Syarat Takwil Al-Quran dan Macam-macam Cara Takwil (PDF)

pengertian takwil ayat alquran menurut ushul fiqih
Takwil ialah mengalihkan makna ayat Al-Quran yang rajih untuk yang marjuh dengan adanya qarinah.

Oleh Siti Nadiratul K.

Al-Qur’an ialah rujukan syari’at Islam yang bersifat menyuluruh. Ia Adalah sumber dan rujukan yang ke-1 bagi syari’at, sebab di dalamnya Ada kaidah-kaidah yang bersifat global beserta rincianya.

Selaku kitab suci yang di turunkan oleh Allah Swt. dengan lafadz dan sekaligus maknanya, ia diturunkan dalam bahasa Arab. Walaupun sebagian kecil kata-katanya tidak berasal dari bahasa arab, tapi telah dimasukkan dalam bahasa Arab. Sebab itu ulama ushul fiqih sudah berusaha dengan ikut lebih dalam mengenai hal lafadz yang ada di Al-Qur’an dengan memeriksa klasifikasi lafadz dan bermacam problematika pentakwilan maknanya.

Ta’wil sendiri ialah mengalihkan lafadz dari makna zhahirnya (makna rajih) untuk makna esoteris (makna marjuh) berdasar dalil (qarinah). Para ulama menjadikan adanya dalil selaku syarat Inti dalam melaksanakan ta’wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan Adalah ciri ta’wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil ialah ta’wil yang batil dan ikut hawa nafsu.

Menurut para ulama, ada bentuk dalil-dalil yang dipakai untuk merajihkan makna esoteris (makna marjuh) dari pada makna zhahir. Takwil tidak dapat dilaksanakan pada lafazh yang khafi (samar), sebab walaupun tersembunyi tapi maknanya terang.

Begitu juga pada lafazh musytarak, walaupun mempunyai banyak makna, tetapi maknanya dapat diketahui dengan adanya indikasi (qarinah) di luar lafadz, dan bukan mengalihkan lafadz dari maknanya yang kuat (rajih) untuk yang lemah (marjuh), bukan dengan pendekatan ushul fiqh tapi pendekatan bahasa:

  1. Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah; seperti firman Allah mengenai hal keharaman bangkai (haewan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah dalam QS. Al-Maidah: 3). Ayat ini menerangkan keharaman segala sesuatu dari bangkai, termasuk kulitnya. Akan tetapi ada hadits yang menyebutkan  bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda untuk para sahabat mengenai hal kambing milik Maimunah Radhiyallah ‘anha yang mati dan akan dibuang, “Kenapa Anda semua tidak mengambil kulitnya lalu Anda semua samak dan gunakan?”. Para sahabat menjawab, “Namun ini bangkai?”. Beliau menjawab, “Yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya”. Dalil dari hadits ini mengalihkan sebuah lafadz dari makna zhahirnya.

  2. Ijma’; seperti firman Allah dalam QS. al-Jumu’ah: 9, secara zhahir ayat ini berlaku untuk seluruh orang beriman baik laki-laki, wanita, orang yang merdeka, budak, maupun anak kecil. Tetapi ijma’ mengecualikan anak kecil yang belum baligh.

  3. Qiyas; di antara para ulama, ada yang mengharuskan wajib dengan qiyas jaliy, seperti qiyas budak laki-laki pada budak wanita dalam hal pembebasannya. Adapun qiyas fariq tidak berlaku.

  4. Hikmah Tasyri’ dan kaidah-kaidah dasar syari’at; seperti kewajiban zakat dari 4 puluh ekor kambing dengan 1 ekor. فِي كُلِّ أَرْبَعِينَ شَاةً شَاةٌ . Menurut ulama Syafi’iyah, membayar dengan seekor kambing sesuai dengan zhahir lafadz hadits dan tidak boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) sebab lafazznya terang, spesial, dan qath’i. Adapun menurut ulama Hanafiyah, boleh menggantinya dengan uang (ikhraj al-qiymah) sebab hikmah dari mengeluarkan zakat ialah mencukupi kebutuhan orang-orang faqir dan uang lebih berguna untuk mencukupi segala kebutuhan mereka serta lebih sesuai dengan keinginan syari’at.


Dalam kaitannya dengan problem makna, seorang mujtahid waktu akan mengalihkan lafadz dari makna yang kuat untuk makna yang lemah wajib memperhatikan hal-hal berikut:
  1. Makna lughawi bahasa Arab, seperti kata shalat yang artinya doa, zakat yang artinya penyucian, dan shaum yang artinya menahan.

  2. Istilah-istilah syar’i; kata yang mempunyai pengertian spesial dalam syar’i, sehingga makna kata tersebut wajib dikembalikan untuk makna syar’i, bukan untuk makna lughawi (bahasa).

  3. Istilah dalam urf (kebiasaan), baik urf  yang bersifat umum seperti kata الدابة untuk makhluk yang berkaki 4 (melata) atau kata الغائط untuk kotoran, maupun urf  yang bersifat spesial seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya. 


Kecuali memperhatikan 3 hal di atas, dalam mengalihkan lafazh dari makna yang kuat untuk makna yang lemah juga wajib mengembalikan untuk makna yang dekat atau berdasar dalil. Dalam hal ini, ada 3 macam pengalihan lafazh dari makna zhahirnya:
  1. Mengalihkan untuk yang terdekat. Seperti lafazh إذا قمتم إلى الصلاة dalam QS. Al-Maidah: 6, kata القيام dalam ayat ini dita’wilkan (diartikan) waktu hendak dan ingin melakukan shalat.

  2. Mengalihkan untuk yang jauh. Hal ini tidak boleh dilaksanakan kecuali ada dalil shahih yang menguatkan bahwa yang dimaksud dari lafadz tersebut ialah makna yang jauh. Seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk Ghailan Ath-Thaqafi waktu masuk Islam dan masih mempunyai sepuluh orang istri, ” أمسك أربعًا و فارق سائرهن (Pilihlah 4 dari mereka dan ceraikanlah sisanya). Ulama Hanafiah menta’wilkan hadits ini dengan perintah untuk menikahi 4 orang perempuan tersebut dengan akad baru sebab mereka membedakan perkawinan kafir dan Islam. Pandangan ini ditentang oleh ulama lain yang berpendapat bahwa tidak Penting mengulangi akad nikahnya dengan argumentasi Ghailan masih baru masuk Islam dan belum mengetahui hukum-hukum Islam, dan seandainya pandangan ke-1 benar, niscaya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menerangkan hal itu untuk Ghailan.

  3. Ta’wil batil yaitu mengalihkan untuk makna yang tidak terkandung dalam lafadz. Seperti ta’wil yang dilaksanakan oleh kubu Rafidhah kepada firman Allah أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ (…atau 2 orang yang berlainan agama dengan engkau...). Mereka menta’wilkan lafadz ini dengan selain kabilah Anda semua, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Hazm dalam Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam.



Syarat-Syarat Mentakwilkan



Para ulama sudah menaruh kaidah-kaidah ta’wil selaku berikut:
  1. Adanya pertentangan antara 2 dalil yang shahih, kalau salah satunya lemah maka yang diambil ialah yang shahih dan tidak ada ta’wil. Seperti antara QS. An-Nisa ayat 2 dan 6. Pada ayat yang ke-1, Allah memerintahkan untuk memberikan harta anak yatim (mutlak), yaitu orang yang ditinggal mati oleh bapaknya sebelum usia baligh. Akan tetapi makna ayat ini bertentangan dengan ayat yang ke-2 yang bermakna perintah untuk memberikan harta anak yatim waktu telah usia baligh. Maka, kata yatim pada ayat ke-1 wajib dita’wil dengan mengalihkan maknanya dari makna hakiki untuk makna majazi.

  2. Ta’wil tidak boleh menggugurkan nash syar’i lainnya, sebab ta’wil Adalah bagian metode ijtihad yang bersifat zhanni sedangkan nash yang bersifat zhanni tidak dapat mengalahkan nash yang bersifat qath’iy. Seperti QS. Al-Maidah: 6 ( وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ) lalu dibaca kasrah (أَرْجُلِكُمْ) oleh kalangan Syi’ah, mereka memilih kasrah bukan fathah dengan argumentasi athaf. Hal ini akan berimplikasi untuk pemahaman ayat, bolehnya (cukupnya) mengusap kaki dalam wudlu. Pemahaman ini akan berdampak buruk untuk 2 hal; ke-1, menggugurkan hadits-hadits shahih yang memerintahkan untuk membasuh kaki. Ke-2, lazimnya mengusap kaki cuma sebatas mata kaki. Sehingga pembatasan (qaid) pada mata kaki jadi tidak berguna. Padahal kerancuan makna dalam kalamullah mustahil terjadi.

  3. Lafadz yang ingin dita’wil ialah lafadz ambigu dan dapat dita’wil. Menurut kalangan Hanafiyah, lafazh yang ingin dita’wil wajib lafadz nash dan zhahir. Misalkan lafazhnya ialah lafadz umum yang dapat dikhususkan (ditakhshish), atau lafazh mutlak yang dapat diberi batasan (taqyid), atau lafadz bermakna hakiki yang dapat diartikan secara metaforis (majazi), dan sebagainya. Maka, kalau ta’wil dilaksanakan pada nash spesial (bukan nash umum), tidak diterima.

  4. Ta’wil (mengalihkan lafazh dari makna zhahir untuk makna batin) wajib berdasar pada dalil yang shahih dan dalil makna batin wajib lebih kuat dari pada makna zhahir. Misalkan mengkhususkan nash umum berdasar dalil pengkhusus (takhshish), atau memberikan batasan (taqyid) pada nash mutlak berdasar dalil yang memberikan batasan (mentaqyid). Maka, ta’wil yang tanpa dalil, atau dengan dalil tapi dalilnya lemah (marjuh), atau sederajat kekuatannya (musawi) dengan lafadz yang dita’wil, tidak diterima.

  5. Orang yang hendak melaksanakan ta’wil, haruslah berkualifikasi mujtahid yang mempunyai bekal ilmu-ilmu bahasa Arab dan ilmu-ilmu syar’i. Orang yang tidak mempunyai kualifikasi tersebut dicegah melakukannya sebab akan terjatuh pada perbuatan yang dicegah yaitu mengucapkan sesuatu tanpa ilmu.

  6. Ta’wil yang dihasilkan wajib sesuai dengan makna bahasa Arab, makna syar’i, atau makna urf (kebiasaan orang Arab). Misalnya, menakwil quru` (QS. Al-Baqarah: 228) dengan arti haid atau suci ialah ta’wil sahih, sebab sesuai dengan makna bahasa Arab untuk quru'. Ta’wil yang tidak sesuai makna bahasa, syar’i, atau urf, tidak diterima.

  7. Kalau ta’wil dengan qiyas, maka hendaknya mempergunakan qiyas jaliy menurut ulama Syafi’iyah. Bagi mereka, dalam qiyas jaliy sudah diketahui secara pasti bahwa tidak ada sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara hamba sahaya laki-laki (al-‘abd) dengan hamba sahaya wanita (al-amah) dalam hukum perbudakan. Adapun qiyas khafiy, masih Sangkaan bukan keyakinan dalam hal tidak adanya sisi perbedaan (i’tibar al-fariq) antara far’ dan ashl, seperti qiyas antara anggur dengan khamr waktu diminum dalam hitungan total.


Kecuali menetapkan aturan dalam menta’wil , para ulama juga menetapkan beberapa persyaratan bagi orang yang ingin melaksanakan ta’wil kepada ayat-ayat Al-Qur’an dengan kriteria yang cukup ketat, yang juga Adalah kriteria bagi seorang mujtahid dan mufassir:
  • Mempunyai ilmu mengenai hal Al-Qur’an. Yaitu mengetahui dan menguasai ayat-ayat Al-Qur’an khususnya ayat-ayat hukum dan tidak disyaratkan wajib menghafalnya.

  • Mempunyai ilmu mengenai hal As-Sunnah, yaitu mengetahui dan menguasai hadits-hadits hukum dan sanggup menyebutkanya, serta membedakanya mana yang shahih dan mana yang dhaif, mengetahui ijma' dan perbedaan-perbedaan pandangan para ulama.

  • Menguasai ilmu ushul fiqh selaku modal ijtihad.

  • Menguasai bahasa Arab dengan baik dan mengetahui makna-makna dari tiap-tiap katanya, sebab ta’wil-ta’wil batil. sebagian besar orang ajam tidak menguasai bahasa Arab dan mengetahui maqashid syari’ah dengan baik.


Macam-Macam Syarat Menakwilkan
Lafaz yang ditakwil, wajib betul-betul memenuhi kriteria dan masuk dalam kajiannya. Dalil-dalil yang sudah ditafsirkan dan ditetapkan ketentuan hukumnya tidak dapat ditakwil. Akan tetapi menurut Hanafiyah, takwil itu boleh sekalipun pada nash yang zhahir dan seluruh dalil yang berhubungan dengan syariat Islam.
  1. Takwil itu wajib berdasar dalil sahih yang dapat menguatkan takwil. Misalnya, dengan mentakhsis yang amm. Dan takwil macam inilah yang paling banyak dilaksanakan.

  2. Lafadz  menekan arti yang dihasilkan melalui takwil menurut bahasa. Misalnya, mentaqyid yang mutlaq dengan muqayyad. Ketila sunnah mentaqyid wasiat yang ada dalam Al-Qur’an dengan sepertiga.

  3. Takwil tidak boleh bertentangan dengan nash yang qath’i, sebab nash tersebut bagian dari aturan syara’ yang umum.


Takwil ialah  metode ijtihad yang bersifat zhanni, sedangkan zhanni tidak akan  kuat melawan yang qath’i. Contohnya  menakwilkan kisah-kisah yang ada dalam Al-Qur’an dengan merubah arti yang zahir jadi fiksi (yang tidak terjadi). Penakwilan seperti itu bertentangan dengan kejelasan ayat yang qath’i yang menjadikan cerita  tersebut selaku kejadian sejarah yang nyata.

Arti dari penakwilan nash  wajib lebih kuat dari zahir, yaitu dikuatkan dengan dalil selaku acuan dalam menentukan kekuatannya ialah sejauh mana kejelasan maksud syara’ dalam tiap-tiap dilalahnya.

Takwil itu terkadang tidak memerlukan dalil, tetapi dimungkinkan berdasar pada pemahaman yang dangkal, akal dan teks sesuatu. Takwil seperti itu dinamakan oleh ulama Ushul dengan istilah takwil qarib yang  cukup menggunakan dalil yang Terbawah.

Misalnya firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 6. Arti zahir dari ayat, yaitu "…apabila engkau hendak mengerjakan shalat, basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku…" ialah  mengharuskan berwudlu sesudah melakukan shalat.

Pemahaman seperti itu tentu saja bertentangan dengan syarat sahnya shalat yang mengharuskan berwudlu terlebih dahulu. Dan syarat itu wajib didahulukan, baik menurut akal ataupun syara’ supaya shalatnya sah.

Untuk itu, lafaz al-qiyamu dalam firman Allah ta’ala di atas wajib ditakwilkan. Lalu diubah dari artinya yang hakiki untuk artinya yang majazi yaitu al-‘ajmu (bermaksud) mendirikan, bukan mendirikan dengan sendirinya. Dengan seperti ini, arti ayat tersebut akan jadi sah dengan kalimat:


اذا عزمتم او اذا ارد تم



Itulah beberapa persyaratan takwil. Kalau persyaratan tersebut tidak terpenuhi, dinamakan takwil ba'id.
Kalau ada penyimpangan dari persyaratan tadi, maka takwil seperti itu tertolak dan masuk kategori takwil batil.

Akan tetapi, para ulama tak sama pandangan mengenai hal keberadaan takwil ba’id tersebut. Mereka tak sama pandangan dalam penetapannya. Ada yang berpendapat bahwa sebagian takwil itu ba’id, tetapi sebagian lagi menilai bahwa takwil seperti itu dikatakan qarib dan sahih.

Misalnya mengenai hal kifarat khuntsa (banci) waktu menabrak janji. Di dalam surah Al-Maidah ayat 89 disebutkan bahwa: "…maka kifarat (menabrak) janji itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin…".


Zahir nash mengumumkan wajib memberi makan dalam hitungan total yang spesial, yaitu sepuluh orang miskin. Sebab ‘adad ialah lafadz spesial yang mengindahkan pada qath’i secara ijma’. Baca: Pengertian Illat, Karena dan Hikmah dalam Qiyas Ushul Fiqih (Download PDF).

Akan tetapi golongan Hanafi menakwilkan lafaz ‘asyarah pada arti yang tidak tercakup di dalam kata tersebut, yaitu sepuluh makanan atau ukuran sepuluh makanan bagi orang-orang miskin. Menurut pandangan mereka, lafadz ‘asyarah itu bukan dikhususkan untuk hitungan total (fakir), tetapi Adalah ukuran yang wajib (dikeluarkan) dari makanan untuk sepuluh orang miskin.

Dengan penakwilan seperti itu, menurut Abu Hanifah, kita dibolehkan untuk memberikan makanan  untuk sepuluh orang miskin atau untuk 1 orang miskin dengan sepuluh makanan, sebab ukuran itu 1 untuk 2 kondisi. Menurut mereka, takwil  seperti itu didasarkan pada maksud kebutuhan mendesak yang Adalah hikmah disyari’atkannya nash.

Akan tetapi, penakwilan di atas dinilai takwil ba’id dan dinyatakan batil oleh Imam Syafi’i, sebab lafadz ‘asyarah ialah lafaz spesial yang mempertunjukkan arti qath’i, sehingga tidak memerlukan penakwilan.

Dan hikmah syari’atnya bukanlah seperti pandangan mereka, tetapi pembagian ukuran harta yang wajib dikeluarkan sesuai jumlahnya, supaya manfaatnya dinikmati umum. Kecuali itu, penakwilan mereka juga memerlukan idhafat kalimat selaku tambahan nash, sehingga ayat tersebut jadi


اطعام طعا م عشر ة مسا كين



Sebagi batasan wajib, padahal idhafat seperti itu menyalahi ashal. Jadi, kecacatan takwil di atas dikarenakan 2 perkara:
  1. Meremehkan ‘adad, lafadz spesial yang terang mempertunjukkan arti yang qath’i maka haruslah menjaga arti yang qath’i tersebut dan tidak meremehkannya.

  2. Penambahan kalimat kepada nash ialah menyalahi ashal. Jelaslah bahwa penakwilan seperti itu dinamakan takwil ba’id sebab keluar dari persyaratan takwil yang sah.

Etika Pentakwilan
Sebagaimana yang sudah diuraikan di atas bahwa ta’wil wajib berdasar dengan dalil (qarinah) yang kuat, sebab Adalah syarat Inti selaku ta’wil yang shahih. Kalau tidak berdasar pada dalil yang shahih maka ta’wil tersebut ialah ta’wil batil dan ikut hawa nafsu.

Kecuali itu, sebelum melaksanakan ta’wil seorang muawwil juga wajib memperhatikan makna zhahir lafadz terlebih dahulu atau tafsir terlebih dahulu. Hal ini dikuatkan oleh pandangan Az-Zarkasyi bahwa “Lâ mathmaha fi al-wushul ila al-bâthin qabla ihkâm al-zhâhir”, tidak ada harapan sampai untuk makna batin teks sebelum meraih makna zhahirnya.

Ditambah pula dengan kaidah yang sudah ditetapkan oleh ulama, yang sudah kami paparkan diawal tulisan.

Kekhilafan Pentakwilan
Ta’wil mempunyai 3 macam; ke-1, ta’wil yang dekat seperti lafadz idza kuntum ila ash-shalah yang dita’wilkan dengan waktu hendak melakukan shalat. Ke-2, ta’wil yang jauh seperti hadits Ghailan Ath-Thaqafi yang dita’wilkan oleh ulama Hanafiyah dengan perintah untuk menikahi 4 orang perempuan tersebut dengan akad baru sebab mereka membedakan perkawinan kafir dan Islam.

Ketiga, ta’wil batil yaitu mengalihkan untuk makna yang tidak terkandung dalam lafadz. Misalnya, pandangan Muhammad Abduh dalam tafsirnya Al-Manar yang menakwilkan hakikat malaikat ialah kecenderungan kebajikan dan kejahatan dalam jiwa manusia.

menurut syarat-syarat takwil di atas, kita akan dapat menilai sahih tidaknya suatu takwil. Kalau suatu ayat tidak memenuhi syarat-syarat takwil tersebut, maka takwil yang dihasilkan ialah tidak sahih atau batil. Adapun bagi orang-orang yang sudah melaksanakan penakwilan yang salah, semoga Allah memaafkan kekhilafan mereka, dan mengagungkan mereka dengan ilmu dan ijtihad yang mereka lakukan.

Kesimpulan
Ta’wil sendiri ialah mengalihkan lafazh dari makna zhahirnya (makna rajih) untuk makna esoteris (makna marjuh) berdasar dalil (qarinah). Para ulama menjadikan adanya dalil selaku syarat Inti dalam melaksanakan ta’wil. Adanya dalil shahih yang menguatkan Adalah ciri ta’wil yang shahih, sedangkan tanpa dalil ialah ta’wil yang batil dan ikut hawa nafsu.

Makna yang lemah wajib memperhatikan; makna lughawi, makna istilah-istilah syar’i, dan makna istilah dalam urf tertentu seperti istilah-istilah dalam ilmu nahwu, fiqh, hadith, dan ilmu-ilmu lainnya. Tiap-tiap lafadz wajib dikembalikan maknanya untuk 3 macam makna tersebut sesuai dengan qarinah lafadznya.

Kalau mempertunjukkan untuk makna lughawi maka wajib dikembalikan untuk makna lughawi. Kalau mempertunjukkan untuk makna syar’i maka wajib dikembalikan untuk makna syar’i, dan kalau mempertunjukkan untuk makna urf maka wajib dikembalikan untuk makna urf. Terkadang dalam ketiga makna tersebut masih mempunyai bagian, seperti makna syar’i terkadang terbagi jadi hakiki dan majazi.

Dalam problem ta’wil, para ulama ushul Adalah kubu yang paling mendalami kajian ayat-ayat Al-Qur’an untuk kepentingan istimbath al-ahkam. Sehingga kajian para ulama ushul Adalah kelanjutan dari kajian para ulama bahasa dan hadits. Dari pendalaman kajian tersebut, mereka menemukan beberapa bentuk ta’wil, di antaranya mengkhususkan lafadz yang bersifat umum (takhshish al-umum), membatasi lafazh yang mutlak (taqyid al-muthlaq), mengalihkan lafazh dari maknanya yang hakiki untuk yang majazi, atau dari makanya yang mengandung wajib jadi makna yang sunnah.

Para ulama ushul juga yang membikin kaidah-kaidah ta’wil di antaranya; orang yang melaksanakan ta’wil wajib mempunyai kriteria seorang mujtahid, wajib berdasar pada dalil yang shahih, dan tidak bertentangan dengan  nash yang lain.

Kaidah-kaidah ta’wil yang dibuat oleh para ulama dan konsep pengalihan makna dalam ta’wil ini Adalah perbedaan yang amat mendasar antara ta’wil dan hermeneutika. Dalam hermeneutika, seseorang tidak terikat dengan makna istilah-istilah syar’i, tidak Penting mempergunakan dalil-dalil syar’i, tidak memperhatikan apakah hasil penafsiran tersebut sesuai dengan nash-nash syar’i yang lain atau bertentangan, dan tidak memperhatikan orang yang melakukannya apakah mempunyai kesanggupan atau tidak.

Dengan seperti ini, hasil penafsiran dalam hermeneutika jadi bias dan relatif tergantung untuk orang yang melaksanakan penafsiran. Hermeneutika menjadikan agama selaku kumpulan interpretasi, dan tidak ada klasifikasi teks, sehingga menurut para hermeneut, tidak ada teks yang tidak dapat ditafsirkan. [Warta Sunda/ab]

[Download PDF]


Siti Nadiratul K, mahasiswi UIN Walisongo Semarang.



Artikel disampaikan di depan guru besar pengampu, Mishbah Khoiruddin Zuhri, M.A

Posting Komentar untuk "Syarat Takwil Al-Quran dan Macam-macam Cara Takwil (PDF)"