Gusdur, Papua dan Kesadaran Pluralitas Agama

Selaku agama minoritas di Papua, tantangan ummat Islam dalam bermasyarakat amat besar dan berat. alasannya, tidak sedikit tradisi atau kultur yang tak sama dengan norma-norma agama Islam.

Kehadiran Islam dengan muka ramah jadi kunci Islam akan diterima masarakat Papua. Islam datang dengan kelenturannya dapat hidup berdampingan serta berkembang di tengah-tengah mereka yang kebanyakan beragama kristen.

Tak sama kalau Islam datang di tanah Papua dengan muka keras, tanpa ada pendekatan kultura, niscaya masarakat Papua akan terusik dan bahkan dapat berujung pada konflik. Tentunya, ini akan merugikan ummat Islam sendiri, baik kebangkrutan yang bersifat moral atau materi.

Hal itu sebagaimana yang dialami oleh pengasuh Pondok Pesantren Tahfidz Madrasatul Qur'an Al-Qolam, Papua Barat, Darto Syaifuddin. Pondok pesantren yang diasuhnya sempat nyaris dibakar oleh masarakat Papua Barat.

Pada waktu itu, pondok pesantren sudah dikepung dari bermacam penjuru oleh penduduk setempat. Mereka membawa pelbagai macam senjata, sepertisajam, tombak, panah, parang dan lainnya. Mereka berkeinginan Menyuruh pergi Pak Darto beserta penghuni pondok pesantrennya.

Konflik tersebut berawal dari bagian kubu ummat Islam yang cenderung bersikap keras dan tidak toleran kepada masarakat Papua. Kubu ini yang membikin penduduk Papua tidak suka dan terusiak. Sehingga, persepsi soal Islam jadi negatif.

Akibatnya, masarakat Papua beranggapan bahwa Islam suka marah dan keras. Sehingga, mereka Tidak mau adanya pesantren di Papua Barat, sebab beranggapan bahwa pengelola pesantren sama dengan kubu Islam keras.

Akan tetapi, waktu menyaksikan photo Gus dur, lambang NU dan Mbh Hasyim Asy'ari, mereka tidak meneruskan aksinya lagi. Lantas kepala suku mereka berkata, Gus Dur, Gus Dur,.. kita punya orang tua... NU kita punya saudara. Bahkan, masarakat Papua Barat berjanji akan menjaga pesantren yang dipimpin Pak Darto tadi.

Cerita tersebut menggambarkan masarakat Papua begitu amat menghormati almarhum Gus Dur. Bagi mereka, Gus Dur Adalah sosok yang menjunjung tinggi kemanusia, membela minoritas dari segala penindasan, tanpa melihat suku, ras atau agama. Pendek kata, Gus Dur ialah jelmaan "kasih sayang Tuhan" yang sanggup menghantarkan masarakat Papua jadi aman, sejuk, serasi dan damai.

Sikap toleran dan pluralitas yang dicontohkan Gus Dur mesti selalu digelorakan di bumi Papua, supaya kerukunan antar ummat beragama senantiasa bersemi. Jangan biarkan kubu Islam garis keras berkelindan di bumi pertiwi ini.

Membiasakan Dialog Sehat

Untuk menumbuhkan sikap inlusif dalam beragama, membiasakan membuka ruang dialog antar pemeluk agama. Dialog yang membawa seluruh pihak mengutarakan fakta-fakta perbedaan dengan dilandasi sikap saling menghargai dan menghormati.

Dalam hal ini, dialog Adalah “a way of knowing or understanding", bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Ruang dialog tersebut malah mengajarkan untuk peserta dialong supaya bersikap menghargai perbedaan dan sanggup bersikap kompromi terkait permasalah bareng.

Dengan seperti ini, adanya dialog dapat jadi jalan keluar dari gejala sosial terkait truth claim yang sering menimpa pemeluk agama. Oleh sebab itu, agama seyogyanya mesti dipandang selaku selaku fenomena sosial-budaya. Karena, agama bersemi di segala kultur masarakat, mulai yang amat primitif sampai yang amat modern.

Dilaog agama yang didasari sikap saling menghormati akan memposisikan pemeluk agama pada suatu sikap untuk belajar dari agama lain. Ia tidak dalam posisi menilai orang lain sampai sanggup bersikap terbuka dan memahami yang lain.

Lantas, dialog agama juga dapat menghantarkan saban pemeluk agama mencapai titik beragama yang hakiki. Yaitu bahwa saban agama mengajarkan sikap menjunjung tinggi kemanusiaan, cinta damai dan mengajarkan nilai-nilai keadilan. [Warta Sunda/in]

Posting Komentar untuk "Gusdur, Papua dan Kesadaran Pluralitas Agama"