PASAL KE-2: KH. Imadudin Al-Bantani Menjawab Soal: KITAB-KITAB YANG MENYEBUT (Nasab) BA’ALWI BUNTU DI ABAD-9
KH. Imadudin Al-Bantani Menjawab Soal: KITAB-KITAB YANG MENYEBUT (Nasab) BA’ALWI BUNTU DI ABAD-9
Mari kita
perhatikan. Sebelum mengurut kitab-kitab Non Ba‘alwi yang ia katakan telah
mengitsbat nasab Ba‘alwi, Hanif dkk. membuat sebuah discleamer:
―Jika sebuah nasab tercantumnya dalam kitab-kitab
nasab yang ditulis oleh nassabah yang kredibel dan tsiqah (meskipun nassabah
itu tidak sezaman), hal itu menjadi salah satu tolak ukur keabsahan sebuah
nasab menurut perspektif ilmu nasab.‖[1]
Jadi, menurut
Hanif, jika abad ke-9 H. seorang ahli nasab telah menulis susunan nama-nama
orang dalam sebuah silsilah sampai Nabi Muhammad SAW, maka itu harus diterima
untuk mengitsbat nasab walau bertentangan dengan kitab-kitab nasab sebelum abad
ke-9.
Kenapa
discleamer semacam itu perlu untuk didahulukan? Jawabannya karena kitab yang
akan ia sebutkan hanya mentok di abad ke-9. Kitab nasab pertama yang mencatat
Ba‘alwi yang akan mereka sebutkan adalah kitab Al-Nafhah al-Anbariyah karya
Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al-Yamani (w.880 H.). tidak ada lagi dalil dari
kitab nasab yang mampu mereka bawa. Sedangkan kitab Al-Nafhah itu isinya
bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya yaitu kitab AlSyajarah al-Mubarakah
karya Al-Imam al-Nassabah Fakhruddin alRazi (w.606 H.).
Benarkah ucapan Hanif yang mengatakan bahw menurut
ahli nasab sebuah kitab nasab dapat dijadikan pegangan walau bertentangan
dengan kitab-kitab nasab sebelumnya? Tentu itu hanya jurus sebuah klan yang
nasabnya palsu.
Dalam Dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain
al-Ansab karya Al-Nassabah Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani
dikatakan:
ولا يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على
ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على الذاكرة الشعبية
فقط،
―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar
apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak
logis atau berdasar memori bangsa saja‖[2]
Perhatikan ucapan Al-Nassabah Fuad
bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani tersebut, bahwa kita tidak mungkin menerima
sebuah nasab terdahulu hanya berdasar tulisan masa kini; tidak boleh kita
berpatokan kepada kitab Al-Nafhah yang ada di abad ke-9 untuk memverifikasi
Anak Ahmad bin Isa yang ada di abad ke-4 dalam keadaan telah nyata kitab
Al-Nafhah ini bertentangan dengan kitab sebelumnya.
Dari sana kita mengetahui dalil
dari pakar nasab bahwa sebuah nasab masa lalu tidak bisa diverifikasi oleh
hanya sekedar kitab nasab masa kini, ia harus diverfikasi kitab-kitab nasab
sezaman atau yang mendekati sebagaimana dalilnya telah penulis sampaikan.
Sebelum kita lihat kitab-kitab
nasab apa yang dapat Hanaif dkk bawa untuk membela nasabnya, mari kita lihat
terlebih dahulu deretan kitab-kitab nasab yang telah ada berjejer dari mulai
abad ke-3 sampai ke-13 Hiriyah. Dari sana kita mengetahui bahwa munculnya nama
Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa baru di abad sembilan
Hijriyah setelah 651 tahun wafatnya Ahmad bin Isa.
Kitab-Kitab
Nasab Abad Ke-3 Sampai 13 Hijriyah
(1)
Kitab Nasabu
Quraisy
Nama kitab ini bernama Kitabu Nasabi Quraisy karya Mush‘ab bin
Abdullah al-Zubairi (w. 236 H.). Versi cetak kitab ini di-tahqiq (edit) oleh sejarawan Perancis Évariste Lévi-Provençal ( إفارٌ ٌست
نٍ فًتزََفىسال) [w.1959 M]; diterbitkan oleh Penerbit ―Daar al-Ma‘arif‖ tanpa
tahun.
Dalam kitab ini keturunan
Al-Husain dari jalur Ali al-Uraidli bin Ja‘far al-Shadiq belum disebutkan.
Keturunan Al-Husain dari Muhammad al-Baqir bin Ali al-Sajjad yang disebutkan
hanya sampai Ja‘far. Keturunan Husain dari Zaid bin Ali al-Sajjad yang
disebutkan hanya sampai Ahmad bin Isa bin Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin
Abi Thalib.
Adapun apa yang disebut oleh kitab
palsu Al-Raudl al-Jaliy yang
dinisbahkan kepada Murtadla al-Zabidi bahwa Mush‘ab bin Abdullah al-Zubairi
menyebut Ahmad bin Isa al-Naqib mempunyai anak dua: Abdullah dan Muhammad (Al-Raud al-ـaliy, Daar al-Fath, 1444 H. h. 120), adalah kutipan palsu tidak ada
dalam Kitab Nasab Quraisy.
(2)
Kitab Sirri
Silsilat al-Alawiyyah
Kitab ini berjudul lengkap: Sirri Silsilat al-Alawiyyah Fi Ansab
Sadat
al-„Alawiyyah karya Syekh Abu Nashr Sahl bin Abdullah alBukhari (w.341 H.).
Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh
Muhammad Shadiq Bahrul Ulum; diterbitkan oleh Penerbit ―Al-Haidariyah‖, Najaf
tahun 1962 M.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa
Muhammad bin Ali al-Uraidi bin ja‘far al-Shadiq mempunyai anak bernama Isa
al-Aratt (h. 49). Dalam kitab ini nama Ahmad bin Isa belum muncul. Nama anak
Isa yang disebut hanya satu orang yaitu Al-Husain. Namun Al-Bukhari tidak
membatasi anak Isa al-Aratt hanya Al-Husain. Maka kemungkinan ada anak lain
yang belum disebut terbuka.
Dalam kitab palsu Al-Raudl al-Jaliy yang dinisbahkan
kepada Murtadla al-Zabidi disebutkan bahwa Syekh Abu Nashr al-Bukhari menyebut
Ahmad bin Isa al-Naqib mempunyai anak dua: Muhammad dan Abdullah (Al-Raud al-ـaliy, Daar al-Fath, 1444 H. h. 120), adalah kutipan palsu tidak ada
dalam kitab Sirri Silsilat al-Alawiyyah.
(3)
Tahdzib al-Ansab
Kitab ini berjudul Tahdzib
al-Ansab Wa Nihayat al-Alqab karya
Abul hasan Muhammad bin Abi Ja‘far Syaikh al-Syaraf
al-‗Ubaidili (w.435 H.). Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Muhammad kadzim al-Mahmudi, tanpa penerbit tahun 1410
H.
Dalam kitab ini Al-Ubaidili hanya
menyebutkan satu anak dari Ahmad al-Abah bin Isa yaitu Muhammad. Dalam kitab
palsu Al-Raudl al-Jaliy yang
dinisbahkan kepada Murtadla al-Zabidi disebutkan bahwa: Syaikh Syaraf
Al-Ubaidili mengatakan bahwa Ahmad bin Isa al-Naqib berhijrah dari Madinah ke
Bashrah (h. 121), kutipan tersebut kutipan palsu tidak ditemukan dalam kitab Tahdzib al-Ansab ini.
(4)
Kitab Al-Majdi
Kitab ini bernama
Al-Majdi Fi Ansab al-Thalibiyyin,
karya Ali bin Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Alawi al-Umari (w.490 H.). Versi
cetakan kedua kitab ini di-tahqiq oleh
Ahmad alMahdawi al-Damigani, diterbitkan oleh ―Maktabah Ayatullah al‗Udzma
al-Mar‘asyi al-Najafi al‗Aammah‖ di Kota Najaf tahun 1422 H.
Dalam kitab ini Al-Umari
menjelaskan tentang keturunan Isa bin Muhammad al-Naqib ia menyebutkan bahwa
keturunan dari Ahmad al-Abah bin Isa ada di Bagdad yaitu dari Al-Hasan Abu
Muhammad al-Dallal Aladdauri bin Muhammad bin Ali bin
Muhammad bin Ahmad bin Isa (h. 337). Sama seperti Al-Ubaidili, AlUmari hanya
menyebutkan satu anak saja dari Ahmad al-Abah.
(5)
Al-Muntaqilat
al-Thalibiyyah
Kitab ini berjudul Muntaqilat
al-Thalibiyyah, karya Abu Ismail Ibrahim bin Nashir bin Thabathaba (w.>479
H.). cetakan pertama kitab ini ditahqiq oleh Muhammad Mahdi Hasan al-Khurasan,
dterbitkan oleh Mathba‘ah Al-Haidariyah tahun 1968 H.
Muntaqilah al-Thalibiyyin adalah sebuah kitab yang menerangkan
tentang daerah-daerah lokasi perpindahan para keturunan Abi Thalib. Dalam kitab
ini disebutkan bahwa keturunan Abi Thalib yang ada di Ramalah adalah Ali bin
Ahmad al-Naffath (h.146). Seperti diketahui bahwa keturunan Nabi juga sekaligus
adalah keturunan Abi Talib karena Siti Fatimah putri Nabi menikah dengan Ali bin
Abi Thalib .
Kemudian kitab
ini menyebutkan pula bahwa keturunan Abi Thalib di Kota Ray adalah Muhammad bin
Ahmad al-Naffat (h.160). Jadi, kitab ini menyebutkan dua anak dari Ahmad bin
Isa: Muhammad dan Ali. Keduanya tinggal di Ray dan Ramalah. Tidak disebut
diantara keturunan Ahmad bin Isa yang tinggal di Yaman.
(6)
Abna’ al-Imam Fi
Mishra Wa al-Syam
Kitab ini bernama Abna‟ al-Imam Fi Mishra Wa al-Syam alHasan Wa al-Husain. Kitab ini
adalah kitab palsu yang dinisbahkan kepada Abu al-Mu‘ammar Yahya bin Thabathaba
(w. 478 H.). kitab versi cetak kitab ini di-tahqiq
oleh Yusuf Jamalullail Ba‘alwi; diterbitkan oleh ―Maktabah Jull al-Ma‘rifah‖
dan ―Maktabah AlTaubat‖ tahun 2004 M.
Kitab ini palsu dan tidak bisa
dijadikan pegangan karena di karang oleh pengarang yang berasal dari keluarga
Thabathaba yang wafat tahun 199 H. Tetapi menyebut nama Abdullah atau Ubaidillah
sebagai anak Ahmad bin Isa yang wafat tahun 383 H.. Bagaimana seseorang yang
telah wafat di tahun 199 H. bisa mencatat Ubaidillah yang wafat tahun 383 H.?
untuk menjawab pertanyaan itulah kemudian kitab itu diatribusikan kepada
keluarga Thabathaba yang lain yaitu Abul Mu‘ammar Yahya yang wafat tahun 478 H.
seperti yang ditulis dalam jilid kitab tersebut.
Tetapi perhatikan ibarat kitab Abna‟ al-Imam dalam mukaddimah, ia masih
mencantumkan tahun 199 H. sebagai tahun wafat pengarang kitab tersebut, lihat
tangkapan layar di bawah ini:
Keluarga Thabathaba yang wafat di
tahun 199 H. adalah Muhammad bin Ibrahim Thabathaba [Al-Kamil fi al-Tarikh 5/464] bukan Abul Mu‘ammar Yahya bin
Thabathaba, karena ia wafat tahun 478 H. Yusuf Jamalullail Ba‘alwi juga
mengakui bahwa kitab ini tidak murni tulisan Abul Mu‘ammar, tetapi isinya telah
ditambahi oleh tiga ulama di abad 12 dan 13 Hijriyah, mereka adalah: Abi
Shadaqah alHalabi (w. 1180 H.), Abul Aun Muhammad al-Safarini (w.1188 H.) dan
Muhammad bin Nashar Ibrahim Al-Maqdisi (w.1350 H.). Jadi, kitab ini adalah
kitab yang sangat problematis dan tidak konsisten. Ia tidak bisa disebut
tulisan ulama abad ke-2 atau abad ke-5 karena isinya telah ditambahi oleh para
ulama abad ke-12 dan ke-14 Hijriyah, bahkan patut diduga yang menyebut nama
Abdullah atau Ubaidillah itu adalah Yusuf Jamalullail sendiri.
(7) Al-Syajarah
al-Mubarakah
Kitab ini bernama Al-syajarah al-Mubarakah Fi Ansab
alThalibiyah, karya Imam Fakhruddin al-Razi (w.606 H.). Kitab cetakan kedua
di-tahqiq oleh Mahdi al- Raja‘I;
diterbitkan oleh ―Maktabah Ayatullah Udzma al-Mar‘asyi al-Najafi‖ tahun 1419
H.
Imam
Al-Fakhrurazi tegas menyebutkan bahwa Ahmad al-Abh bin Isa hanya mempunyai
keturunan dari tiga anak yaitu Muhammad di Kota Ray, Ali di Ramalah dan Husain
di Naisabur. Ahmad al-Abh tidak mempunyai anak bernama Ubaidillah (h.127). Dari
ketiga anaknya itu, semuanya, menurut Imam al-fakhrurazi, tidak ada yang
tinggal di Yaman. Disebutkan pula bahwa keturunan Ahmad bin Isa sebagian
berpindah dari Kota Qum ke Kota Ray.
Ketika menyebut
keturunan Ahmad bin Isa berasal hanya dari tiga anak, Imam al-Razi menggunakan
kalimat dengan ―Jumlah Ismiyyah‖. Dalam kaidah ilmu nasab, jika seorang penulis
kitab menggunakan ―Jumlah Ismiyah‖ maka itu menunjukan makna hashr (terbatas hanya) [lihat Umdat
al-Thalib, h. 340].
Manuskrip kitab Al-Sayajarah al-Mubarakah terdapat di
Perpustakaan Masjid Sultan Ahmad al-Tsalits di Istanbul dengan nomor 2677.
Naskah ini ditulis oleh Wahid bin Syamsuddin tahun 825 H. berdasarkan naskah
asli yang ditandatangani oleh Imam Fakhruddin al-Razi yang selesai menulis
tahun 597 H. Nama kitab dan Penisbatan kitab ini jelas tercatat rapih di akhir
kitab: bahwa kitab ini bernama kitab Al-Syajarah
al-Mubarakah salinannya disahkan oleh Muhammad bin Umar bin Husain al-Razi
(pengarang kitab), kemudian Imam Al-Razi menulis bahwa ia telah membacakan
kitab ini dihadapan Ali bin Syaraf Syah bin Abil Ma‘ali dan ia memberikan
ijajah untuknya.
Di bawah ini bentuk manuskrip tulisan tangan
kitab AlSyajarah al-Mubarakah salinan
Wahid bin Syamsuddin dan halaman terakhir versi cetakan kedua:
(8)
Kitab al-Fakhri
Fi Ansab al-Thalibiyyin
Kitab ini bernama Al-Fakhri
Fi Ansab al-Thalibiyyin karya
Azizuddin Abu Tolib Ismail bin Husain bin Ahmad
al-Marwazi alAzwarqani (w. 614). Cetakan pertama di-tahqiq oleh Mahdi al-Raja‘I; diterbitkan oleh Penerbit ―Maktabah
Ayatullah al-Udzma al-Mar‘asyi al-Najafi‖ di Kota Najaf, Iran tahun 1409 H.
Menyebutkan yang sama seperti kitab Al-Majdi,
yaitu hanya menyebutkan satu jalur keturunan Ahmad bin Isa yaitu dari jalur
Muhammad bin Ahmad bin Isa. dilihat dari redaksinya yang mirip, agaknya kitab
ini hanya mengutip dari kitab Al-Majdi.
(9)
Kitab Al-Ashili Fi Ansab
al-Thalibiyyin
Kitab ini bernama Al-Ashili fi Ansab al-Thalibiyyin karya
Shofiyuddin Muhammad Ibn al-Thaqtaqi al-Hasani (w. 709 H). kitab versi cetakan pertama
di-tahqiq oleh Mahdi al-raja‘I;
diterbitkan oleh penerbit ―Makatabah Ayatullah al-Udzma al-Mar‘asyi al-Najafi‖
tahun 1417. Dalam kitab ini disebutkan satu sampel jalur keturunan Ahmad bin
Isa yaitu melalui anaknya yang bernama Muhammad bin Isa.
(10)
Kitab Al-Tsabat
al Mushan
Kitab ini bernama Al-Tsabat
al-Mushan al-Musrif Bi Dzikr
Sulalat Walad
Adnan, karya Ibnul A‘raj al-Husaini (w.787 H.). Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Khalil bin Ibrahim bin
Khalaf al-Dailami al-Zabidi; diterbitkan oleh ―Maktabah Ulum al-Nasab‖,
BagdadLondon tahun 1988 M.
Disebutkan dalam kitab ini bahwa
sebagian dari keturunan Ahmad al-Abah adalah Abu Muhammad Al-Hasan al-Dallal di
Bagdad yang dilihat oleh Al-Umari pengarang kitab Al-Majdi. Ia adalah putra dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Isa (h.83). Jadi, kitab ini hanya menyebut satu anak dari tiga anak
Ahmad bin Isa yang disebut oleh Al-Syajarah
al-Mubarakah. Nampaknya kitab ini menjadikan Al-Majdi sebegai referensinya.
(11)
Kitab Umdat al
Thalib al-Shugra
Kitab ini bernama Umdat al-Thalib al-Shugra Fi Nasab Al Abi
Thalib, karya Jamaluddin Ahmad bin Ali al-Hasani al-Dawudi yang popular
dengan nama Ibnu Inabah (w.828 H.). Versi cetak kitab ini ditahqiq oleh Mahdi
al-Raja‘I; diterbitkan oleh ―Maktabah Ayatullah al-Udzma al-Mar‘asyi‖, Kota
Najaf tahun 1430 H. dalam kitab ini disebut Ahmad Al-Abah bin Isa mempunyai
keturunan tetapi tidak disebutkan nama-nama keturunannya (h.135-136).
(12)
Umdat al-Thalib
Fi Ansab Al-Abi Thalib
Kitab ini
bernama Umdat al-Thalib Fi Ansab Al-Abi
Thalib karya Jamaluddin Ahmad bin Ali al-Hasani al-Dawudi yang popular
dengan nama Ibnu Inabah (w.828 H.). kemungkinan besar kitab sebelumnya, Umdat al-Thalib Shugra, merupakan mukhtashar (ringkasan) dari kitab ini.
kitab ini sering disebut juga Umdat
alThalib Wushtha atau Kubra.
Versi cetak kitab ini ditahqiq
oleh Muhammad Hasan Alu al-
Thalifani, diterbitkan oleh ―Maktabah Al-Haidarah‖,
Kota Najaf; cetakan kedua tahun 1961 M. Dalam kitab ini disebutkan keturunan
Ahmad bin Isa yaitu Ahmad al-Ataj bin Abi Muhammad al-Hasan alDallal bin
Muhammad bin Ali bin Muhmmad bin Ahmad bin Isa
(h.245).
Kemudian versi cetak tahun 1961 ini dicetak ulang oleh
―Markaz Tahqiqat al-Kombuter Ulum al-Islami‖ tanpa tahun
dengan isi yang sama dan jumlah halaman berbeda dengan tampilan sebagai
berikut:
(13) Kitab Al-Nafhah al-Anbariyyah
Kitab ini bernama Al-Nafhah al-Anbariyah Fi Ansab Khair
albariyyah karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh bin Sulaiman alYamani
al-Musawi (w. 880). Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh
Mahdi al-Raja‘I; diterbitkan oleh ―Maktabah Ayatullah
al-Udzma alMar‘asyi‖ di Kota Najaf tahun 1411 H.
Kitab inilah kitab nasab yang
pertama kali menyebutkan bahwa Ahmad bin Isa bin Muhammad al-Naqib mempunyai
anak bernama Abdullah dan bahwa ia berhijrah ke Hadramaut (h. 52-53). Sejak
kematian Ahmad bin Isa di tahun 345 Hijriyah telah berjalan 535 tahun sampai
kitab ini ditulis baru ada berita dari kitab nasab bahwa Ahmad bin Isa
mempunyai anak bernama Abdullah dan bahwa ia berhijrah dari Bashrah ke
Hadramaut. Kitab ini menyebutkan bahwa Sayyid Abil Jadid (w.620 H.) adalah
keturunan Abdullah tersebut.
Kitab ini sama sekali tidak mengaitkan
keluarga Abdurrahman Assegaf sebagai bagian keluarga Abul Jadid. Kendati
demikian, kliam kitab ini bahwa Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abdullah
tidak mempunyai referensi dari satu pun kitab nasab sebelumnya. Dan klaim itu
tertolak oleh kitab nasab yang lebih tua yaitu Al-Syajarah alMubarakah (597 H.) yang menyatakan bahwa keturunan
Ahmad bin Isa hanya dari tiga anak laki-lakinya yaitu: Muhammad, Ali dan
Husain. Kutipan dari kitab Al-Nafhah
tersebut seperti di bawah ini:
Nampaknya kitab Al-Nafhah ini mengambil referensi dari
kitab sejarah di abad ke-8 yaitu kitab Al-Suluk
Fi Thabaqat al-Ulama Wa al-Muluk karya Al-Janadi (732 H.). di mana dalam
kitab itu disebut sejarah hidup seseorang yang bernama Syarif Abul Jadid yang
mempunyai silsilah dari Abdullah bin Ahmad bin Isa (Juz 2 h. 135)..
Menurut para
ahli nasab, kitab sejarah jika bertentangan dengan kitab nasab, maka yang harus
dijadikan patokan adalah kitab nasab. Dr. Abdurrahman bin Majid al-Qaraja dalam
kitabnya Al-Kafi al- Muntakhob
mengatakan: ولا
يقدم تْال على ما يثبتو النسابة خصوصا ان كانوا اقرب زمانً او مكانً
―(Sejarawan) tidak boleh
didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat
masanya atau tempatnya‖ (Al-Kafi al-
Muntakhab, h. 71). Dalam kitab Al-„Ibar karya Ibnu Khaldun dikatakan:
وكثتَا ما وقع للمؤرختُ وات١فسّرين وأئمّة النقل
من ات١غالط في اتٟكايَت والوقائع لاعتمادىم فيها على ت٣رد النقل غثا أو تٝينا ولم
يعرضوىا على أصوت٢ا ولا قاسوىا بأشباىها ولا سبروىا تٔعيار اتٟكمة والوقوف على
طبائع الكائنات وتٖكيم النظر والبصتَة في الأخبار فضلوا عن اتٟق وتًىوا في بيداء
الوىم والغلط
―Dan banyak para sejarawan, ahli tafsir dan para
imam-imam perawi terjadi kesalahan dalam hikayat-hikayat dan kejadiankejadian
karena mereka berpatokan dengan hanya mengutip tidak peduli yang rusak atau
yang baik. Mereka tidak memverifikasinya kepada sumbernya dan tidak mengukurnya
dengan serupanya dan tidak menelitinya dengan standar ilmu dan berdiri terhadap
kebiasaan alam semesta dan menguatkan pemikiran dan bashirah dalam berita-berita maka mereka tersesat dari kebenaran
dan bingung dalam lapangan dugaan dan kesalahan‖ (Al-Ibar, Al-Maktabah al Syamilah juz 1 h. 13).
Oleh karena itu Abul Jadid tertolak
bernasab kepada Ahmad bin Isa karena ia tersambung melalui Abdullah yang
namanya tidak dicatat sebagai anak Ahmad bin Isa dalam kitab Al-Syajarah Al-
Mubarakah
dan kitab-kitab nasab lainnya. Dimana dengan tegas AlSyajarah al-Mubarakah menyatakan bahwa keturunan Ahmad bin Isa
hanya dari tiga anak: Muhammad, Ali dan Husain.
(14) Kitab Shihah al-Akhbar
Kitab ini bernama Shihah al-Akhbar Fi Nasab al-Sadat
alFathimiyah al-Akhyar karya Abdullah Muhammad Sirajuddin bin
Abdullah al-Rifa‘I al-Makhzumi al-Washithi (w.885 H.).
Versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh
Arif Ahmad Abdul Ghani; diterbitkan oleh
―Daar al-Arab‖ dan ―Daar Noor Hauran‖ Kota Damaskus tahun
2014 M.
Dalam kitab ini disebutkan bahwa
Ahmad bin Isa mempunyai anak bernama Abul Qasim al-Abah al-Naffath dan Muhammad
Abil Hasan. Menurut kitab ini, Abul Qasim al-Abah al-Naffath mempunyai
keturunan di Bagdad. Selain di Bagdad ia juga, menurut informasi lemah („ala ma yuqaalu: berdasar yang dikatakan
orang), mempunyai keturunan di Yaman (h.122).

Kitab ini memasukan nama baru
untuk anak Ahmad bin Isa, yaitu Abul Qasim al-Abah. Agaknya penulis kitab ini
mendapat informasi yang salah tentang nama Abul Qasim Al-Abah al-Naffath, di
mana nama itu adalah tiga gelar milik Ahmad bin Isa bukan nama anaknya sesuai
kitab Al-Majdi (h.337). kemungkinan
besar ia membaca manuskrip kitab Al-Majdi
yang sudah terdistorsi karena usia kertas atau kesalahan penyalin. Perhatikan
kemiripan kitab ini dengan ibarat kitab Al-Majdi
berikut ini:
وأتٛد ابو القاسم الابح ات١عروف بالنفاط لانو
كان يتجر النفط لو بقية ببغداد من اتٟسن ابي محمد الدلال على الدور ببغداد رأيتو
مات بأخره ببغداد بن محمد بن علي بن محمد بن أتٛد بن عيسى بن محمد بن العريضي.
Kita juga akan lihat, kitab palsu Al-Raudl al-Jaliy ibaratnya mirip dengan
kitab Shihah ini. kemungkinan besar
kitab palsu AlRaudl al-Jaliy
mengkloning ibarat lalu memasukan nama Abdullah dan Ubaidillah.
(15) Bahr al-Ansab atau Al-Musyajjar al-Kasyaf
Kitab ini bernama Bahr al-Ansab atau disebut juga Musyajjar al-Kasyaf, karya Muhammad bin
Ahmad bin Amididin al-Najafi
(w.<900 H.). salah satu versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh Anas alKutbi al-Hasani;
diterbitkan oleh ―Al-Khazanah al-Kutbiyyah alHasaniyyah al-Khashah‖ tahun 1419
H. di Kota Madinah.
Di dalam kitab ini, nama-nama anak
Ahmad bin Isa ada lima yaitu: Muhammad, Ali, Al-Hasan/Al-Husain (tidak jelas)
Uraid, Ahmad dan Al-Ridlo.
Kitab ini mengkonfirmasi
kitab-kitab yang sebelumnya yaitu AlSyajarah
al-Mubarakah yang menyebut nama-nama anak yang berketurunan ada tiga orang
yaitu: Muhammad, Ali dan Husain. Sedangkan dua nama lainnya yaitu Ahmad dan
Al-Ridlo tidak dicatat oleh Al-Syajarah
al-Mubarakah karena tidak berketurunan. Muhammad dan Ali ditulis
keturunannya oleh kitab Muntaqilat
alThalibiyah, tetapi untuk Husain tidak dicatat karena “ikhtilath” (tercampur riwayat dengan keluarga Husain bin Ahmad
al-Sya‘rani (Al-Syajarah al-Mubarakah
h. 127). Dalam kitab Bahr al-Ansab ini pun, walau ditulis anaknya lima tetapi
yang ditulis berketurunan ada dua yaitu Muhammad dan Ali.
Yang menarik, dalam kitab ini pun
ada tambahan keterangan bahwa dalam sebuah salinan kitab Bahr al-Ansab yang disalin oleh Murtadla al-Zabidi ditambahkan satu
anak untuk Ahmad bin Isa yaitu Ubaidillah. Manuskrip salinan Murtadla al-Zabidi
tersebut terdapat di
―Daar al-Kutub al-Mishriyyah‖. Jadi, nama Ubadillah
walaupun ada dalam kitab Bahr al-Ansab ini, tetapi itu hanya susupan yang
dimasukan oleh Murtadla al-Zabidi pada salinan kitab yang ditulis awal abad 13
H.

Perhatikan musyajjar kitab Bahr al-Ansab
ini:
Untuk lebih menguatkan bahwa nama
Ubaidillah yang terdapat dalam kitab Bahr
al-Ansab adalah susupan abad ke-13 awal, berikut ini manuskrip tahun 1214
H. yang membedakan antara warna tulisan pengarang dan warna tulisan susupan.
Untuk tulisan asli pengarang Bahr
al-Ansab ditulis dengan tinta hitam, sedangkan tulisan susupan ditulis
dengan tinta merah. Nama Ubaidillah yang terdapat dalam mansukrip ini dicatat
dengan tinta merah sebagai tanda bahwa nama Ubaidillah itu hanya tulisan
susupan dan penyalinnya tidak menetapkan kesahihannya (lihat Tuhfat al-Azhar h.34), dan diberikan
keterangan dibawahnya ―Min khathi
Muhammad Murtadla” (dari tulisan Muhammad Murtadla (al-Zabidi). Perhatikan
manuskrip di bawah ini:
(16) Kitab Tuhfat al-Thalib
Kitab ini bernama Tuhfat al-Thalib Bima‟rifati Man Yantasibu Ila Abdillah Wa Abi Thalib
karya Muhammad bin Husain bin Abdullah al-Husaini al-Samarqandi al-Madani
(w.996 H.). Kitab versi cetak ditahqiq oleh Anis al-Kutbi al-Hasani;
diterbitkan oleh ―AlKhazanah al-Kutubiyyah al-Hasaniyyah al-Khashah‖ tahun 1418
H. di Kota Madinah.
Manuskrip kitab ini ditulis tahun
1895 M/1316 H. atau 129 tahun yang lalu oleh Muhammad Sa‘id bin Muhammad bin
Sulaiman tanpa menyebutkan dari sumber mana ia menyalin kitab yang
diatribusikan kepada ulama abad 10 H. itu. Kemungkinan besar ia menyalin dari
tulisan orang Tarim Yaman. Manuskrip Tuhfat
al-
Thalib
ditemukan di Tarim tepatnya di ―Maktabah Al-Husaini‖ dengan 77 halaman. Menurut
Muhaqqiq kitab ini, penulis kitab ini
mengambil referensi dari dua kitab yaitu dari kitab Umdat al-Thalib dan Bahrul
Ansab karya Ibnu Amididdin al-Najafi. Yang menarik, Muhaqqiq menyatakan selain dari dua kitab ini, penulisnya
berpegangan pada “Ta‟liqat Lathifah Gaer
Muhaqqaqah” (ta‘liqta‘liq kecil yang tidak bisa diverifikasi) [h.8].
Penulis kitab ini memasukan
keluarga Abdurrahman Assegaf (Ba‘alwi) sebagai keturunan Ahmad bin Isa
berdasarkan sebuah ta‟liq yang ia
temukan. Inilah kitab nasab pertama yang memasukan namanama keluarga
Abdurrahman Assegaf sebagai keturunan Ahmad bin
Isa. Ia mengaku memasukan keluarga Ba‘alwi sebagai
keturunan Ahmad bin Isa hanya dari sebuah ta‟liq
yang ia temukan.
Yang demikian itu menjelaskan
betapa lemahnya nasab Ba‘alwi untuk pertama kali masuk ke dalam kitab nasab,
yaitu hanya berdasarkan catatan kecil bukan berasal dari kitab nasab sebelumnya.
Untuk kemudian kitab-kitab nasab masa selanjutnya mengutip dari kitab Tuhfah ini tanpa memberi catatan
kelemahan itu. Dari situ mulailah mashur (Syuhrah
wa al-Istifadlah) marga Ba Alawi sebagai keturunan Ahmad bin Isa walau
dimulai dari penyambungan yang sangat lemah. Kelemahan itu dapat ditinjau dari
dua sisi: pertama kelemahan atribusi kepada Al-Samarqandi (w.996 H.). walau
diatribusikan kepada non Ba‘alwi tetapi sumber mansukrip ini berasal dari
Tarim; yang kedua kelemahan ia ditulis tanpa referensi kitab nasab sebelumnya.
Imam Nawawi dalam kitab Raudlat al-Thalibin mengatakan:
الِاسْتفَاضَةَ وَالشُّهْرةَ ب تَُْ العَامَّةِ
لَا وُثوقَ بِها، فَ قَدْ يكُونُ أصْلهَا التَّ لْبيسَ، وَأمَّا التَّ وات رُ فلَا
يفِيدُ العلْمَ إذا لَمْ يسْتندْ إلَى مَعْلوم تَ٤ْسُوسٍ
―Al-Istifadlah dan Al-Syuhrah
(popular) di kalangan awam tidak dapat dipercaya karena terkadang sumbernya
adalah ‗talbis‘ (Menutupi dan memutarbalikkan kebenaran). Adapaun Tawatur maka ia tidak bisa melahirkan
keyakinan jika tidak bersandar kepada sumber yang diyakini yang dapat
diindera‖.[3] Perhatikan ibarat kitab Tuhfat al-Thalib di bawah ini:

Kitab Tuhfat al-Thalib adalah kitab nasab pertama yang menyebut nama-nama
keluarga Ba‘alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa setelah 651 tahun dari mulai
wafatnya Ahmad bin Isa. penyebutan ini tanpa referensi sedikitpun, ia di ambil
oleh Al-Samarqandi dari sebuah ta‘liq (catatan kecil) kemudian ia msukan ke
dalam kitab ini. tidak bisa juga dikatakan bahwa kitab ini mengambil dari
referensi kitab Al-nafhah al-Anbariyah, karena yang disebutkan oleh kitab
AlNafhah adalah rangkaian keluarga Jadid yang juga menyusup kepada keluarga
Ahmad bin Isa. satu-satunya kitab nasab yang mencantumkan Jadid keturunan Ahmad
bin Isa hanya kitab Al-Nafhah tanpa referensi dari kitab nasab.
Yang paling menarik adalah, kedua
nasab ini mereka samasama mencangkok tetapi tidak saling koordinasi. Kitab Al-Nafhah ketika mencangkokan Jadid, ia
hanya menceritakan Jadid bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa; sementara
kitab Tuhfat al-Thalib hanya
menceritakan keluarga Alwi bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa. padahal
kedua keluarga ini sama sama mencangkokan diri kepada Ahmad bin Isa dari
―putra‖ nya yang bernama Abdullah. Seharusnya mereka berdua saling menguatkan
bahwa Jadid punya kakak Alwi atau sebaliknya. Tetapi yang demikian itu tidak
dilakukan. Hal itu adalah sebuah ciri signifikan bahwa kedua nasab itu hanya
mencangkok dari nasab Ahmad bin Isa. koordinasi sejarah itu akan berlangsung
pada waktu-waktu selanjutnya dalam kitab-kitab sejarah dan nasab karya ulama
Ba‘alwi dan circle-nya di masa belakangan.
(17) Kitab Tuhfat al-Azhar
Kitab ini bernama Tuhfat
al-Azhar wa Zilal al-Anhar Fi Nasab
Abna‟I
al-A‟immati al-Athhar, karya Dlamin bin Syadqam Al-Husaini al-Madani (w.
<1090 H.). Versi cetak kitab ini di-tahqiq
oleh Kamil
Salman al-Jamburi; diterbitkan oleh ―Markaz Nasyr Turats
alMakhtut‖ Teheran Iran tahun 1420 H. kitab ini terdiri dari jilid satu dan
jilid dua; jilid dua terdiri dari: jilid dua bagian satu dan jilid dua bagian
dua.
Dalam jilid dua bagian dua,
terdapat nama Alwi bin Abdullah di sebutkan sebagai keturunan Ahmad bin Isa.
kitab ini adalah kitab nasab yang kedua yang memuat nama Alwi sebagai keturunan
Ahmad bin Isa setelah kitab Tuhfat
al-Thalib (996 H.). Jadi, setelah 94 tahun, ada pengarang kitab yang
memasukan nama Alwi sebagai keturunan Ahmad bin Isa. Agaknya ia menjadikan
kitab Tuhfat al-Thalib sebagai
referensi.
Ia tidak tahu bahwa kitab Tuhfat al-Thalib ketika memasukan nama Alwi itu tidak berdasar
refernsi sebelumnya. Dalam kitab ini juga terbongkar penyusup ketiga kepada
keluarga Ahmad bin Isa. Penyusup itu adalah keluarga Ismail yang mencangkok
sebagai anak Abdullah. Perhatikan kitab Tuhfat
al-Azhar di bawah ini:
Dalam kitab Tuhfat al-Azhar ini dikatakan bahwa Abdullah mempunyai anak tiga:
Abdullah, Muhammad dan Ali. Yang aneh adalah dikatakan bahwa Abdullah mempunyai
anak Alwi dan Ismail.
Dalam catatan Ba‘alwi Abdullah
mempunyai anak tiga: Alwi, Bashri dan Jadid, tidak ada nama Ismail. Dan tidak
bisa dikatakan bahwa Ismail ini adalah nama lain dari Bashri, seperti dikatakan
bukubuku Ba‘alwi modern, karena nama keturunan Bashri yang dicatat dalam
literature Ba‘alwi awal seperti Al-Burqat
dan Al-Gurar, hanya Salim bin Bashri,
sementara dalam kitab Tuhfat al-Azhar
ini banyak ditulis keturunan Ismail dan tidak ada yang bernama Salim.
Dalam kitab Tuhfat al-Azhar ini dikatakan Ismail mempunyai anak tiga: Tahir,
Ahmad al-Murahhaj dan Hasan al-Barak. Tahir mempunyai anak Barkat, Barkat
mempunyai anak Husain, Husain mempunyai anak Musa, Musa mempunyai anak Husain.
Tidak ada nama Salim disebutkan.
Ini menunjukan bahwa Ismail yang
disebut kitab Tuhfat alAzhar ini
bukanlah Bashri. Ia adalah pecangkok lain kepada keluarga
Ahmad bin Isa melalui Abdullah. Perhatikan kitab Gurar al-Baha al-
Dlaui karya Khirid
Ba‘alwi (w.960 H.) di bawah ini yang menyebut bahwa keturunan Bashri hanya
bernama Salim:
Jelas sekali tidak ada nama Ismail
disebut kitab Al-Gurar sebagai alias
dari Bashri. Dan disebutkan bahwa keturunan Bashri yang dikenal hanya Salim,
sedangkan nama Salim ini tidak disebut kitab Tuhfat al-Azhar. Demikian pula kitab Ba‘alwi yang lain yaitu Al-Burqat al-Musyiqah (890 H.) tidak
memberikan alias bagi Bashri sebagai Ismail (h. 135).
Nama Jadid sama sekali tidak
disebut dalam kitab Tuhfat alAzhar
ini sebagai anak Abdullah. Hal itu menunjukan bahwa pengarang kitab ini sama
sekali tidak membaca kitab Al-Nafhah
alAnbariyah (880 H.) dan kitab Al-Suluk
(732 H.), di mana keluarga Abdurrahman Assegaf pertama kali mencantolkan diri
kepada Ahmad bin Isa karena melihat nasab Jadid di kitab Al-Suluk yang dicatat melalui Jadid bin Abdullah ―bin‖ Ahmad bin
Isa. Begitu pula kitab Alnafhah
al-Anbariyah mencatat nama Jadid sebagai anak Abdullah
―bin‖ Ahmad bin Isa itu kemungkinan besar karena melihat
kitab AlSuluk tersebut.
Kesimpulan dari semua itu adalah
kitab Tuhfat al-Azhar ini makin
membongkar betapa tidak konsistennya sebuah nasab cangkokan seperti nasab
Ba‘alwi yang sengaja dipabrikasi. Lihat perbedaannya dengan nama Muhammad dan
Ali bin Ahmad bin Isa yang tetap konsisten disebut sejak abad ke-5 sampai kitab
Tuhfat alAzhar ini.
(18) Kitab Al-Raudl al Jaliy
Kitab ini kitab palsu bernama Al-Raudl al-Jaliy Fi Nasab Bani „Alwi
dinisbahkan kepada Imam Muhammad Murtadla al-Zabidi
(w.1205 H.). kitab ini ada dua versi cetak: pertama
ditahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Ghani yang kedua oleh DR. Muhammad Abubakar
Abdullah Badzib. Versi cetak yang ditahqiq oleh Arif Ahmad Abdul Ghani berjudul
Al-Raudl al-Jaliy Fi Ansab Ali Ba‟alwi;
diterbitkan oleh Penerbit ―Daar Sa‘d al-Din‖ dan Penerbit ―Daar Kinan‖ tahun
2010. Sedangkan yang di-tahqiq oleh
Badzib berjudul Al Raudl al-
Jaliy Fi Nasab Bani
Alwi, diterbitkan oleh ―Daar al-Fath‖ tahun 2022.
Kitab ini disebut palsu karena,
Badzib, pen-tahqiq kitab Al raudul Jaliy dari Hadramaut,
mengatakan bahwa kemunculan kitab Al
Raudul Jaliy ini mencurigakan. Manuskrip kitab tersebut muncul berdasar
kronologi riwayat yang berakhir kepada sosok yang terbukti telah memalsukan
sebuah kitab. Sosok yang dimaksud adalah seseorang yang bernama Hasan Muhammad
Qasim (w. 1394 H.) yang berasal dari Mesir yang baru wafat 50 tahun yang lalu.
Menurut Badzib, Hasan Muhammad Qasim adalah tokoh pertama yang memunculkan
kitab Al Raud al Jaliy. Sebelumnya
tidak ada berita bahwa Syekh Murtada al Zabidi mempunyai sebuah kitab bernama
Al Raud al Jaliy (lihat Mukaddimah Kitab Al
Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 47).
Kronologi munculnya manuskrip kitab
Al-Raudl al-Jaliy tersebut, menurut
Badzib dalam mukaddimah cetakan kitab tersebut, berdasarkan pengakuan Alwi bin
Tahir al-Haddad (w.1962 M) yang memegang naskah itu: Hasan Muhammad Qasim
berteman dengan para Ba‘alwi yang tinggal di Mesir. Salah satu Ba‘alwi bernama
Ali bin Muhammad bin Yahya. Ali bin Yahya ini adalah murid dari Alwi bin Tahir.
Menurut Alwi bin Tahir, Ali bin Yahya tersebut kemudian mengirimkan kepadanya
sebuah salinan kitab Al-Raudul Jaliy
tulisan
Hasan Muhammad Qasim bertanggal 25 Sya‘ban 1352 H., menurutnya
lagi, naskah itu disalin dari salinan tahun 1196 H. tulisan Abdul Mu‘ti al
Wafa‘i. katanya lagi, Abdul Mu‘ti ini manyalin dari tulisan asli Syekh Murtada
al Zabidi. Katanya lagi, manuskrip karya Abdul Mu‘ti itu tersimpan di ―Maktabah
Sadat Al Wafaiyyah‖ di Mesir (lihat Al-
Raudl al- Jali h. 7).
Pertanyaannya: Benarkah salinan
asli tulisan Abdul Mu‘ti itu ada di ―Maktabah Sadat Al Wafaiyyah‖? Tidak ada.
silahkan di cek di perpustakaan ―Al- Wafaiyyah‖. Tidak ada manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy salinan abdul Mu‘ti.
Kitab Itu Jelas Palsu. Manuskripnya Palsu. Kitab Al-Raudlal-Jaliyi bukan tulisan Syekh Murtada Al Zabidi. Manuskrip
yang beredar sekarang berasal dari dua penyalin: pertama salinan Hasan Muhammad
Qasim tahun 1352 H; kedua salinan Tahir bin Alwi bin Tahir yang menyalin dari
Hasan Muhammad Qasim tersebut.
Lalu siapa Hasan Muhammad Qasim? Ia
adalah sosok yang telah terbukti menulis kitab “Akhbar al Zainabat” lalu disebut sebagai karya Al Ubadili al
‗Aqiqi (w. 277 H.) (lihat Al Raudl
al-Jaliy h. 48). Artinya ia menulis naskah palsu di zaman sekarang lalu
naskah itu diasosiasikan sebagai karangan ulama abad ke-3 H. Ba‘dzib
mencurigai, bahwa munculnya kitab Al-Raudl
al- Jaliy itu pun sama kejadiannya seperti kitab palsu “Akhbar al Zainabat” (lihat Al-Raudl
al-Jaliy cetakan Darul Fatah h. 48).
Hasan tinggal di Mesir berteman
dengan para Ba‘alwi yang tinggal di sana seperti Abdullah bin Ahmad bin Yahya
(w. 1414 H.) dan Ali bin Muhammad bin Yahya (w. 1409 H.) (lihat kitab Al Raudl al-Jali h. 8). Jadi jelas,
bahwa Hasan ini mempunyai benang merah ketika menulis kitab Al-Raudl al- Jaliy itu, yaitu adanya
interaksi antara dia dengan para Ba‘alwi di Mesir. Menurut penulis sangat patut
diduga bahwa kitab itu ditulis oleh Hasan Muhammad Qasim berdasarkan pesanan.
Lalu kenapa Ba‘dzib tetap mencetak
dan menerbitkan kitab itu, walaupun ia tahu bahwa kitab itu kemungkinan besar
adalah palsu? Badzib beralasan bahwa manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy dalam bentuk microfilm
telah beredar di masyarakat, bahkan telah ada yang mencetak pula tanpa ada
penjelasan kesalahan-kesalahan dan perkaraperkara yang tidak layak dinisbahkan
kepada Syekh Murtada al Zabidi (Al-Raudl
al-Jaliy h. 49). Dengan dicetak ulangnya kitab Al Raud alJaliy dengan disertai penjelasan kronologi kemunculan
manuskrip itu,
Badzib mengharapkan masyarakat menyadari bahwa kitab Al-Raud alJaliy ini penisbatannya kepada
Syekh Murtada al Zabidi adalah
“gairu maqtu”
(tidak dapat diputuskan final) ia bersifat “muhtamilah”
(kemungkinan) saja (Al-Raud al-Jali
h. 49).
Penulis memahami kenapa Ba‘dzib
berbasa-basi bahwa masih ada kemungkinan kitab itu dinisbahkan kepada Syekh
Murtada al Zabidi beserta banyaknya “qarinah”
(tanda-tanda kuat) yang menyimpulkan bahwa kitab itu bukan tulisan Syekh
Murtada al Zabidi, mengingat kedekatan Badzib dengan para tokoh-tokoh Ba‘alwi.
Bagi penulis, kitab itu jelas palsu dan bukan karya Murtada al Zabidi, ia
adalah tulisan Hasan bin Muhamad Qasim sendiri. Seperti dulu ia mengarang kitab “Akhbar al-Zainabat” lalu dikatakan
kitab itu karya Al Ubaidili al Aqiqi, kitab Al-Raud
al-Jali ini pun sama, ia mengarangnya lalu dikatakan ia karya Syekh Murtada
al Zabidi.
Untuk membuktikan kesimpulan
penulis itu benar atau salah sangat mudah: datangkan mansukrip yang katanya
ditulis oleh Abdul
Mu‘ti tahun 1196 H. yang dikatakan oleh Hasan Muhammad Qasim
terdapat di Maktabah ―Al Wafaiyyah‖ dan bahwa ia menyalinnya dari salinan itu.
Penulis yakin seyakin yakinnya bahwa salinan itu tidak pernah ada.
KESIMPULAN
Dari 18 buah kitab nasab yang
berjejer dari abad ke 3-13 Hijriyah awal, hanya kitab Tuhfat al-Thalib (996 H.) dan kitab Tuhfat al-Azhar (1090 H.) yang menyebut nasab keluarga Ba‘alwi
tersambung kepada Ahmad bin Isa. Itupun bukan berdasar referensi yang valid
tetapi hanya berdasar catatan “Ta‟liq
Majhul” (cataan yang tidak jelas di ambil dari mana). Sedangkan kitab Abna al-Imam dan kitab Al-Raudl al-jaliy kita abaikan karena
keduanya terindikasi kuat sebagai kitab palsu.
Jadi, nasab Ba‘alwi baru tercatat
dalam kitab nasab setelah 651 tahun sejak wafatnya Ahmad bin Isa. Nanti kita
akan mengetahui bahwa kitab pertama dari selain kitab nasab yang menyebut nama
Alwi bin Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai keturunan Ahmad bin Isa atau
keturunan Rasullulah adalah kitab tasawuf yang dikarang oleh
Ba‘alwi sendiri yaitu kitab Al-Burqat al-Musyiqat tahun 895 H. jadi, mereka sekarang dikenal
sebagai keturunan Nabi bukan berasal dari kesaksian para ahli nasab, tetapi
dimulai dari pengakuan mereka sendiri, kemudian ada pengarang kitab nasab yang
sembrono, yaitu penulis kitab Tuhfat
al-Thalib, yang memasukan ke dalam kitabnya. Walaupun ketika ia memasukan
itu diberikan keterangan bahwa nasab
Ba‘alwi ini bukan diambil dari kitab nasab tetapi hanya dari
sebuah catatan ta‘liq.
Dari sini benarlah ucapan Imam
Nawawi dalam kitab Raudat alThalibin bahwa
Syuhrah wa al-Istifadlah yang terjadi
diantara orang awam tidak dapat dipercaya karena sering terjadi bahwa permulaan
dari istifadlah itu adalah penipuan.
Berita mutawatir pun tidak berfaidah
terhadap ilmu jika tidak bersandar kepada sumber pengetahuan yang dapat
diindera.
ا لِاسْتفَاضَةَ وَالشُّهْرةَ ب تَُْ العَامَّةِ
لَا وُثوقَ بِها، فَ قَدْ يكُونُ أصْلهَا التَّ لْبيسَ، وَأَمَّا التَّ وات رُ
فلَا يفِيدُ العلْمَ إذا لَمْ يسْتندْ إلَى مَعْلوم تَ٤ْسُوسٍ
―Al-Istifadlah dan Al-Syuhrah (popular) di kalangan
awam tidak dapat dipercaya karena terkadang sumbernya adalah ‗talbis‘ (Menutupi
dan memutarbalikkan kebenaran). Adapaun Tawatur
maka ia tidak bisa melahirkan keyakinan jika tidak bersandar kepada sumber yang
diyakini yang dapat diindera.‖[4]
Kitab-Kitab Yang Mampu Didapatkan Ba’alwi (Untuk Membela Nasabnya)
Perhatikan tulisan Hanif dkk dalam
buku Keabsahan Nasab Ba‘alwi itu, mereka hanya mampu mendapatkan kitab nasab
yang menyebut nama Abdullah pada abad ke-9 H. sebelumnya tidak ada. karena
memang nasab Ba‘alwi ini dipabrikasi abad ke-9 tersebut.
Kitab-kitab nasab itu adalah: Al- Nafhah al-Anbariyah (880 H.),
Tuhfat
al-Thalib (996 H.), Tuhfat al-Azhar
(1090 H.), Raudlat al-AlAlbab bi Ma‟rifat
al-Ansab (abad 11 H.), Al-Raudl
al-Jaly (1205 H.),
Al-Isyraf ala Ba‟di Man bi faas Min Masyahir
al-Anfas (1273 H.), AlMu‟qibun
(masa kini).
Lihat bagaimana setelah dua tahun
mencari, kaum Ba‘alwi hanya mendapatkan kitab yang mentok di kitab Al-Nafhah
alAnbariyah abad ke-9. Bagaimana nasab Ahmad bin Isa yang wafat di tahun 345 H.
diitsbat oleh kitab yang ditulis 543 tahun setelah wafatnya. Para ahli nasab
menolak hal seperti itu sebagaimana dalam Kitab Ushulu „Ilmi al Nasab wa al-Mufadlalah Bain al-Ansab karya
Al-Nassabah Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani dikatakan: ولا
يدكننا اتٟديث عن النسب القدنً بناءاً على ما ورد في الكتب اتٟديثة ات١ستندة إلى كلام غتَ منطقى أو على
الذاكرة الشعبية
فقط،
―Dan tidak mungkin kita berbicara nasab terdahulu berdasar
apa yang terdapat dalam kitab baru dengan bersandar kepada pendapat yang tidak
logis atau berdasar memori bangsa saja‖[1]
Karena ketiadaan para ahli nasab
yang memverfikasi kebenaran sosok Ubaid/Ubaidillah/Abdullah sebagai anak Ahmad bin
Isa maka nasab Ba‘alwi jelas nasab palsu yang diciptakan pada abad ke-9 H.
Begitu pula nasab Syarif Abil Jadid, nasab itu batal karena diciptakan pada
abad ke-8 H. kedua nasab ini mencangkokan diri kepada nasab Ahmad bin Isa; yang
pertama mencangkok adalah Syarif Abul Jadid kemudian keluarga Abdurrahman
Assegaf Ba‘alwi mencangkok nasab Syarif Abul Jadid ini di abad ke-9 H.
Untuk lebih mengenal kitab-kitab
nasab yang dikutip Hanif Alatas, agar para pembaca memahami isi dan kronologi
pencangkokan ini, berikut penulis akan jelaskan satu per satu.
(1) Al-Nafhah Al-Anbariyah karya Muhammad Kadzim alYamani (w.880 H.)
Inilah kitab nasab yang paling tua
yang mampu didapatkan Ba‘alwi, yaitu kitab Al-Nafhah al-Anbariyah karya
Muhammad Kadzim al-yamani yang wafat 880 H.
Nama Ubaid atau Ubaidillah (nama
leluhur Ba‘alwi yang dicatat internal) belum muncul di akhir abad Sembilan,
tetapi ada nama baru yang disebutkan oleh kitab Al-Nafhah al-Anbariyah
karya Muhammad Kadzim bin Abil Futuh al-Yamani al-Musawi (w. 880) nama itu
adalah Abdullah bin Ahmad. Dari situ kita melihat bahwa nama Abdullah ada
keterputusan selama 543 tahun dihitung dari wafatnya Ahmad bin Isa tahun 345 H.
nama Abdullah ini kemudian di cangkok oleh keluarga Abdurrahman assegaf pada
abad ke-9 dan resmi dicantumkan dalam kitab nasab Tuhfat al-Thalib (996 H.)
Kutipan lengkap dari kita Al-Nafhah
adalah sebagai berikut:
فهاجر الى الرس فأولد عيسى ومن ولد عيسى السيد
اتٛد ات١نتقل الى حضرموت. فمن ولده ىناك السيد ابي اتٞديد بفتح اتٞيم وكسر الدال
ات١هملة وسكون الياء ات١ثناة من تٖت وبعدىا دال القادم الى عدن في ايَم ات١سعود بن
طغتكتُ بفتح الطاء ات١هملة وسكون الغتُ ات١عجمة وفتح التاء ات١ثناة من فوق ونون
بعد الياء ات١ثناة من تٖت والكاف ات١كسورة ابن ايوب بن شاذي بفتح الشتُ وكسر الدال
ات١عجمتتُ سنة احدي عشرة وستمائة فتوحش ات١سعود منو لامرما فقبضو وجهزه الى ارض
ات٢ند ثم رجع الى حضرموت بعد وفاة ات١سعود. فمن ذريتو تٙة بنو ابي علوي وىو ابو
علوي بن ابي اتٞديد بن علي بن محمد بن اتٛد بن جديد بفتح اتٞيم وكسر الدال ات١هملة
وسكون الياء ات١ثناة من تٖت و دال اخرى بعدىا بن علي بن محمد بن جديد بن عبد الله
بن اتٛد بن عيسى ات١تقدم الذكر.
―Maka Muhammad an-Naqib berhijrah ke Kota Ros, maka
ia mempunyai anak Isa, dan sebagian dari anak Isa adalah Ahmad yang pindah ke Hadramaut.
Maka dari keturunannya di sana adalah Sayid Abul Jadid (dengan fatah jim,
kasrah dal yang tanpa titik, sukun ya yang bertitik dua di bawah, setelahnya
hurup dal) yang datang di Kota Aden di masa pemerintahan alMas‘ud bin Togtokin
(dengan fatah hurup tho yang tanpa titik, sukun ghain yang bertitik satu, fatah
ta yang bertitik dua di atas, nun setelah ya yang bertitik dua di bawah dan kaf
yang dikasrah) bin Ayub bin Syadi (dengan fatah syin, kasrah zdal yang bertitik
keduanya ) tahun 611, maka al-mas‘ud kemudian melakukan tindakan kasar kepada
al-Jadid karena suatu hal, maka ia menangkapnya dan menyiapkan pemindahannya ke
bumi India, kemudian ia kembali ke Hadramaut setelah wafatnya al-Mas‘ud. Maka
dari keturunan al-Jadid ini adalah Bani Abu Alawi, yaitu Abu Alawi bin Abul
Jadid bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Jadid bin Ali bin Muhammad bin Jadid
bin Abdullah bin Ahmad bin Isa yang telah disebutkan sebelumnya.[2]"
Dari kutipan di atas, penulis
kitab Al--Nafhah al-Anbariyah, Syekh
Muhammad Kadzim, ia sendirian tanpa referensi dari kitab nasab yang telah
disebutkan: pertama ia sendirian tentang pindahnya Ahmad bin Isa ke Hadramaut,
tidak ada ahli nasab bahkan ahli sejarah dalam kitabnya menyebutkan seperti
itu. Kedua ia sendirian tentang nama Abdullah sebagai anak Ahmad bin Isa, baru
muncul setelah 543 tahun setelah kematian ayahnya yaitu Ahmad bin Isa. Ketiga
ia sendirian tentang urutan nasab yang menyebut Bani Abi Alawi, urutan nasab
itu sama sekali tidak tercatat dalam kitab-kitab nasab sebelumnya.
Sedangkan, sebagaimana telah
penulis sebutkan bahwa menurut pakar ilmu nasab, kitab-kitab nasab masa kini
tidak bisa dijadikan pegangan untuk nasab masa lalu jika kitab-kitab nasab itu
bertentangan dengan kitab sebelumnya. Jadi, kitab Al-Nafhah ini tidak bisa
menjadi dalil dari nasab Abdullah sebagai anak Ahmad, karena kitab ini
bertentangan dengan kitab nasab abad ke-6 H. yaitu kitab AlSyajarah
al-Mubarakah yang menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad,
Ali dan Husain. Tidak ada anak bernama Abdullah.
Hal lain yang perlu diperhatikan
dari kitab Al-Nafhah adalah pendapat-pendapat para pakar tentang bahwa kitab
ini adalah kitab yang tidak bisa dijadikan rujukan. Dilihat dari segi isi yang
banyak ditulis tidak berdasar referensi, juga dari segi penulisnya yang bukan
ahli nasab. mari kita perhatikan para pakar nasab mengomentari kitab Al-nafhah ini: Pakar nasab Dr. Abdurrahman bin Majid al-Qaraja mengatakan:وأما صاحب النفحة العنبرية فللمرعشي النجفي
رسالة فيو موجودة في مقدمة كتاب النفحة اعتمد فيها على ما ورد في كتاب النفحة فبالتالي ليست حجة قوية وأن كان
ينتفع بها ،والغالب إنو يؤخذ من أىل اليمن حالو وقد تْثت على قدر استطاعتي فلم أجد
لو شيئا وقد تكون ىذه مادة لكم وللاخوة في اليمن للبحث.
Terjemah:
―Adapun penulis kitab Al-Nafhah al-Anbariyah maka
AlMar‘asyi al-najafi mempunyai Risalah tentangnya. Ia terdapat di mukaddimah
kitab Al-Nafhah. Aku bersandar darinya tentang apa isi kitab Al-Nafhah.
Selanjutnya kitab Al-nafhah bukanlah hujjah yang kuat walaupun masih bisa
diambil manfaat. Kebanyakan isinya diambil dari ahli Yaman. dan aku telah
meneliti sekemampuanku maka aku tidak menemukan sesuatupun tentangnya. Ini
adalah bahan bagi kalian dan saudara-saudara di Yaman untuk meneliti.‖[3]
والظاىر أن ات١ؤلف ما كان يراجع كتب الأنساب ،
بل كان يكتب عما في خاطره وذىنو من ات١علومات، وما كان يراجع
ات١صادر ات١عتبرة
Terjemah:
―Nampaknya, pengarang kitab ini (Al-Nafhah
al-Anbariyah) tidak merujuk kitab-kitab nasab, ia hanya menulis
informasiinformasi yang ada dalam benaknya dan hatinya. Ia tidak merujuk sumber-sumber
yang muktabar.‖[4]
Abu Muawiyah al-Bairuti mengatakan:
أشهد أن صاحب «النفحة» ليس من «رجال ىذه
المحافل، ولا من فرسان ىذه اتٞحافل، أما علم أن ات٠ارج عن لغتو تٟان، وأن
الداخل في غتَ فَ نو يفضحو الامتحان»
Terjemah:
―Saya bersaksi bahwa penulis ―Al-Nafhah‖ bukanlah
salah satu dari tokoh-tokoh di forum ini (ilmu nasab), atau dari para ksatria
golongan ini (Ahli nasab). Telah diketahui bahwa orang yang berujar di luar
bahasanya adalah sumbang, dan orang yang di luar kredensinya akan dipermalukan
oleh ujian.‖[5]
(2) Kitab Tuhfat
al-thalib Karya Ak-Samarqandi (w.996 H.)
Dalam kitab Tuhfatutholib Bima’rifati man
Yantasibu Ila Abdillah wa Abi Tholib, karya Sayid Muhammad bin
al-Husain asSamarqondi (w. 996) disebutkan seperti berikut:
واما اتٛد بن عيسى بن محمد بن العريضي فقال ابن
عنبة ابو محمد اتٟسن الدلال بن محمد بن علي بن محمد بن اتٛد بن عيسى الرومي من
ولده وسكت عن غتَه. قلت رايت في بعض التعاليق ما صورتو قال المحققون بهذا الفن من
اىل اليمن وحضرموت كالامام ابن تٝرة والامام اتٞندي والامام الفتوحي صاحب كتاب
التلخيص والامام حستُ بن عبد الرتٛن الاىدل والامام ابي اتٟب البرعي والامام فضل
بن محمد البرعي والامام محمد بن ابي بكر بن عباد الشامي والشيخ فضل الله بن عبد
الله الشجري والامام عبد الرتٛن بن حسان: خرج السيد الشريف بن عيسى ومعو ولده عبد
الله في تٚع من الاولاد والقرابات والاصحاب وات٠دم من البصرة والعراق الى حضرموت
واستقر مسكن ذريتو واستطال فيهم بتًنً تْضرموت بعد التنقل في البلدان والتغرب عن
الاوطان حكمة ات١لك ات١نان. فأولد عبد الله علويَ وعلوي اولد محمدا ومحمد اولد
علويَ وعلوي اولد عليا خالع قسم وعلي خالع قسم اولد محمد صاحب مرباط واولد محمد
صاحب مرباط علويَ وعليا فاما علوي فلو اربعة اولاد اتٛد ولو عقب وعبد الله ولا عقب
لو وعبد ات١الك وعقبو في ات٢ند وعبد الرتٛن ولو عقب. واما علي فلو الفقيو ات١قدم
محمد ولو عقب كثتَ
―Adapaun Ahmad bin Isa bin Muhammad bin (Ali) al
Uraidi maka Ibnu Anbah berkata: Abu Muhammad al-Hasan al-Dallal bin Muhammad
bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa arRumi adalah dari keturunan Ahmad bin
Isa, ia (Ibnu Anbah) diam tentang selain Abu Muhammad. Aku berkata (penulis
kitab Tuhafatutolib): Aku melihat
dalam sebagian ta‟liq (catatan
pinggir sebuah kitab ditulis oleh santri dipinggir kitab ketika mendengar
keterangan guru) tulisan yang bunyinya ―Telah berkata al-muhaqqiqun dari cabang
ilmu ini (nasab) dari ahli Yaman dan Hadramaut, seperti Imam Ibnu Samrah,
al-Imam al-
Jundi, al-Imam al-Futuhi yang mempunyai kitab
at-Talkhis, alImam Husain bin Abdurrahman al-Ahdal, al-Imam Abil Hubbi
al-Bur‘I, al-Imam Fadhol bin Muhammad al-Bur‘I, al-Imam Muhammad bin Abi Bakar
bin Ibad as-syami, Syekh Fadlullah bin Abdullah as-Syajari, dan al-Imam
Abdurrahman bin Hisan bahwa Sayid Syarif Ahmad bin Isa pergi bersama anaknya,
Abdullah, dalam rombongan para anak, kerabat, teman-teman, para pembantu dari
Bashrah dan Iraq menuju Hadramaut setelah berpindah dari berbagai daerah dan
bersembunyi dari berbagai
Negara, sebagai hikmah Tuhan raja yang maha memberikan
anugrah. Maka kemudian Abdullah mempunyai anak bernama Alwi, dan Alwi mempunyai
anak bernama Muhammad, Muhammad mempunyai anak Alwi (lagi), Alwi mempunyai anak
Ali Khali‘ Qosam, Ali Kholi‘ Qosam mempunyai anak bernama Muhammad Shohib
Mirbath, dan Muhammad Shohib Mirbath mempunyai anak bernama Alwi dan Ali. Maka
adapun Alwi maka mempunyai empat anak: Ahmad dan ia berketurunan, Abdullah ia
tidak berketurunan, Abdul Malik keturunannya di India, dan Abdurrahman dan ia
berketurunan. Dan adapun Ali maka ia mempunyai anak al-Faqih al-Muqoddam
Muhammad dan ia mempunyai banyak keturunan.‖[6]
Dimunculkan pertama kali oleh Syekh
Muhammad kadzim dalam kitabnya an-Nafhah
al-Anbariyah di akhir abad kesembilan, nama Abdullah muncul kembali pada
abad ke sepuluh dalam kitab
Tuhfatuttolib
setelah 116 tahun kitab an-Nafhah di
tulis.
Untuk menyebutkan keturunan Ahmad
bin Isa, pertama penulis kitab Tuhfatuttolib
mengutip pendapat Ibnu Anbah dalam kitab Umdatuttolib,
dalam kitab umdah itu ditulis bahwa Ahmad bin Isa mempunyai keturunan dari
anaknya yang bernama Muhammad. Penulis tuhfatuttolib
memberi tambahan “wa sakata an gairihi”
artinya ―Dan Ibnu Anbah diam dari keturunan lainnya‖. Dari kalimat itu penulis Tuhfah ingin mengatakan bahwa ada nama
lain yang tidak disebutkan oleh Ibnu Anbah karena Ibnu Anbah tidak tegas
menyebutkan berapa jumlah anak Ahmad bin Isa. Lalu ia berkata ―bahwa aku
menemukan sebuah ta‟liq” yaitu
catatan santri pada sebuah kitab ketika mengaji dihadapan guru, dalam ta‟liq itu terdapat susunan garis
keturunan Ba alawi, lalu tanpa di kroscek kitab sebelumnya ta‟liq itu dimasukan dalam kitabnya. Dari situlah mulai mashurnya
marga Ba Alawi sebagai keturunan Ahmad bin Isa.
Penulis menduga bahwa penulis Tuhfah belum membaca atau tidak
mempunyai kitab as-Syajarah al-Mubarakah
yang ditulis Ar-razi abad ke enam yang menyebutkan bahwa anak Ahmad bin Isa
hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Apabila ia mempunyai kitab itu maka
mungkin ia tidak akan memasukan ta‟liq
itu ke dalam kitabnya, karena akan terasa ganjil apabila sebuah catatan
sepotong kertas kemudian berbeda dengan sebuah kitab nasab yang telah ditulis
390 tahun sebelumnya.
Tidak bisa juga dikatakan bahwa
kitab ini mengambil dari referensi kitab Al-nafhah al-Anbariyah, karena yang
disebutkan oleh kitab Al-Nafhah adalah rangkaian keluarga Jadid yang juga
menyusup kepada keluarga Ahmad bin Isa. satu-satunya kitab nasab yang
mencantumkan Jadid keturunan Ahmad bin Isa hanya kitab Al-Nafhah tanpa
referensi dari kitab nasab.
Yang paling menarik adalah, kedua
nasab ini mereka sama-sama mencangkok tetapi tidak saling koordinasi. Kitab Al-Nafhah ketika mencangkokan Jadid, ia
hanya menceritakan Jadid bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa; sementara
kitab Tuhfat al-Thalib hanya
menceritakan keluarga Alwi bin Abdullah "bin" Ahmad bin Isa. padahal
kedua keluarga ini sama sama mencangkokan diri kepada Ahmad bin Isa dari ―putra‖
nya yang bernama Abdullah. Seharusnya mereka berdua saling menguatkan bahwa
Jadid punya kakak Alwi atau sebaliknya. Tetapi yang demikian itu tidak
dilakukan. Hal itu adalah sebuah ciri signifikan bahwa kedua nasab itu hanya
mencangkok dari nasab Ahmad bin Isa. koordinasi sejarah itu akan berlangsung
pada waktu-waktu selanjutnya dalam kitab-kitab sejarah dan nasab karya ulama
Ba‘alwi dan circle-nya di masa belakangan.
Hanif Alatas dkk juga menyajikan
kitab Tufat al-Azhar yang membongkar kesemrawutan nasab internal Ba‘alwi
terutama tentang sosok Bashri yang disebut nama lain Ismail dan Jadid yang
tidak disebut kitab Tuhfat al-Azhar seperti yang sudah penulis sampaikan
sebelumnya. Hanif juga menyajikan kitab Raudlat al-Albab karya Abu Allamah
(abad ke-11 H.) dan kitab palsu Al-Raudl al Jaliy yang dikatakan sebagai karya
Imam Murtadla al-Zabidi (w.1205 H.) padahal kitab ini tulisan Hasan Muhammad
Qasim pada abad ke 14 Hijriyah. Kemudian Hanif dkk juga menyebut di nomor enam
bahwa Imam AlUbaidili (w. 435 H.) telah menyebut hijrahnya Ahmad bin Isa ke
Hadramaut, itu adalah kesaksian palsu, Imam Al-Ubaidili tidak pernah
menyebutkan hal demikian. Lihat dalam kitab Imam Al-Ubaidili yaitu Tahdzib
al-Ansab tidak ada keterangan bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut. Kemudian
kitab Al-Isyraf karya Abu Abdillah Muhammad al-Thalib al-Maradisi al-Fasi
(w.1273 H.) dan terakhir kitab Al-
Mu‘qibun karya Syekh Mahdi Raja‘I (masih hidup).
Kita lihat betapa lemahnya nasab
Abul jadid yang baru dicatat kitab nasab yang lemah yaitu Al-Nafhah yang
ditulis bukan oleh seorang ahli nasab muktabar yaitu Muhammad Kadzim (w.880
H.); dan nasab Ba‘alwi yang baru dicatat di abad ke-10 Hijriyah oleh kitab
Tuhfat al-Thalib (996 H.) yang penulisnya mengakui bahwa ia mencatatnya bukan berdasar
referensi kitab nasab tetapi hanya berdasarkan ta‘liq (catatan kecil). Dari
sana kita simpulkan bahwa nasab Ba‘alwi terputus selama 651 tahun.
Hanif Alatas dkk. juga menampilkan sepucuk surat itsbat dari
Mahdi
al-Raja‘I yang menyatakan nasab mereka sahih. Surat itsbat semacam itu, menurut
para ahli nasab tidak bermakna apa-apa jika nasab itu terbukti batal dalam
kitab-kitab nasab terdahulu. Sebagaimana yang demikian itu diungkapkan oleh
pakar nasab Khalil bin Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi ‗Ilm al-Ansab: لا عبرة
بكثرة التواقيع ان لم يكن النسب صحيحا فكثرة التواقيع لا يصحح خطأ والتوقيع حجة على من وقع لا حجة على
غتَه
Terjemah: ―Tidak dinilai banyaknya tandatangan jika
nasab itu tidak sahih. Maka banyaknya tandatangan tidak mensahihkan yang salah;
tandatangan itu hujjah bagi yang menandatangani bukan hujjah untuk yang
lainnya.‖[7]
[1]
Fuad bin Abduh bin Abil Gaits al jaizani, Ushulu
„Ilmi al Nasab wa al-
Mufadlalah
Bain al-Ansab, h. 77
[2] Muhammad Kadzim bin Abil
Futuh al-Yamani, Al-Nafhah alAnbariyah, h. 52-53
[3]
Abdurrahman al-Qaraja…h. 128
[4]
Mahdi al-Raja‟I, Fotnoot kitab Al-Nafhah al-Anbariyah h. 124
[5]
Abu Muawiyah al-Bairuti, Naqd Kitab al-Nafhah al-Anbariyah dalam
Arsip Multaqa Ahl Hadits-3, 150/419
[6]
Al-Samarqandi,
Tuhfatuttolib, Sayid Muhammad bin
al-Husain, h. 76-77
[7]
Khalil bin Ibrahim…h. 125
%20BA%E2%80%99ALWI%20BUNTU%20DI%20ABAD-9.jpg)
Posting Komentar untuk "PASAL KE-2: KH. Imadudin Al-Bantani Menjawab Soal: KITAB-KITAB YANG MENYEBUT (Nasab) BA’ALWI BUNTU DI ABAD-9"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...