana yang dapat kita petik sehingga kita mengetahui sebenarnya siapa yang dimaksud oleh Al-khatib dengan Ahmad bin

‗Isa itu. Dalam tempat lain dalam kitabnya itu, Al-khatib menyebut  nama Ahmad bin ‗Isa al-Alwi sebagaimana kutipan di bawah ini: أخبرنً ابن رزق، قال :أخبرنً علي بن عبد الرتٛن بن عيسى الكوفي، قال :حدثنا محمد بن منصور ات١رادي، قال :حدثتٍ أبو الطاىر، يعتٍ أتٛد بن عيسى العلوي، قال :حدثتٍ أبي، عن أبيو ،عن جده، عن اتٟسن بن علي، قال :دفنت أبي علي بن أبي طالبٖ في حجلة، أو قال في حجرة، من دور آل جعدة بن ىبتَةٖٖٙ.

Terjemah:

             Ibnu    Razak    memberitahu    kami,    ia    berkata:    ‗Ali     bin

Abdurrahman bin ‗Isa al-kufi memberitahu kami, ia berkata: Muhammad bin Mansur al-Muradi menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Tahir menceritakan kepadaku, yaitu Ahmad bin

‗Isa al-Alwi…‖

 

                                                   

335  Lihat Muhammad Diya…h.42

336  Al-Khatib al-Bagdadi… j. 1 h. 463.

Dari kutipan ini, kita mengetahui, bahwa Ahmad bin ‗Isa alAlwi yang dimaksud dalam narasi Al-Khatib dalam kitabnya itu, adalah ia yang mempunyai murid Muhammad bin Mansur al-Muradi. Siapa al-Muradi? Ibnu al-Nadim (w. 380 H.) dalam kitabnya AlFihrasat mengatakan:

ات١رادي: من الزيدية وىو أبو جعفر محمد بن منصور ات١رادي الزيدي ولو من الكتب كتاب التفستَ الكبتَ كتاب التفستَ الصغتَ كتاب أتٛد بن عٖيسٖى كتاب ستَة الأئمة العادلة ولو كتاب في

الاحكام...ٖٖٚ

Terjemah:

―Al-Muradi adalah sebagian tokoh Zaidiyah, ia adalah Abu Ja‘far Muhammad bin Mansur al-Muradi al-Zaidi, ia mempunyai kitab: kitab ‗Tafsir al-kabir‘, kitab ‗Tafsir al-Sagir, kitab ‗Ahmad bin ‗Isa‘, kitab ‗Sirat al-‗A‘immati al-‗A>dilat, dan ia mempunyai kitab dalam hukum-hukum…‖

 Dari sini kita sudah mengetahui, bahwa Ahmad bin ‗Isa al-Alwi yang dimaksud dari Al-Khatib itu bukan Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib, tetapi Ahmad bin ‗Isa yang berfaham Zaidiyah, yaitu ia yang mempunyai murid Muhammad bin Mansur al-Muradi.

Al-Muradi mengarang sebuah kitab untuk Ahmad bin ‗Isa al-Alwi ini yang disebut kitab Al-„Ulum yang popular dengan nama Ama>li Ahmad bin „Isa yang dalam tulisan Ibnu al-Nadim disebut Kitab Ahmad bin „Isa. hari ini kitab itu telah diterbitkan oleh Sayyid Yusuf bin Muhammad al-Mu‘ayyad al-Hasani tahun 1401 H. lalu, apakah Ahmad bin ‗Isa al-Alwi satu masa dengan Ibnu Jarir al-Tabari, seperti riwayat adanya saling kirim surat antara keduanya? Dalam kitab Maqati al-Talibiyyin karya Abu al-Faraj al-Asfihani (w. 356 H.) disebutkan bahwa Ahmad bin ‗Isa bin Zaid al-Alwi wafat tahun 247

                                                   

337 Ibnu al-Nadim, Al-Fihrasat, (Dar al Ma‟rifat, Beirut, 1417) h.240 Hijriah,[22] berarti satu masa dengan Ibnu Jarir, karena Ibnu Jarir lahir pada tahun 224 Hijriah dan wafat tahun 310 Hijriah.

 Dari keterangan di atas, terbukti bahwa kutipan Muhammad Diya‘ Sahab tentang Ahmad bin ‗Isa itu salah alamat. Ia bukan Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib, tetapi Ahmad bin ‗Isa bin Zaid. Tetapi, setidaknya ia telah berusaha menulis secara ilmiyah dengan mengutip kitab-kitab primer semacam Tarikh Bagdad, berbeda dengan penulis lainnya dari kalangan Ba‘alwi yang menulis sejarah di abad sembilan Hijriah tentang suatu kejadian di 550 tahun sebelumnya tanpa refernsi sama sekali. Dari sini, historiografi nasab dan namanama silsilah leluhur Ba‘alwi yang ditulis mapan di abad sembilan dan seterusnya itu, terbukti ditulis dari ruang hampa, jangankan untuk menghadirkan sumber yang menyebut hijrahnya Ahmad bin ‗Isa dari Basrah ke Hadramaut, untuk menghadirkan sumber primer yang menyebut Ahmad bin ‗Isa ada di Basrah saja tidak bisa menghadirkannya. Sangat terbatasnya informasi tentang Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib ini, menurut asumsi penulis, bisa karena beberapa hal, diantaranya, mungkin memang Ahmad bin ‗Isa ini tidak berumur panjang, sehingga ia tidak terlalu banyak memainkan peran yang dapat dicatat tentangnya dalam perjalanan keluarga Abul Hasan selanjutnya.

           Murtado al-Zabidi (w. 1205 H.) dalam kitabnya Al-Raud al-Jaly

(sebuah kitab yang membahas tentang nasab Ba‘alwi), mengutip bahwa Al-Ubaidili (w. 436 H.) menyatakan bahwa Ahmad bin ‗Isa alNaqib hijrah dari Madinah ke Basrah pada abad keempat Hijriah, lalu keluar bersama anaknya menuju timur.[23][24] Kutipan itu dikomentari oleh Muhmammad Abu Bakar Abdullah Badzib, seorang sejarawan

Yaman yang juga muhaqiq kitab tersebut, bahwa kutipan itu tidak ditemukan dalam kitab Al-Ubaidili, Tahdib al-Ansab[25]. Badzib, walau dikenal dekat dengan keluarga Ba‘alwi, tetapi ia kritis mengomentari kejanggalan-kejanggalan kitab Al-Raud al-Jaly tersebut. Selain tentang kutipan Al-Ubadilii yang tidak terkonfirmasi, masih banyak masalah lain dalam kitab Al-raud al-jaly yang tidak sesuai dengan fakta sejarah. Kutipan-kutipan penulis Ba‘alwi dan kitab-kitab ulama masa lalu yang ditahqiq mereka, memang sarat masalah dan bisa digolongkan termasuk ―skandal ilmiyah‖. kitab-kitab yang ditahqiq dan diterbitkan mereka harus dibaca dengan kewaspadaan tinggi, jika perlu kita mengkonfirmasinya dengan mansukrip aslinya, agar kita tidak terjebak sejarah yang mereka ciptakan. Cara membaca sejarah, bukan dilihat dari popularitas sejarah itu di masa kini, tetapi harus ditelusuri adakah kesesuaian sejarah itu dengan sumber-sumber sezaman yang dapat ditemukan. Historiografi silsilah nasab Ba‘alwi memang banyak ditulis sejak abad sembilan hijriah sampai abad limabelas ini, tetapi ia rapuh karena bertentangan dengan sumber-sumber sezaman atau yang mendekatinya yang telah berhasil ditemukan.

 Berdasarkan penelitian dari Doktor Muhammad Abu Bakar Badzib, pentahqiq kitab Al raudul Jaliy dari Hadramaut, bahwa kemunculan kitab Al Raudul Jaliy mencurigakan. Manuskrip kitab tersebut muncul berdasar kronologi riwayat yang berakhir kepada sosok yang terbukti telah memalsukan sebuah kitab. Sosok yang dimaksud adalah seseorang yang bernama Hasan Muhammad Qasim (w. 1394 H.) yang berasal dari Mesir yang baru wafat 50 tahun yang lalu. Menurut Badzib, Hasan Muhammad Qasim adalah tokoh pertama yang memunculkan kitab Al Raud al Jaliy. Sebelumnya, tidak ada berita bahwa Syekh Murtada al Zabidi mempunyai sebuah kitab bernama Al Raud al Jaliy.[26] 

 

 Kronologi awal bagaimana kitab Al Raud al jaliy ini sampai diterbitkan kemudian disebut sebagai kitab karya syekh Murtada Al Zabidi, disampaikan oleh Badzib dalam mukaddimah cetakan kitab tersebut berdasarkan pengakuan Alwi bin Tahir yang memegang naskah itu. Menurut Alwi bin Tahir al Haddad (w. 1962 M), Hasan Qasim berteman dengan para Ba‘alwi yang tinggal di Mesir. Salah satu Ba‘alwi bernama Ali bin Muhammad bin Yahya. Ali bin Yahya ini adalah murid dari Alwi bin Tahir. menurut Alwi bin Tahir, Ali bin Yahya tersebut kemudian mengirimkan kepadanya sebuah salinan kitab Al Raudul Jaliy tulisan Hasan Qasim bertanggal 25 Sya‘ban 1352 H., menurutnya lagi, naskah itu disalin dari salinan tahun 1196 H. tulisan Abdul Mu‘ti al Wafa‘i. katanya lagi, Abdul Mu‘ti ini manyalin dari tulisan asli Syekh Murtada al Zabidi. Katanya lagi, manuskrip karya Abdul Mu‘ti itu tersimpan di Maktabah Sadat Al Wafaiyyah di Mesir.[27] 

 Pertanyaannya: benarkah salinan asli tulisan Abdul Mu‘ti itu ada di Maktabah Sadat Al Wafaiyyah? tidak ada. Silahkan di cek di perpustakaan al wafaiyyah. Tidak ada manuskrip kitab Al Raudul Jaliy salinan Abdul Mu‘ti. kitab itu jelas palsu. Manuskripnya palsu. Kitab al Raudul Jali bukan tulisan syekh Murtada al Zabidi. Manuskrip yang beredar sekarang berasal dari dua penyalin: pertama salinan Hasan Muhammad Qasim tahun 1352 H; kedua salinan Tahir bin Alwi bin Tahir yang menyalin dari Hasan Muhammad Qasim tersebut.

 Lalu siapa Hasan Muhammad Qasim? Ia adalah sosok yang telah terbukti menulis kitab ―Akhbar al Zainabat‖ lalu disebut sebagai karya Al Ubadili al ‗Aqiqi (w. 277 H.).[28] Artinya ia menulis naskah palsu di zaman sekarang lalu naskah itu diasosiasikan sebagai karangan ulama abad ke-3 H. Ba‘dzib mencurigai, bahwa munculnya kitab Al Raudul Jaliy itu pun sama kejadiannya seperti kitab palsu ―Akhbar al Zainabat‖.[29] Hasan tinggal di Mesir berteman dengan para Ba‘alwi yang tinggal di sana seperti Abdullah bin Ahmad bin Yahya (w. 1414 H.) dan Ali bin Muhammad bin Yahya (w. 1409 H.).345. Jadi jelas, bahwa Hasan ini mempunyai benang merah ketika menulis kitab Al Raudul Jaliy itu, yaitu adanya interaksi antara dia dengan para Ba‘alwi di Mesir. Menurut penulis sangat patut diduga bahwa kitab itu ditulis oleh Hasan Muhammad Qasim berdasarkan pesanan.

 Lalu, kenapa Ba‘dzib tetap mencetak dan menerbitkan kitab itu, walaupun ia tahu bahwa kitab itu kemungkinan besar adalah palsu? Badzib beralasan, bahwa manuskrip kitab Al Raudul Jaliy dalam bentuk microfilm telah beredar di masyarakat, bahkan telah ada yang mencetak pula tanpa ada penjelasan kesalahan-kesalahan dan perkaraperkara yang tidak layak dinisbahkan kepada Syekh Murtada al Zabidi.346 Dengan dicetak ulangnya kitab Al Raud al Jaliy dengan disertai penjelasan kronologi kemunculan manuskrip itu, Badzib mengharapkan masyarakat menyadari bahwa kitab Al Raud al Jaliy ini penisbatannya kepada Syekh Murtada al Zabidi adalah ―gairu maqtu‖ (tidak dapat diputuskan final) ia bersifat ―muhtamilah‖ (kemungkinan) saja.[30]

 Penulis memahami kenapa Ba‘dzib berbasa-basi bahwa masih ada kemungkinan kitab itu dinisbahkan kepada Syekh Murtada al

Zabidi beserta banyaknya ―qarinah‖ yang menyimpulkan bahwa kitab itu bukan tulisan Syekh Murtada al Zabidi, mengingat kedekatan Badzib dengan para tokoh-tokoh Ba‘alwi. Bagi penulis, kitab itu jelas palsu dan bukan karya Murtada al Zabidi, ia adalah tulisan Hasan bin Muhamad Qasim sendiri. Seperti dulu ia mengarang kitab ―Akhbar al Zainabat‖ lalu dikatakan kitab itu karya Al Ubaidili al Aqiqi, kitab Al Raud al Jali ini pun sama, ia mengarangnya lalu dikatakan ia karya Syekh Murtada al Zabidi.

 Untuk membuktikan kesimpulan penulis itu benar atau salah sangat mudah: datangkan mansukrip yang katanya ditulis oleh Abdul Mu‘ti yang dikatakan oleh Hasan Muhammad Qasim terdapat di Maktabah Al Wafaiyyah dan bahwa ia menyalinnya dari salinan itu. Penulis yakin seyakin yakinnya bahwa salinan itu tidak pernah ada. 

 

Makam Ahmad bin ‘Isa

 Para pembela nasab Ba‘alwi berhujjah (alasan) tentang hijrahnya Ahmad bin ‗Isa ke Hadramaut dengan dalil adanya bukti arkeologis berupa makam Ahmad bin ‗Isa di Husaysah, Hadramaut. Pertanyaannya, apakah benar makam yang diklaim sebagai makam

Ahmad bin ‗Isa itu asli? Apakah makam itu sudah dikenal sejak wafatnya Ahmad bin ‗Isa? Sumber sezaman apa yang bisa memberi kesaksian bahwa benar Ahmad bin ‗Isa dimakamkan di Husaysah? Sebuah makam di suatu tempat, tidak bisa menjadi bukti historis akan eksistensi seorang tokoh yang diklaim dimakamkan di tempat itu, tanpa ada bukti pendukung berupa catatan tentang itu. Jika tidak demikian, maka, orang Banten di masa ini bisa membuat makam yang indah dan megah kemudian ditulis dengan tulisan yang indah pula, bahwa makam ini adalah makam Imam Syafi‘i. Apakah dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Imam Syafi‘I hijrah ke Banten dan berketurunan di Banten?   Syekh Ahmad bin Hasan al-Mu‘allim mengatakan:

لم يثبت في تًريخ اليمن وجود قبر معظم عليو مشهد أو مسجد قبل العقد الثاني من القرن ات٠امس إلا ما ذكر ت٦ا يسمى مسجد الشهيدين بصنعاء الذي قٖيل أنو على قبري قثم وعبدالرتٛن ابتٍ

عبيداالله بن العباس رضي الله عنه ٖٗٛ  

 

 

                                                   

348 Ahmad bin Hasan al-Muallim, Al-Quburiyah fi al Yaman (Dar ibn aljauzi, Al-Mukalla, 1425H) h.253

Terjemah:

― Tidak ada dalam sejarah Yaman makam di agungkan yang diatasnya ada masyhad dan masjid sampai separuh kedua abad lima kecuali yang disebut sebagai masjid syahidain di San‘a. yaitu yang disebut sebagai makam Qatsam dan Abdurrahman yang keduanya anak dari Ubaidillah bin Abbas yang dibunuh oleh Basar bin Arto‘ah, pejabat yang diangkat Muawiyah di Yaman‖. 

 Dari keterangan Syekh Ahmad bin Hasan al-Mu‘allim ini, disimpulkan makam yang sekarang ada di Husaysah itu, yang disebut sebagai Ahmad bin ‗Isa, belum dikenal di Yaman sampai tahun 450 H., padahal Ahmad bin ‗Isa telah wafat 105 tahun sebelumnya (?). AlJanadi (w.732 H.), sebagai sejarawan yang gemar merekam adanya makam tokoh yang diziarahi orang, pun tidak mencatat di Husaysah ada makam Ahmad bin ‗Isa. sedangkan, dua tokoh yang disebut oleh Syekh Ahmad bin Hasan Al-Muallim, direkam pula keberadaannya oleh Al-Janadi dalam Al-Suluk Fi Tabaqat al-Ulama wa-al-Muluk. Ia mengatakan:

وقبر الطفلتُ مشهور بصنعاء في مسٜجٖد يعرف تٔسجد الشهيدين

يزار ويستنجح من الله فيوِ اتْٟاجَاتٖٜٗ

Terjemah:

―Dan makam dua anak masyhur di San‘a disebuah masjid yang dikenal dengan nama masjid Al-Syahidain di ziarahi dan dimintakan kepada Allah untuk dikabulkannya hajat‖350 

Selain dua makam itu, Al-Janadi pun rajin berziarah ke makam para tokoh. Seperti ia merekam makam seorang dokter Irak yang dianggap pahlawan di Qinan dan ia berziarah ke sana. Ia berkata:

                                                   

349                 Al-janadi, Al-Suluk Fi Tabaqat al-Ulama Wa al-Muluk, (Maktabah Dar al-Irsyad, San‟a, 1416 H) juz 1 h. 173

350                 Al-janadi… juz 1 h.173  

وقبره ىنالك وىو مسجد جامع لو منارة يزار ويتبرك بو دخلتو في

المحرم أول سنة ست وتسعتُ وستمائة

Terjemah:

―Dan makamnya (dokter dari Irak) di sana (Qinan), ia sebuah masjid jami‘ yang memiliki menara, diziarahi dan dianggap berkah, aku memasukinya di bulan Muharram awal tahun 696

H.‖ 

               Al-Janadi (w.732), tidak merekam adanya makam Ahmad bin

‗Isa, padahal ia sejarawan yang rajin mencatat nama-nama makam yang diziarahi dan dianggap berkah. Artinya pada tahun 732 H>. itu, makam Ahmad bin ‗Isa belum dikenal (dibaca ‗tidak ada‘) seperti saat ini. Telah berjarak 387 tahun sejak wafatnya, makam Ahmad bin ‗Isa belum dikenal orang. Lalu kapan mulai adanya cerita bahwa Ahmad bin ‗Isa dimakamkan di Husaysah? Berita awal yang didapatkan adalah berita dari Bamakhramah (w.947 H.) dalam kitabnya Qala>dat al-Nahr Fi Wafayyat A‟yan al-Dahr. Dalam kitab tersebut disebutkan, ada dua pendapat mengenai makam Ahmad bin ‗Isa: Pendapat pertama mengatakan ia wafat dan dimakamkan di Husaysah; pendapat kedua mengatakan ia wafat di Qarah Jasyib.[31] Lalu berdasar apa makam Ahmad bin ‗Isa ini dipastikan ada di Husaisah seperti yang sekarang masyhur sebagai makamnya? Bamakhromah menyebutkan bahwa makam itu diyakini sebagai makam Ahmad bin ‗Isa karena ada Syekh Abdurrahman menziarahinya dan ada cahaya yang dapat dilihat dari tempat yang diyakini sebagai makam Ahmad bin ‗Isa itu. Jadi bukan karena ada data dan sumber sebelumnya. Bamakhramah mengatakan:

يرى عل ات١وضع الذي يشار اليو ان قبره الشريف فيو النور العظيم وكان شيخنا العارف بالله عٖبد الرتٛن بن الشيخ محمد بن علي

علوي يزوره في ذالك ات١كانٖٕ٘

Terjemah:

―Dilihat cahaya agung dari tempat yang diisyarahkan bahwa tempat itu adalah quburnya (Ahmad bin ‗Isa) yang mulia. Dan guru kami, Al-Arif Billah Abdurrahman bin Syekh Muhammad bin ‗Ali Alwi, berziarah ditempat itu.‖ 

 Seperti itulah makam Ahmad bin ‗Isa ditemukan, yaitu bukan berdasarkan naskah yang menyatakan bahwa ia memang dimakmkan di Husaysah, dan bukan karena memang makam itu telah ada sejak hari wafatnya yaitu tahun 345 H., tetapi diitsbat berdasarkan ijtihad. Berarti makam Ahmad bin ‗Isa baru ditemukan, bahkan dibangun, di abad sembilan atau sepuluh Hijriah, yaitu sekitar 602 tahun setelah hari wafatnya. Dari sana, keberadaan makam Ahmad bin ‗Isa di Husaysah ini, berdasar kesimpulan tidak adanya peristiwa hijrah-nya ke Hadramaut, sangat meyakinkan untuk dikatakan bahwa makam itu adalah makam palsu. 


[1] Jajat Burhanuddin, Diaspora Hadrami di Indonesia, (Studia Islamika, Vol. V No. 1 1999) h. 188.

[2] Tim Peduli Sejarah Islam Indonesia, Tubagus M. Nurfadil Satya (ed.), Sejarah Ba Alwi Indonesia: Dari Konflik Dengan Al-irsyad Hingga Dengan

Keluarga W‟Alisongo, (Tim peduli Sejarah Indonesia, Serang) h.29

[3] Jajat, Diaspora hadrami di Indonesia… h. 189

[4] Utsman bin Yahya, Manhaj al- Istiqa>mat fi al Diin bi al –Sala>mat, (Maktabah Al-Madaniyah, Jakarta, t.t. ) h. 22. 

[5] Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Mizan, Jakarta, 2012) h. 180.

[6] Lihat L.W.C. Van den Berg, Hadramaut dan Koloni Arab di Nusantara, judul asli: Le Hadramaut et Les Colonies Arabes Dan I‟Achipel Indien (INIS, Jakarta, 1989) h.130-133

[7] M. Adil Abdullah, Tgk Imuem Lueng Bata Ultimatum Habib Abdurrahman

Az           Zahir,           (Catatan           Aceh           yang             Tercecer),

http://www.serambinews.com/news/catatan-aceh-yang-tercecer

[8] Simpang Siur     Kabar      DN      Aidit Keturunan Rasulullah,

(https://republika.co.id/berita/selarung/breakinghistory/pi8mbw282/simpang-siur-kabar-dn-aidit-keturunan-rasulullahpart1).

[9] Jasir Hadibroto dan Eksekusi Mati D.N. Aidit, dalam Tirto.id.( https://tirto.id/cPvz)

[10] Sayid Komunis yang Diburu Tentara Baret Merah, dalam Tirto.id. ( https://tirto.id/chz3)

[11] Sayid Komunis yang Diburu Tentara Baret Merah, dalam Tirto.id.

(https://tirto.id/chz3)

[12] Tahun wafat yang penulis sebutkan tersebut penulis ambil dari sebuah artikel yang berjudul “Inilah Silsilah Habib Rizieq Shihab. Keturunan Ke-38 Nabi Muhammad?” (https://artikel.rumah123.com/inilah-silsilah-habibrizieq-shihab-keturunan-ke-38-nabi-muhammad-124800). Angka tahun versi Ba‟lawi penting ditampilkan untuk mengukur konsistensi dan keakuratan data mereka untuk dikomparasi data dari sumber lainnya. 

[13] Lihat „Ali bin Abu Bakar al-Sakran, Al-Burqat al-Musiqat, (Matba‟ah

„Ali bin Abdurrahman bin Sahl Jamalullail Ba‟alwi, Mesir, 1347 H.) h. 131 

[14] Muhammad bin „Ali bin Alwi Khirid, Gurar al-Baha‟ al-Dawiy wa Durar al-Jamal al-Badi‟I al-Bahiy, (T.pn. T.tp., 1405 H.) h.69

[15] Ibnu Inabah, Umdat al-Talib, (Maktabah Ulum al-Nasab, Tahqiq

Muhammad Sadiq al-Bahr al-Ulum, Iran, T.t.) h. 222

[16] Masa‟ilu Abi Ja‟far wa Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait „Alihim al-Solat wa al-Salam, Beirut, 1431 H.) h. 18.

[17] Lihat Masa‟ilu Abi Ja‟far wa Mustadrakatuha, (Muassasah Al al- Bait „Alihim al-Solat wa al-Salam, Beirut, 1431 H.) h. 21.

[18] „Ali bin Muhammad bin „Ali bin Muhammad al-Alwi al-Umari, AlMajdi fi Ansab al-T‟Alibin, (Maktabah Ayatullah al-Udma al-Mar‟asyi,

Qum, 1422 H.) h. 332

[19] Al-Khatib al-Bagadadi, Tarikh Bagdad, (Dar al-Garbi al-Islami, Beirut, 1422 H.) j. 13 h. 518.

[20] Al-Khatib al-Bagadadi, … j. 13 h. 520.

[21] Lihat Al-Syatiri, Adwar al-Tarikh al-Hadramiyyah ( Maktabah Tarim alHaditsah, Tarim, 1403)h. 153

[22] Abu al-Faraj al-Asfihany, Maqatil al-T‟Alibiyyin (Dar al-ma‟rifah,

Beirut, T.t.) h.498

[23] Murtada al-Zabidi, Al-Raud al-jaly (Dar al-Fath, Oman, 2021 M) h.

[24] -122

[25] Murtada al-Zabidi…h.121-122

[26] (lihat Kitab Al Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 47).

[27] (lihat al Raudul Jali h. 7).

[28] (lihat Al Raudul Jaliy h. 48).

[29] (lihat Al Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 48). 345 (lihat kitab Al Raudul Jali h. 8) 346 (Al Raudul Jaliy h. 49).

[30] (Al Raudul Jali h. 49).

[31] Abu Muhammad al-Tayyib Abdullah bin Ahmad Ba Makhramah, Qaladat al-Nahr Fi Wafayyat A‟yan al-Dahr (Dar al-Minhaj, Jeddah, 1428 H.) juz 2 h. 618. 



Posting Komentar untuk "BAGIAN EMPAT: MEMBONGKAR SKANDAL ILMIYAH NASAB DAN GENEALOGI BA’ALWI"