Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

BAB V: ULASAN CENDIKIAWAN TENTANG PENELITIAN PENULIS (KH IMADUDIN AL-BANTANI)

BAB V: ULASAN CENDIKIAWAN TENTANG PENELITIAN PENULIS

BAB V ULASAN CENDIKIAWAN TENTANG PENELITIAN PENULIS (KH IMADUDIN AL-BANTANI)


Menyoal Genealogi Habib di Indonesia ke Rasulullah, Bukti Ilmiah Kyai Imaduddin Utsman[1]


Dr. Syafiq Hasyim

Selasa, 8 November 2022


Kita sudah sering mendengar bahwa habib-habib yang hidup di Indonesia itu merupakan keturunan Rasulullah. Habib Bahar Smith mengatakan bahwa dirinya adalah keturunan Sayyidina Ali r.a. Tidak hanya Bahar Smith, namun habib-habib yang lain, dengan menggunakan panggilan habib, memastikan bahwa mereka memiliki nasab sampai ke Rasulullah. Karenanya beliau-beliau merupakan keturunan Rasulullah, maka sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia memuliakan mereka.

Kini klaim bahwa habib adalah turunan Rasulullah mendapat tantangan. Tantangan itu berasal dari seorang kyai yang bernama Imadudin Ustman al-Bantani dalam artikel hasil penelitiannya yang berjudul, Pengakuan Para Habib Sebagai Keturunan Nabi Belum Terbukti Secara Ilmiah.

Kyai Imaduddin Utsman sendiri adalah Ketua Fatwa Komisi MUI Banten dan Pengasih Pondok Pesantren Nahdlatul Ulum Cempaka Kresek Banten. Kyai Imad adalah kyai muda di lingkungan

Nahdlatul Ulama yang produktif menulis kitab-kitab dalam bahasa Arab, salah satunya al-fikrah al-nahdliyyah fi usul wa al-furu‘ Ahl Sunnah Wal-jamaah.

Dia berpendapat bahwa bahwa habib-habib di Indonesia mayoritas belum terbukti secara ilmiah memiliki jalur darah ke Rasulullah. Jelas, hasil penelitian Kyai Imaduddin Ustman ini akan menyengat banyak pihak sebab mendelegitimasi kaum habaib.

Tapi mengapa Kyai Imaduddin Utsman bisa berpendapat demikian? Mari kita lihat.

Para habib datang ke Indonesia pada tahun 1880an dan sejak itu mereka mengatakan bahwa mereka adalah kerutunan dari Rasulullah. Biasanya, mereka mengaitkan diri mereka dengan Ba‘ Alawi, keturunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa al-

Rumi bin Muhammad Naqib bin Ali al-Uraidli bin Imam Ja‘far alShadiq bin Muhammad al-Bakir bin Ali Zaenal Abidin bin Husein bin Fatimah al-Zahra bin Nabi Muhammad.

Mereka ini, yang mengklaim dari arah Ba Alawi, menutu Kyai Imad, sebenarnya tidak melakukan assimilasi ke dalam penduduk pribumi, karenanya mereka dengan mudah dikenali publik.

Bagi Kyai Imad, keberadaan mereka di Indonesia tetap tidak mudah untuk dicarikan kaitannya secara keturunan dengan Rasulullah. Memang banyak kitab yang membahas Ba‘ Alawi misalnya Nubzat Latifah fi Silsilati Nasabil Alawi karangan Zainal Abidin bin Alwi Jamalul Lail, Ittisalul Nasabil Alawiyyain wal Asyraf karangan Umar bin Salim al-Attas (abad 13) dan Syamsu al-dzahirah karangan Muhammad bin Husein al-Amasyhur (abad 13). Semua kitab ini menjadi sumber dan rujukan untuk ketersampaian nasab mereka ke Rasulullah.

Kata Kyai Imad, sayang sekali, kitab-kitab yang dijadikan rujukan dalam konteks mini adalah kitab-kitab yang ditulis pada abad 13 atau setelahnya. Bagaimana dengan kitab-kitab abad sebelumnya 10,11 dan 12 yang seharusnya mereka jadikan rujukan?

Kyai Imad menyatakan Alawi bin Ubaidillah adalah datuk Ba Alawi di Indonesia. Menurut Kyai Imad, beliau ini adalah urutan ke 12. Dari serangkaian nama ini, ada yang terputus. Menurut Kyai Imam, terputusnya nasab itu di rangkaian keturunan Ali al-Uraidli. Menurut penulusuran yang dilakukan Kyai Imad, kedudukan anak Ali al-Uraidli ini penting untuk menyambung pada Datuk para Habib di Indonesia, yaitu Alawi bin Ba Alawi.

Dari hasil penelitian Kyai Imad ini, atas hadis dan juga kitabkitab nasab yang primer (utama), dia merasa kesulitan untuk mencari kesinambungan para habib di Indonesia untuk sampai pada Rasullulah karena tidak ditemukannya keterangan tentang rangkaian generasi yang sampai Ali al-Uraidhi.

Kyai Imad menyatakan bahwa keturunan Ali al-Uraidli tidak ditemukan pada sumber-sumber hadis dan pada abad 3 H di mana masa hidup Ali al-Uraidli kitab nasab belum tertulis. Kitab nasab baru ada sejak abad 5 dan menurut kitab ini memang Ali al-Uraidli memiliki keturunan empat, Muhammad bin Ali, al-Hasan bin Ali,

Ja‘far bin Ali dan Ahmad bin Ali (Tahdzhibul Ansab karya alUbaidili). Dalam berbagai kitab, meskipun berbeda soal jumlah anak, namun mereka berpendapat bahwa Ali al-Uraidli memang memiliki anak.

Anak Ali al-Uraidli yang menjadi perangkai habaib sampai Rasulullah, kata kyai Imad, ada pada Muhammad al-Naqib yang memiliki anak bernama Isa. Lalu Isa memiliki anak Ahmad Muhajir dan Ahmad Muhajir memiliki anak bernama Ubaidillah. Pada Ubaidillah inilah teka-teki terjadi apakah para habib kita memang benar-benar sampai pada Rasulullah atau tidak?

Kyai Imad lalu berpendapat bahwa berdasarkan Imam al-Fahrur Razi dalam kitabnya al-Syajarah al-mubarakah, Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa itu tidak terkonfirmasi. Lebih lanjut Kyai Imad mengatakan bahwa ―penisbatan Ubadilillah sebagai anak Ahmad tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena kitab nasab tertua Tahdzib al-ansab (abad 5) dan al-Syajarah al-mubarakah (abad 6) tidak menceritakan Ahmad memiliki anak bernama Ubaidillah.

Memang ada kitab-kitab nasab yang menyebutkan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa, namun menurut kyai Imad, itu tidak kuat karena adanya keperputusan riwayat. Nama Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa baru muncul pada abad 10 dan tak tersebut dalam kitab-kitab sebelumnya.

Apa yang dilakukan oleh Kyai Imad ini sangat menarik karena keberaniannya mengungkapkan hasil penelitiannya untuk dibaca oleh banyak kalangan termasuk kalangan Selain itu, topik yang dibahas juga merupakan topik yang sensitif.

Konstruksi tentang habib sebagai keturunan Rasullah yang sudah berabad-abad terbangun di Indonesia oleh kyai Imad berusaha untuk dipatahkan.

Sudah barang tentu akan banyak orang dan juga habib sendiri yang merasa bahwa penelitian kyai Imad ini mengada-ada dan ditujukan secara tendensius untuk menyerang pada habaib melalui penulusuran sejarah. Dan jika itu terjadi, maka bantahan pada Kyai Imad harus dituangkan pula dalam bentuk penelitian sejarah kerutunan Rasulullah di Nusantara ini.

Bagi saya, penelitian Kyai Imad ini bisa dikatakan sebagai model bagaimana santri atau kyai mempelopori model kerja ilmiah yang didasarkan pada data-data sejarah yang konkrit, bukan mitologis.

Bagaimana jika penelitian kyai Imad terbukti salah? Jika terbukti salah dan bukti salahnya juga menggunakan prosedur riset ilmiah, maka itu sangat wajar dan biasa terjadi. Tinggal nanti data dan argumen sejarahnya yang diadu di antara pelbagai temuan yang ada.

Namun jika penolakan atas penelitian Kyai Imad ini dilakukan dengan cara yang tidak ilmiah, misalnya, kecaman dan kekerasan, maka itu tidak bisa diterima. Penelitian harus dibalas dengan penelitian, itu pakemnya.

Sebagai catatan, konstruksi sejarah yang keliatannya mapan – termasuk tentang habib–pada dasarnya adalah bahan sejarah yang terus menerus terbuka. Mereka yang berminat akan mendalami dan meneliti dan hasilnya bisa saja berbeda dari sejarah yang mapan.

 

POLEMIK NASAB BA ALAWI[2]

Oleh Kholili kholil

Polemik tentang nasab Ba ‗Alawy yang dikemukakan

‗Imaduddin ‗Utsman, penulis muda produktif dari Banten, cukup mendapat atensi publik akhir-akhir ini. Makalah yang dia tulis setidaknya mendapatkan tiga bantahan yang masing-masing ditulis oleh Ja‘far Assegaf, Hanif Alatas, dan ‗Isma‘il Al-‗Aschaly.

Namun setelah menelaah tiga bantahan tersebut, kami menyimpulkan bahwa: tetap tidak ada referensi sezaman yang menyebutkan ‗Abd Allah/‗Ubayd Allah (ayah dari ‗Alawi — keturunan ‗Alawi disebut Ba ‗Alawi, puncak klan hampir seluruh habib di Indonesia).

‗Abd Allah b. Ahmad Al-Muhajir b. ‗Isa Al-Rumi. Ia wafat di penghujung abad empat, tepatnya 383 H. Ja‘far Assegaf mengklaim bahwa namanya sempat ditulis oleh Ibn Thabathaba (w. 478 H) dalam Abna‘ al-Imam fi Mishr wa al-Syam. Namun ternyata, kitab terakhir ini sudah mendapat banyak penambahan di badan teks oleh Ibn Shadaqah Al-Warraq (w. 1189 H). Otentikasinya diragukan! Apalagi kalau memang benar Ibn Thabathaba menulis nama ‗Abd Allah, pastilah akan dikutip oleh sejarawan setelahnya. (Ja‘far memberi argumen ad hominem yang kurang kuat bahwa bisa jadi ada kedengkian, dan hal-hal lain yang membuat namanya tidak dicatat oleh sejarawan pasca Ibn Thabathaba).

Nama ‗Abd Allah juga tidak kami temui di Tarikh Musallam Al-Lahji (w. 545 H) yang banyak membahas Yaman dan banyak menukil Ibn Thabathaba. Selain itu, Ibn Samurah (w. circa 586 H) penulis Thabaqat Fuqaha‘ al-Yaman sama sekali tidak menulis ahli fikih dari kalangan Ba ‗Alawi satu pun. Barangkali inilah yang membuat ‗Imaduddin bertanya-tanya: sejak kapan Ba ‗Alawi menjadi tokoh?

Mungkin beberapa orang akan menjawab dengan kutipan dari Al-Masyra‘ Al-Rawi, kitab yang sedikit legendaris dan ditulis belakangan tentang biografi Ba ‗Alawi, bahwa ulama-ulama besar

Yaman non Ba ‗Alawi seperti Salim Ba Fadlal, ‗Ali b. Ahmad Ba Marwan, dll, berguru kepada Muhammad b. ‗Ali pemilik Mirbath (w. 556 H). Namun nyatanya keterangan Al-Masyra‘ ini sedikit ‗ngawur‘ dan dibantah sendiri oleh ulama Ba ‗Alawi lain, yakni Ibn ‗Ubayd

Allah Al-Saqqaf dalam Idam al-Quwt fi Tarikh Hadlramawt (hlm. 877). Bahkan Ibn ‗Ubayd Allah menganggap ‗keilmuan‘ Ahmad AlMuhajir dan keturunannya sebagai sesuatu yang sedikit mitologis. Wa li al-syakk fi mitsl dzalik manafidz katsirah, sangat-sangat meragukan, begitu kata Ibn ‗Ubayd Allah.

Selain oleh ulama tersebut di atas, nama ‗Ubayd Allah/‗Abd

Allah juga diduga dikutip oleh Al-‗Ubaydali. Kutipan ini diambil oleh Hanif Alattas dari Al-Raudl Al-Jali karya Al-Murtadla Al-Zabidi. Di sini penulis katakan bahwa penulis tidak ragu dengan Al-Zabidi dengan segala kredibilitasnya. Namun yang menjadi pertanyaan penulis adalah: ke mana ulama lain selain Al-‗Ubaydali? Bukankah katanya genealogi ini mustafadh, masyhur, mujma‘ ‗alayh? Kalau tidak dikutip jil ‗an jil, berarti genealogi Ba‘alawi ini tidak maqthu‘, namun mazhnun? Kemana kutipan Abu al-Ghana‘im Al-Dimasyq yang mencatat seluruh genealogi Thalibiyyin dan sering dikutip AlSyajarah Al-Mubarakah? 

Walhasil: semua bantahan tetap tidak mampu menyanggah bahwa genealogi ‗Abd Allah/‗Ubayd Allah sejauh yang ditemukan masih tidak tercatat di kitab yang ditulis pada abad 4-7 H. Ini merupakan fakta yang masih belum terbantah. Adapun kesimpulan ‗Imaduddin bahwa hal ini menjadi penyebab genealogi tersebut tidak absah, maka menurut hemat kami itu kesimpulan yang terlalu dini.

Namun fakta bahwa genealogi Ba ‗Alawi sempat tidak dicatat selama empat ratus tahun itu merupakan fakta yang sejauh ini belum terbantah. Wallahu a‘lam.

 

Ketika Nasab Habaib Jadi Polemik (Menakar Analisa Sejarah Ba Alawi Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani)[3]

Oleh: KH. Khotimi Bahri

Sebuah kajian nasab habaib yang dilakukan oleh Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani banyak menarik perhatian.

Pro-kontra mewarnai diskusi dumay diberbagai flatform. Sayangnya pro-kontra ini tidak semuanya berada dalam jalur ilmiah. Tidak sedikit respon yang bersifat emosional bukan rasional disertai dengan tudingan-tudingan yang tidak mendasar.

Kajian yang dilakukan Kyai Imad, jika dilihat dari dua perspektif sama sekali tidak bertolak belakang dengan prinsip-prinsip keilmuan. Dari sudut pandang akademik (prinsip keilmuan modern) langkah dan metologi penelitiannya sudah sesuai dengan metodologi yang baku. Berangkat dari data primer, dilanjutkan dengan data sekunder, ditunjang dengan data tersier, semua dikaji secara holistik dan proporsional. Ada keterputusan sejarah yang sulit diverifikasi sesuai standart keilmuan modern. Missing-link ini yang akhirnya tersimpulkan bahwa nasab ba-alawi tidak terkonfirmasi.

Ada beberapa kyai dan ustadz baik dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan yang berusaha membantah penelitian Kyai Imad dengan merujuk pada kitab turots klasik yang menurut para pembantah ini terlewatkan dari referensi Kyai Imad. Pada kenyataannya referensi yang gunakan para pembantah inilah yang secara ilmiah bermasalah.

Jadi hemat saya, clear bahwa penelitian Kyai Imad sudah sesuai dengan standart penelitian ilmiah dengan kesimpulan bahwa ada keterputusan nasab ba-alawi yang tidak bisa dikonfimasi.

Jika tadi menggunakan metode akademik (modern) sekarang kita coba analisa dengan pendekatan ilmu tentang sanad. Atau metodologi ulama-ulama klasik dalam meneliti mata-rantai keabsahan sanat.

Dalam meneliti sanad, jika ada keterputusan mata-rantai (atau tidak terkonfirmasi dalam bahasa terkininya), maka jalur ini dianggap inqitho‘, terputus, tidak bersambung. Jalur yang tidak bersambung ini dibagi menjadi 4 :  :ويقسم العلماء الانقطاع إلى أربعة أقسام

ٔأن يكون الانقطاع من أول السند.

ٕأن يكون الانقطاع من آخر السند.

ٖأن يكون الانقطاع من أثناء السند بواحد فقط.

 أن يكون الانقطاع من أثناء السند باثنتُ فأكثر على

التوالي.

Nomor satu disebut hadits mu‘allaq, nomor dua disebut hadis mursal, nomor tiga disebut (secara istilah) hadis munqothi, sedangkan nomor empat disebut hadis mu‘dhol.

Semuanya masuk dalam kategori hadis dhaif, karena sanadnya tidak muttashil.

Berdalil dengan hadits munqothi, maka tidak dapat dibenarkan kecuali ada qorinah dan syawahid yang menguatkan, misalnya, ada jalur riwayat lain yang muttashil. Atau ada riwayat lain baik maknawi atau lafdzi yang mendukungnya.

Nah, dari pisau analisa klasik (ilmu sanad) apa yang disampaikan Kyai Imad tidak ada yang menyalahi prosedur.

Sampai disini bisa kita pahami bahwa kajian dan penelitian Kyai Imaduddin Utsman al-Bantani tidaklah dilandasi kebencian atau untuk melahirkan kebencian terhadap para habaib sebagaimana dituduhkan beberapa pihak. Bahkan tuduhan tersebut merupakan bentuk kekerdilan cara berpikir dan kedangkalan wawasan penuduh.

Sebagai kajian ilmiah, tentu tidak bertujuan mendestorsi keberadaan habaib tapi sebaliknya dengan temuan faktual ini mendorong para habaib melakukan kajian dan penguatan syawahid atau qorinah secara ilmiah.

Alangkah eloknya kalau kemudian terjadi dealektika ilmiah. Dari tesa Kyai Imad lahir antitesa dan berkembang menjadi sentesa. Sekaligus inilah saat yang tepat bagi habaib untuk melakukan autokritik dan pembenahan terhadap perilaku beberapa ―oknum‖ habaib sendiri. Wallahu a‘lam.

 

KH. Imaduddin Utsman Antara Kejujuran Ilmiah dan Tirani

Sejarah 

Oleh KH. Khotimi Bahri MUI Kota Bogor, dan Dosen STEI Napala

Saya ingin memulai tulisan ini dengan dua model penelitian yang diakui validitasnya secara umum.

Pertama, dunia penelitian ilmiah. Dalam dunia penelitian ilmiah saat ini, yang sangat prinsip adalah heuristik. Yaitu prosedur pengumpulan sumber penelitian. Dalam penelitian sejarah, seorang peneliti bisa mengkaji beberapa macam sumber yaitu; sumber tulisan lewat naskah-naskah terkait, sumber lisan yaitu kesaksian pelaku atau juga saksi dari sebuah peristiwa, sumber benda bisa dalam bentuk artefak dan fosil, sumber audio-visual misalnya berupa rekaman, gambar, atau barang-barang yang digunakan.

Kedua, model penelitian silsilah sanad. Sebuah riwayat akan valid dan bernilai shohih jika sanadnya muttashil, bersambung, serta memiliki kompetensi yang mumpuni atau dalam bahasa mustholah haditsnya adalah dhabith, hafidz, dan adil.

Mengenai hal ini ada beberapa syarat yang harus terpenuhi. Dalam tulisan ini akan diangkat beberapa saja yang terkait langsung dengan tema tulisan. Diantaranya adalah; seorang periwayat harus sezaman dengan gurunya (rujukannya/narasumbernya). Biasanya cara ini dilihat dari tahun wafatnya. Sang periwayat juga dapat dipastikan bertemu dengan narasumber yang dirujuk. Biasanya cara ini dilacak lewat makanur-rihlah atau tempat yang disinggahi. Mendengar langsung riwayatnya dari narasumber. Kalau tidak mendengar lansung biasanya dihukumi mursal (khafi). Juga dilihat dari sighat periwayatnya apakah ―jazam‖ yaitu pasti, seperti penegasan; ―saya mendengar, saya menyaksikan. Atau sighat tamridl misalnya; diceritakan kepada saya, telah sampai kepada saya dan lain-lain. Tentu kualitas jazm diatas tamridl.

Penelitian atau kajian nasab yang dilakukan Kyai Imaduddin Utsman Al-Bantani (Kyai Imad) menyimpulkan tidak terkonfirmasinya nama Ubaidillah (383 H) sebagai anak dari Ahmad bin Isa. Padahal para habaib yang ada di Indonesia mengklaim sebagai keturunan Alwi (400 H) bin Ubaidillah. Makanya mereka menisbatkan diri sebagai Ba-Alawi.

Tentu jika pisau analisanya adalah metode penelitian ilmiah (modern) klaim nasab habaib ini bermasalah. Tidak ada sumber otentik baik tulisan, artefak, lisan, benda, maupun peristiwa yang bisa mengkonfirmasi keberadaan Ubaidillah sebagai keturunan Ahmad bin

Isa.

Diketahui nama Ubaidillah baru muncul dalam catatan nasab yang ditulis pada abad ke 10 dan sekitarnya. Artinya dari abad ke 5 sampai ke 9 nama Ubaidillah belum ada.

Kemudian, kalau pisau analisanya metode pelacakan sanad dalam ilmu mustholah, klaim nasab habaib juga tidak terkonfirmasi. Seperti yang saya sampaikan pada tulisan terdahulu bawa mata-rantai periwayatannya terputus atau mungqothi‘. Tepatnya mu‘dhal yaitu munqothi‘ fi akhiris-sanad.

Padahal untuk sebuah keabsahan periwayatan, seorang periwayat harus sezaman dan mendengar langsung dari narasumbernya. Kalau tidak maka kualitas riwayatnya termasuk mursal.

 

Mengakui keberadaan Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa dengan referensi abad ke 9 atau 10 atau 11 masuk kategori dhoif. Apalagi referensi tersebut tidak bisa menghadirkan artefak, benda, audio abad ke 4 atau ke 5 untuk menguatkan kajiannya.

Penulis berbicara validitas metodologi sesuai standart penelitian ilmiah dan ilmu mustholah dengan tidak meragukan kredibilitas sosok Ibnu Hajar, As-Sakhowi dan lain-lain.

Jadi bukan untuk mendestorsi keberadaan habaib di Indonesia. Tidak juga untuk melahirkan syubhat terhadap tatanan sosial habaib. Tidak sama sekali. Penulis murni fokus metodologi.

Sampai disini kita harus fair bahwa secara ilmiah baik metodologi klasik maupun modern, penelitian Kyai Imad tidak terbantahkan.

Namun, seperti sudah diduga, serangan datang dari berbagai penjuru ke Kyai Imad. Mulai dari tuduhan pemecah belah umat, penebar kebencian, syi‘ah, pansor, takut diskusi, setelah jadi NU dendam kepada habaib dan fpi, termasuk serangan terhadap portal web tempat Kyai menjawab beberapa pertanyaan. Benarkah semua itu?

Berikut gambaran singkat yang bisa penulis ketengahkan :

Apakah Kyai Imad tidak mau diskusi? Justru Kyai selalu terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kesempatan Kyai Imad menyisipkan waktu untuk mendiskusikan hasil penelitiannya walaupun ada beberapa yang dipending panitia.

Apakah Kyai Imad siap tabayun? Pasti untuk tabayun selalu siap dilakukan. Terbukti pengasuh pesantren sekabupaten Tangerang melakukan tabayun dan diskusi seputar penelitiannya pada bulan Romadlan 1444 H. Proses tabayun yang berlangsung alot dengan beragam pertanyaan berbasis kutub turors khas kyai dan pesantren. Setelah dihujani pertanyaan, justru berakhir manis dengan dukungan penuh seluruh pengasuh pesantren yang hadir.

Apakah Kyai Imad tidak siap direvisi? Beberapakali Kyai Imad sampaikan bahwa kritik, analisa, revisi selalu terbuka untuk penelitiannya. Bahkan Kyai Imad sendiri menyampaikan ; akan ―taslim‖ jika memang ada temuan baru yang secara ilmiah bisa dipertanggung jawabkan.

Persoalannya, para penyanggah selama ini belum masuk kepada substansi masalah, yaitu tidak terkonfirmasinya (terputusnya) nasab Ubaidillah sebagai putra anak dari Ahmad bin Isa. Semua referenai yang diajukan penyanggah baru berdasar asumsi, analisa, pandangan para pentahqiq kitab-kitab nasab. Atau baru berupa klaim muallif kitab tertentu; bahwa memiliki guru yang tersambung dengan namanama dari klan ba-Alawi. Kadang juga para penyanggah bermodal pujian muallif kitab terhadap nasab klan ba Alawi. Dan seterusnya dan seterusnya.

Belum ada dari puluhan penyanggah yang bisa membuktikan baik tulisan, bukti fisik, artefak, syawahid, qorinah yang ada diabadabad sekitar Ubaidillah hidup. Sehingga secara ilmiah tertolak sanggahannya.

Apakah penelitian Kyai Imad pemecah belah dan penebar kebencian? Penulis pikir tidak seperti itu. Kalau saja kita mau terbuka, memperluas wawasan dan cakrawala, maka kita akan paham bahwa penelitian Kyai Imad murni untuk kepentian ilmiah dan kejujuran pengetahuan. Justru kebencian muncul dari penyanggah yang berlebihan, terutama dari oknum habaib sendiri yang langsung melebelkan Kyai Imad munafik, syiah, pemecah belah umat dan lainlain. Darisini sebenarnya kegaduhan itu mulai.

Keterbukaan Kyai Imad, bahkan, ditunjukkan dengan kesediaannya menerima penegasan baru bahwa;

Yang pertama mengangkat nama Ubaidillah bin Ahmad adalah Habib Ali bin Abu Bakar Sakran. Dan penegasan ini merupakan komplementer dari hasil penelitian sebelumnya. Artinya Kyai Imad tetap membuka revisi hasil penelitiannya, asalkan referensial dan bisa dipertanggung jawabkan.

Habib Ali al-Sakran menulis sebuah kitab yang diberi nama AlBurqatul Mutsiqoh (selanjutnya disebut al-Burqah). Dalam kitab itulah untuk pertama kali nama Ubaidillah disebut sebagai Anak Ahmad bin Isa dengan argument bahwa Ubaidillah ini adalah nama lain Abdullah yang disebut oleh Al-Jundi (w. 730 H.).

Kitab-kitab selanjutnya yang menyebut Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib, kemungkinan besar, menukil dari Habib Ali al-Sakran tersebut. Diantara kitab-kitab itu seperti: ،alDlau‘ al-Lami‘ karya al-Sakhowi (w. 902 H.), kitab Qiladat al-Dahr fi Wafayat A‘yan al-Dahr karya Abu Muhammad al-Thayyib Ba Makhramah (w. 947 H.), kitab Tsabat Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974

H.), kitab Tuhfat al-Tholib karya Sayid Muhammad bin al-Husain asSamarqondi (w. 996 H), kitab al-Raudl Al-Jaliy karya Murtadlo alZabidi (w. 1205 H).

Wa ‗ala kulli hal, kelemahan tesa Habib Ali bin Abu Bakar Sakran ini berkesimpulan lewat asumsi. Atau dalam bahasa ushul fiqhnya masih menggunakan logika ―Amrun I‘tibariyun bi Dzihni‖. Asumsi ini akan bisa dikategorikan ilmiah dan selaras dengan metodologi penelitian, baik modern maupun klasik jika disertai qorinah sebagai syawahidnya. Qorinahnya bisa berupa temuan artefak, fakta audio, kesaksian dan lain-lain.

Tidak ada satu peristiwapun yang tanpa hikmah. Allah hadirkan segala kejadian dengan berbagai ibroh. Hikmah dan ibroh dari diskursus ini, kita disadarkan bahwa Walisongo adalah dzurriyah Rosul. Poro kyai, ajengan, gus, lora raden, sultan, tubagus, puang dan lain-lain adalah mutiara yang selama ini terabaikan. Padahal dari mereka nusantara punya hutang budi. Dari mereka memancar ilmu dan kebajikan. Dari mereka mengalir darah walinsongo. Lahumul Fatihan.

Penulis : Khotimi Bahri (Syuriah PCNU Kota Bogor, Ketua Komisi I MUI Kota Bogor dan mengabdi sebagai Dosen Ushul Fiqh STEI Napala, serta Waktum Barisan Ksatria Nusantara) Gonjang-Ganjing Soal Nasab, Ini Kata Prof Dr Quraish

Shihab[4]

Jakarta, JATMAN Online – Pakar Tafsir Professor Quraish Shihab mengatakan bahwa keturunan Rasulullah Saw masih ada hingga saat ini, dan diyakini oleh para ulama.

―Jadi ada jaminan bahwa keturunan Rasulullah masih berlanjut, ini disepakati oleh ulama dan Al-Kautsar itu nikmat yang banyak,‖ Kata Prof Quraish, dilansir dari YouTube Kupas Channel, Rabu (10/05).

Hal ini merupakan respon terkait fenomena Habib mencuat kembali dan ramai diperbincangkan, terutama di medsos tidak luput dari pro dan kontra terkait statment seorang Kiai dari Banten dengan kajian ilmiahnya menyatakan bahwa ada nasab (silsilah) dari kalangan Ba Alawi keberadaannya tidak tercatat selama 500 tahunan (ceramahnya Kiai Imaduddin Utsman) dilansir dari Gus Fuad Channel.

Ulama ahli tafsir Al-Qur‘an ini menjelaskan bahwa pertama dengan adanya ilmu nasab, jadi wajar orang memperhatikan garis keturunan, apalagi ada bobot, bebet, bibit.

―Tetapi tidak usah anda yang mengklaim diri anda, buktikan bahwa hal tersebut melalui akhlak, ilmu anda,‖ tegasnya.

Prof Dr Quraish Shihab juga menambahkan bahwa yang kedua, ada orang-orang yang bukan keturunan Nabi yang dianggap oleh Nabi sebagai keluarganya.   سَلْمَانُ مِنا أىْلَ البَ يتِ

Artinya: “Salman adalah bagian dari kita, sebagai ahlul bait.” (Al-Mu‟jam Al-Kabir Lit Thabrani: 6040). 

 

Sebagaimana kita ketahui, Salman bukanlah darah daging Rasulullah. Ia juga bukan keturunan suku Quraisy. Seorang Persia yang saat ini Republik Islam Iran. Walaupun demikian, ia diakui Nabi sebagai ahlul baitnya (keluarga Nabi). Karena apa? Sebab ia beriman lagi patuh. Kuncinya adalah mengikuti perintah dan menjauhi larangan Rasulullah Saw.

―Mari kita tonjolkan akhlak kita, ilmu kita dan pengabdian kita itulah yang menjadikan Rasulullah bangga. Dan tidak usah memikirkan diakui, tidak diakui, terserah,‖ pungkasnya.

Pewarta: Abdul Mun‘im Hasan

Editor: Warto‘i

 

Runtuhnya Legitimasi Habaib Oleh: Ickur

(Komunitas Disorientasi)

Beberapa tahun yang lalu Sumanto Al Qurtubi memposting tulisan di akun facebook-nya yang membahas tentang terputusnya nasab Rasulullah berdasarkan kajian Antropologi, alasan utamanya adalah bangsa Arab menganut sistem patriarki dimana nasab dihitung berdasarkan jalur laki-laki, sedangkan Rasulullah tidak memiliki anak cucu yang beranak pinak melalui jalur keturunan laki-laki. Postingan ini mendapat reaksi dari ribuan akun yang mayoritas menghajar Sumanto Al Qurtubi dengan menggunakan dalil agama.

Beberapa tahun kemudian tepatnya akhir-akhir ini, kemapanan Habaib yang mendapat posisi Istimewa di Indonesia karena dimuliakan oleh mayoritas umat Islam kembali goyang oleh tesis Imaduddin Ustman. Imaduddin Ustman menulis tesis ―tentang terputusnya nasab para habib Ba Alawi Yaman kepada Rasulullah‖ dengan menggunakan sembilan kitab nasab sebagai referensi utama.

Kalau Sumanto Al Qurtubi dengan kajian antropologi berusaha menggugurkan klaim seluruh Dzurriyat Rasulullah dengan mengisyaratkan nasab Rasulullah terputus sejak Sayyidah Fatimah Az Zahrah, Imaduddin Utsman hanya ―menggugat‖ klaim Dzurriyat Rasulullah dari jalur Ba Alawi dengan menunjukkam bukti bahwa Sayyid Ahmad bin Isa tidak memiliki anak yang bernama Ubaidillah, berarti juga tidak memiliki cucu yang bernama Alawi bin Ubaidillah. Alawi bin Ubaidillah inilah yang diklaim menjadi jalur penghubung nasab Habaib sampai ke Rasulullah yang dilegitimasi oleh Rabithah Alawiyyah (Lembaga Pencatat Nasab Dzurriyat Rasulullah).

Imaduddin Utsman tidak ―mengatakan‖ seluruh Dzzurriyat Rasulullah terputus, juga tidak menyerang ke-shahih-an nasab Habib secara personal (orang per orang berdasarkan suka atau tidal suka), karena ada Habib yang ―baper‖ menanggapi tesis Imaduddin dengan tanggapan emosional seolah diserang secara pribadi kemudian mengajukan test DNA dengan cara yang nyaris Mustahil yakni menggali makam Rasulullah untuk mengambil sampel DNA. Tetapi

Imaduddin Utsman hanya menunjukkan ―masalah‖ dalam nasab Alawi bin Ubaidillah karena Ubaidillah bukan anak Ahmad bin Isa.

Imaduddin mengatakan bahwa tidak ada kitab-kitab mu‘tabar yang menyebutkan Ahmad bin Isa pindah ke Hadramaut, berita tentang pindahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut sekitar 650 setelah wafatnya Ahmad bin Isa. Ahmad bin Isa hanya mempunyai tiga putra; Muhammad, Ali, dan Husain. Di titik ini Bani Alawi mendapat ―masalah‖ karena tidak atau belum bisa menggugurkan tesis Imaduddin Utsman dengan referensi valid. Kitab yang digunakan untuk menyanggah pendapat Imaduddin adalah kibab Syarhul Ainiyyah yang ditulis oleh Habib Ahmad bin Zen al-Habsyi (dari kalangan Bani Alawi) pada abad 12 H tanpa menyebutkan rujukan kitab atau sumber informasi, sedangkan Ubaidillah wafat pada abad 4 H.

Di tempat lain, Channel Youtube Guru Gembul yang berjudul

Eps 585| HABIB BUKAN KETURUNAN ROSULULLAH SAW? KRITIK SANAD NASAB setelah merujuk kepada tesis Imaduddin Ustman kemudian mengangkat masalah lain yang terjadi pada Bani

Alawi dalam hal kalkulasi generasi Habaib yang ada sekarang yakni generasi ke 36 sampai ke 39, sedangkan jarak dari Nabi Muhammad sampai ke generasi sekarang sekitar 1495 tahun hijriyah. Di dunia, Dalam rentang waktu 1500 tahun rata-rata telah melahirkan 50 sampai 75 generasi, sedangkan para Habaib hanya pada 37 sampai 39 generasi. Tetap masuk akal tapi susah untuk diterima karena rata-rata para Habaib baru punya keturunan di usia 40 tahun. Apalagi di zaman dulu kebanyakan orang menikah di usia yang sangat belia antara usia 11 – 14 tahun. Kalau sampelnya diambil dari lima generasi pertama dari Zaman Rasulullah maka jumlah rata-rata generasi berpindah di usia 26 tahun. ―Ini wajar, normal dan masuk akal‖ kata Guru Gembul. Tetapi setelah Ubaidillah, dalam kalkulasi juga terjadi masalah, jarak rata-rata antar generasi menjadi dua kali lebih panjang, mereka ratarata dilahirkan pada tahun genap, dan jarak antara generasi juga ratarata berangka tahun genap.

Dari sini kita dapat melihat kemungkinan hanya test DNA lah yang bisa selamatkan ―Legitimasi‖ Bani Alawi sebagai Dzurriyat Rasulullah. Kecuali Rabithah Alawiyyah bisa mengajukan bukti dan jawaban valid yang bisa dijadikan rujukan untuk menggugurkan tesis Imaduddin Ustman dan masalah Kalkulasi rata-rata perpindahan antar generasi yang diajukan oleh Guru Gembul.

Jika legitimasi Bani Alawi sebagai keturunan rasulullah runtuh, apakah akan dapat mengakhiri pengkultusan terhadap Habaib? Ataukah akan ada tebang pilih Habaib, yaitu hanya Habaib ulama yang akan tetap mendapat legitimasi dengan jalur keilmuannya, sedangkan para Habaib yang hanya menjajakan nasab sebagai klaim kemuliaan akan ditinggal oleh para Muhibbinnya?, Wallahu a‘lam bish shawab. 5 – 7 Syawal 1444

(Ditulis saat melintasi Selat Makassar di lantai 3 KM Laskar Pelangi sebagai pengisi waktu saat mudik, dirampungkan saat nongkrong di tepi Teluk Mandar Pantai Tatobo).

 

Kajian Ilmiah Nasab Habaib Ba’alawy, Tidaklah Menentang

Nasab Leluhur Keluarga Walisongo

Oleh: R.Tb.M. Nurfadhil Satya Tirtayasa, S.Sos., M.A. (Ketua Umum Robithoh Babad Kesultanan Banten)

Silsilah Leluhur Para Walisongo dikenal masyarakat sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW. Versi Jalur silsilah yang banyak dikenal masyarakat adalah yang melalui jalur Azmatkhan Ba‘alawy muasal Yaman.

Namun perlu diketahui saat ini Naqib Alawiyyin Internasional mengklasifikasikan Walisongo dan keluarga keturunannya bukan ke jalur Azmatkhan Ba‘alawy tapi ke versi jalur sanad nasab lainnya. 

Jadi kajian ilmiah dan adu hujjah nasab terkait keabsahan silsilah para Habaib Ba‘alawy muasal Yaman yang sedang viral di media sosial, bagi yang mengetahui silsilah Walisongo versi sanad Naqib Internasional, bukanlah menggugat tentang leluhur keluarga Walisongo. 

Terindikasi sempat ada distorsi pengkaburan sejarah dan silsilah leluhur Walisongo oleh oknum Habib Ba‘alawy muasal Yaman di masa lalu. 

Dalam sejarah masyhur nusantara. Leluhur Wali Nusantara ada yang berasal dari Maghrib / Maroko dan terindikasi dari banyaknya gelar Maulana Maghribi (bukan gelar Maulana Yamani ataupun Maulana Al Hadhrami) dan ada yang berasal dari Samarkand Uzbekistan Asia Tengah terindikasi dari penggunaan gelar Asmarakandi pada ayah Sunan Ampel , dan penggunaan gelar Makhdum, gelar zuriat Ahlul Bait Nabi yang lazim digunakan di Asia Tengah dan jelas keluarga Walisongo tidak menggunakan gelar Habib, sebagaimana kelaziman gelar yang dipakai keluarga Ba‘alawy muasal Yaman. 

Contoh Walisongo yang menggunakan gelar Makhdum adalah Sunan Bonang Makhdum Ibrahim dan Syarif Hidayatullah Sunan Makhdum Gunung Jati. 

Jalur muasal dari Maroko menurunkan Sunan Giri dan Sunan Kudus yang berdasar data Serat Walisana, dikolaborasikan dengan data Malaka dan Naqib Maroko berjalur turunan kepada kabilah Al Jailani Al Hasani dan sudah mendapat isbat nasab dari Naqib Internasional antara lain dari Maroko, Irak dan Turki. 

Sedangkan dari jalur muasal Uzbekistan Asia Tengah sesuai dengan data pihak Keprabon Cirebon bernasab via jalur Al Kazhimi Al Husaini, diakui jalur ini namun untuk sanad detailnya sedang proses isbat Naqib Internasional melalui Naqib Hasyimiyyun Turki. 

Di Cirebon ada berbagai versi data silsilah leluhur Sunan Gunung Jati yang berbeda. Pihak peneliti nasab dari keluarga Walisongo, meneliti bahkan menggunakan perbandingan hasil tes DNA sampel keturunan melalui Peta Migrasi Leluhur untuk meneliti versi mana yang paling shoheh diantara berbagai versi yang ada. 

Penggunaan tes DNA untuk meneliti keabsahan silsilah jalur Alawiyyin di kalangan Internasional juga sudah dilakukan oleh Naqib

Jordan dan Naqib Mesir. Sehingga penelitian nasab memperbandingkan data hasil tes genetik dengan data tertulis yang dilakukan peneliti dari kalangan keluarga Walisongo yang tergabung dalam wadah organisasi NAAT (Naqobah Ansab Auliya Tis‘ah) memenuhi kaidah ilmiah ilmu nasab Internasional.

Silsilah yang dianggap paling shoheh oleh pihak peneliti untuk jalur leluhur Sunan Ampel dan Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati adalah yang melalui jalur Al Kazhimi Al Husaini sebagaimana data yang dipelihara oleh pihak Keprabon Cirebon. 

Dari penelitian DNA, peta migrasi khusus yang sesuai dengan kode genetik yg ada di sampel trah Sunan jalur Al Husaini menunjukkan migrasi yang sinkron dengan riwayat muasal dari Hijaz ke Irak – Iran ke Uzbekistan Asia Tengah ke India / Pakistan lantas ke Nusantara.

 

Dapat diliat pula peta migrasi tersebut tidak sesuai dengan silsilah Walisongo versi Azmatkhan Ba‘alawy muasal Yaman yang konon semestinya dari Irak hijrah ke Yaman dulu (arah barat daya) baru ke India (arah timur) lantas ke nusantara. 

Jadi versi silsilah leluhur Sunan Gunung Jati dan Sunan Ampel jalur Al Kazhimi Al Husaini ditemukan bersesuaian dengan peta migrasi leluhur dari sampel keturunan Walisongo yang diuji tes DNA serta disimpulkan lebih shoheh. 

Sampel DNA trah Walisongo Alhamdulillah, terbukti pula sebagai turunan ahlul bait Nabi dengan ditemukannya kode mutasi genetik / SNP dari kode Ahlul Bait Nabi. Wallahu a‘lam bishowab.


[1] https://geotimes.id/catatan-syafiq-hasyim/menyoal-genealogi-habibdi-indonesia-ke-rasulullah-bukti-ilmiah-kyai-imaduddin-utsman/

[2] https://alif.id/read/kholili-kholil/polemik-tentang-nasab-ba-alawyb247627p/

[3] https://liputan9.id/ketika-nasab-habaib-jadi-polemik-menakar-analisasejarah-ba-alawi-kyai-imaduddin-utsman-al-bantani/ 

[4] https://jatman.or.id/gonjang-ganjing-soal-nasab-ini-kata-prof-drquraish-shihab/

Posting Komentar untuk "BAB V: ULASAN CENDIKIAWAN TENTANG PENELITIAN PENULIS (KH IMADUDIN AL-BANTANI)"