Lanjutan Bab II: KH Imadudin Al-Bantani: Menjawab Framing Fitnah Kepada Para Ulama
Kata Hanif dkk, penulis memfitnah
Ali al-Sakran sebagai ―pengarang‖ nasab Ba‘alwi. kata Hanif, sebelumnya sudah
ada AlKhatib (w.?) yang menulis tersambungnya nasab Ba‘alwi. penulis jawab:
karena memang hanya Ali al-Sakran yang kitabnya jelas dicetak dan dapat di
akses semua orang. Sedangkan Al-khatib itu sosoknya tidak jelas. Apakah ia
pernah ada di dunia atau tidak; apakah kitab Al-jauhal al-Syafaf itu karyanya
atau bukan. Tahun wafat AlKhatib 855 H. yang disebut referensi Ba‘alwi itu
janggal. Dalam kitab-kitab Tarajim pengarang kitab Al-jauhar al-Syafaf yang bernama
Abdurrahman wafat tahun 724 H. bukan 855 H. jika ia telah wafat pada tahun 724
H. bagaimana ia mencatat keluarga Ba‘alwi yang hidup di abad 9 H. Dalam kitab Mu‟jam al-Muallifin dikatakan:
عبد الرتٛن بن محمد بن عبد الرتٛن بن محمد
اتٟضرمي، الشٕافعي .فقيو، مشارك في التصوف والنحو واتٟديث. توفي سنة ى وقد
جاوز مئة سنة. لو تصانيف في النحو واتٟديثٗ، مٚنها: اتٞوىر الشفاف في كرامات
السادة الأشراف.
Terjemah:
―Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman bin Muhammad
al-Hadrami al-Syafi‘I seorang faqih yang ahli dalam Tasawuf, Nahwu dan Hadits.
Ia wafat tahun 724 H.
umurnya telah mencapai 100 tahun; ia mempunyai banyak
karangan dalam nahwu dan Hadits di antaranya kitab Al-Jawhar al-Syafaf fi
Karamat al-Sadat al-Asyraf.‖[1]
Maka Ali al-Sakran lah yang pantas
dijadikan alamat creator nasab Ba‘alwi. itu bukan memfitnah. Tetapi kenyataan
menyebutkan bahwa nasab Abdurrahman Assegaf disambungkan kepada Nabi Muhammad
SAW. hanya terdapat dalam kitab Ali al-Sakran. Yang lain tidak ada. kecuali
Ba‘alwi sudah dapat menemukan siapa Abdurrahman Al-Khatib itu sebenarnya?; dan
dapat menyatakan dengan dalil kapan ia wafat? benarkah ia wafat tahun 855 H.
mana dalilnya?
Hanif menyatakan bahwa ketika Ali
al-Sakran masih beumur dua tahun Al-Khatib sudah menulis Al-Jauhar al-Syafaf.
Sekarang penulis Tanya keterangan itu diambil dari kitab apa? Halaman berapa?
Membuat narasi tanpa dalil itu patut disebut dusta.
Abdurrahman al-Khatib dan Kitab Al-jawhar al-Syafaf Nasab
Ba Alawi, selain direkontruksi oleh kitab Al-Burqoh
alMusyiqoh karya Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran, ia dilandaskan dengan
tahun yang lebih tua dari al-Burqoh (895 H) kepada sebuah manuskrip kitab yang
disebut kitab Al-Jauhar al-Syafaf.
Kitab itu, katanya, karya Syekh Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman
al-Khatib yang, katanya, wafat tahun 855 H. Bahkan, kata Gus Rumail, al-Khatib
menulisnya tahun 820 H.
Siapa Syekh Abdurrahman bin Muhammad al-Khatib itu?
Informasi tentangnya bagaikan ―benang kusut yang
diurai orang buta‖. Ada dua nama yang sama, dengan ayah yang sama, bahkan kakek
yang sama, serta kitab yang sama, Tetapi masa hidupnya berbeda. Adalah sebuah
Kebetulan yang yang jarang terjadi di atas muka bumi kita.
Dalam literasi karya-karya Ba
Alawi, Abdurrahman al-Khatib disebut wafat tahun 855 H. ia murid Habib
Abdurrahman bin Muhammad Maula Dawilah (w. 819 H.), kakek pendiri nasab Ba
Alawi, Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Ia menulis kitab
bernama AlJauhar al-Syafaf. Kitab itu
berisi tentang keramat-keramat para wali di Tarim. Didalamnya juga tersebut
silsilah Ba Alawi.
Tetapi, ketika ditelusuri dalam
kitab-kitab biografi ulama, nama Abdurrahman al-Khatib dengan sejarah dan masa
hidup seperti dalam literasi Ba Alawi itu majhul (tidak dikenal). Tetapi ada
nama yang sama yang terdetekasi, dengan ayah dan kitab yang sama. Ia adalah
Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman yang wafat tahun
724 H. ia disebut dalam kitab-kitab biografi para ulama
seperti alSuluk karya al-Janadi (w. 732 H), Al-Uqud
al-Lu‟luiyyah karya Ali bin Hasan al-Khojroji (w. 812 H.), Qiladat al-Nahar karya Ba
Makhramah (w. 947 H.), Mu‟jam al-Muallifin karya Umar Rido Kahhalah, Hadiyyat al-Arifin karya Ismail Basya al-Babani . kelima kitab itu
sepakat bahwa Abdurrahman bin Muhammad bin Abdurrahman ini wafat pada tahun 724
H bukan 855 H. ia mempunyai kitab bernama Al-Jauhar
al-Syafaf. Bedanya dengan literasi Ba Alawi, ia tidak bergelar al-Khatib.
Lalu bagaimana sampai ada nama dan
kitab yang sama ? jawaban pertanyaan ini bisa dijawab pendek, bisa juga
panjang; Bisa dengan skeptis bisa juga dengan husnuzon. Bagi banyak orang,
Jawaban pendek dengan husnuzon bisa saja dilakukan dengan mengabaikan kenyataan
dari premis-premis mencurigakan itu dengan mengatakan persamaan nama dan kitab
itu hanya sebuah kebetulan. Keduanya memang sama-sama ada, dan sama-sama sebuah
kebenaran yang berjalan apa adanya. Pengabaian terhadap premis-premis
mencurigakan dari sejarah dan nasab Ba Alawi inilah yang dilakukan para ulama
dan sejarawan Yaman masa lalu bahkan sampai sekarang.
Penguasaan sebagian resorsis manuskrip yang dilakukan Ba
Alawi terhadap sejarah Hadramaut terutama sejarah
keagamaan di
Tarim, memungkinkan
mereka untuk mengurut historiografi sebagaimana kontruksi
sejarah yang mereka inginkan. Bila seorang sejarawan Hadramaut hari ini ingin
menulis sejarah Hadramaut hanya berjalan dalam lorong-lorong perpustakaan yang
hari ini tersedia atau disediakan Ba Alawi dengan husnuzon, maka ia sebenarnya
bukan sedang menelusuri fakta sejarah Hadramaut, tetapi ia sedang berada di
dalam ruang sejarah yang diciptakan. Jika ia ingin menelusuri sejarah Hadramaut
yang sesungguhnya, Ia harus terbang tinggi meninggalkan Bumi Hadramaut lalu
memandangnya dari ketinggian dan mencari sisa-sisa sumber yang masih suci dari
tangan Ba Alawi. Dengan itu baru ia akan mendapatkan fakta sejarah yang
sesungguhnya.
Penulis sering mendapati
premis-premis manipulative dari kerangka sejarah dan nasab Ba Alawi, oleh
karena itu penulis melaksanakan Skeptisisme filosofis dalam menghadapi
historiografi Hadramaut dan Tarim jika sumber itu telah terjamah Ba Alawi.
Hasilnya, penulis tidak mudah terjebak ke dalam cipta kondisi dari konklusi
yang diinginkan Ba Alawi. Penulis pernah mengatakan jika para sejarawan Yaman
dan Hadramaut bertemu penulis, maka mereka akan tercerahkan. Pernyataan itu
bukan mengada-ada dan berlebihan, tetapi karena penulis mengira bahwa memang
para sejarawan di sana hari ini belum menyadari tentang apa yang telah penulis
sampaikan di atas. Atau bisa saja sebenarnya mereka telah menyadari, tetapi
hegemoni Ba Alawi yang relative kuat bisa mengatasinya, sehingga kesadaran
fikiran-fikiran itu tidak sampai ke public yang lebih luas dan mudah
dideligitimasi dan dimarginalkan kembali.
Kitab Al-Jawhar al-Syafaf yang berupa manuskrip itu penulis memiliki
salinan mikrofilmnya. Tulisannya tulisan baru, dengan gaya khot baru, disalin
oleh Salim bin Ali bin Husain bin Abdurrahman bin Abdullah bin Umar al-Khatib
tahun 1410 H. berarti hanya baru 35 tahun yang lalu. Dari namanya yang pakai
al-Khtaib, agaknya penyalin itu keturunan dari Abdurrahman al-Khatib yang
disebut sebagai penulis kitab itu. Manuskrip ini sungguh tidak dapat menjadi
rujukan, karena penyalin tidak menyebutkan dari manuskrip tahun berapa ia
menyalin. Bisa saja ia bukan disalin tetapi baru ditulis. Atau ia disalin
dengan diinterpolasi di sana sini.
Yang sangat mencurigakan sekali adalah, ketika
sang penyalin ini menuliskan angka tahun wafat Abdurrahman al-Khatib, pertama
ia menulis angka tahun 855 Hijriah, lalu angka ini dicoret dan diganti dengan
angka baru yaitu 641 hijriah (lihat manuskrip al-jauhar halaman 249). Agaknya
ia sendiri ragu akan kapan Abdurrahman alKhatib ini wafat. Jangan-jangan
al-Khatib yang ia sematkan kepada Abdurrahman sebagai pengarang al-jauhar
al-Syafaf ini salah orang.
Jadi, kasusnya mirip dengan nasab
Ba Alawi. Ketika ada nama Abdullah dalam kitab al-Suluk tahun 732 H., kemudian
dikira ia adalah leluhur Ba Alawi yang bernama Ubaid. Begitupula, ketika ada
nama ulama besar bernama Abdurrahman bin Muhammad al-Hadrami yang wafat tahun
724 H., lalu keturunannya mengira bahwa ia adalah orang yang sama dengan
kakeknya yang wafat 855 H. Ketika dalam kitab-kitab tua disebut ia mempunyai
kitab al-jauhar al-Syafaf, dan manuskripnya tidak ditemukan, maka kemudian
kitab itu sengaja ditulis, padahal kitab yang ditulis itu bukan karya
Abdurahman bin Muhammad al-Hadrami yang dimaksud kitab tua itu, sehingga
akhirnya, sekarang timbul kerancuan yang tiada henti, kitab itu tidak berani
untuk dicetak, karena kesejarahan pengarangnya sangat problematik. Urutan tahun
yang tidak sama sulit untuk dikompromikan, karena jarak perbedaan tahunnya
mencapai 131 tahun.
Fitnah kepada Ba’alwi Secara Umum
Hanif dkk. mengatakan:
―Imaduddin meloretarkan fitnah kepada klan Ba'alawi
secara umum. Menurutnya, klan Ba'alawi telah melakukan skandal ilmiah dengan
memalsuikan nasab dan sejarah mereka. Tentu saja fitnahnya itu meliputi semua
klan Ba'allar Sementara, di dalam klan ini ada banyak mama besar, seperti
al-Imam Abdullah ibn Alwi al-Haddad pengarang Rith al-Had al-Nashih
al-Diniyyah, dll), al-Habib Abdullah ibn Husain ibn Thahir
(penolis Sullam al-Tag), al-Habib Ali ibn Muhammad al-Habsyi
(penalis Sinth al-Durar), al-Habib Abdurrahma al-Masyhur (permulis Baghyah
al-Mustarsyalin), serta banyak kama clam auliya besar lainnya. Mereka semua
termasuk dalam kelompok yang dituduh oleh Imaduddin telah melakukan kebohongan
besar. Entah bagaimana Imadudin akan mempertanggungjawabkan fitnahnya ini di
hadapan Allah.‖[2]
Pertanyaannya terbalik. Seharusnya pertanyaannya adalah:
bagaimana Ba‘alwi akan mempertanggungjawabkan
kedustaan nasabnya di hadapan Allah sedangkan nasab mereka tidak disertai dalil
sebelum pengakuan mereka di abad ke-9 H. di hadapan Allah SWT?
Mungkin saja ada di antara ulama
Ba‘alwi yang tidak mempercayai nasabnya kepada Nabi Muhammad SAW, menurut
penulis, Abdullah bin Alwi al-Haddad adalah salah satu orang yang
berkemungkinan itu. karena dari kitab-kitabnya yang sampai kepada penulis,
seingat penulis, tidak ada pengakuan bahwa ia merupakan keturunan Nabi Muhammad
SAW.
Ba’alwi dan Bani Ahdal Hanif Alatas dkk. mengatakan:
―Silsilah nasab Bani Alawi tidak membonceng silsilah
Bani Ahdal yang ditulis oleh Husain al-Ahdal (w. 855 H), apalagi hanya
berdasarkan lembaran yang ditemukan pada abad ke-9. Sebelum muncul silsilah
Bani al-Ahdal, Bani Alawi sudah memiliki silsilah sendiri yang disebut syuhrah
dan istifadhah yang dikenal luas di masyarakat Hadramaut.‖[3]
Penulis menjawab ucapan Hanif dkk.
dengan narasi-kronologi sebagai berikut: Ketika membaca kitab Al-suluk tentang hijrahnya leluhur Bani
Ahdal dari Irak, klan Abdurrahman al-Saqaf kemudian berasumsi bahwa leluhurnya
hijrah bersama leluhur Bani Ahdal tersebut dan kemudian disebut sebagai saudara
laki-laki atau saudara sepupunya. Perhatikat ibarat kitab Al-Suluk tentang hijrahnya leluhur Bani Ahdal di bawah ini:
واما الاىدل فَ هُوَ بهاء سَاكنة بعد الف ولَام
وىاء بعْدىَا دَال مُهْملة مَفْتوحَة ثمَّ لَام سَ اكِنة كَانَ كَبِتَ القدر شهتَ
الذكر ي قَال أن جده تُ٤مَّد قدم من بلد العراق الى اليمن وىُوَ شريف حسيتٍ قدم
على قدم التصوف وَسكن اجوال السَّوْدَاء من وَادي سِهَام
Terjemah‖
―Dan adapun Al-Ahdal, maka ia (dibaca) dengan ―ha‖ yang
sukun setelah ―‗Alif‖, ―lam‖ dan ―ha‖. Setelah ― ha‖ itu ada hurup ―dal‖ yang
di‖fatahkan‖ yang tanpa titik, kemudian ada ―lam‖ yang sukun. Ia seorang yang
berkedudukan tinggi yang popular. Disebutkan bahwa kakeknya datang dari Irak ke
negeri
Yaman, ia seorang ―Syarif Husaini‖.
Ia datang dengan tapak tasawuf, ia menempati ―Ajwal al-Sauda‘ dari lembah
Siham.‖[4] Dalam ibarat Al-janadi di atas disebutkan
leluhur Bani Ahdal yang bernama Muhammad bin Sulaiman, adalah seorang ―Syarif
Husaini‖ dan ia berhijrah dari Irak ke Yaman. Dari situ, klan Abdurrahman
al-Saqaf membonceng sejarah itu bahwa leluhurnya juga adalah seorang ―Syarif
Husaini‖ karena ia sepupu (satu kakek) dari Muhammad bin Sulaiman, dan pindah
dari Irak ke Yaman bersama Muhammad bin Sulaiman. Hal itu dilakukan tanpa
mengkroscek apakah informasi Al-janadi itu ditopang oleh sumber atau tidak. Dan
nanti akan terbukti bahwa ke-syarif-an Bani Ahdal ini tertolak. Setelah
berkembang informasi bahwa leluhur Bani Ahdal, Muhammad bin Sulaiman dan
leluhur klan Abdurrahman al-Saqaf keduanya adalah sepupu di tengah masyarakat,
maka seorang Bani Ahdal pun kemudian mencatat dalam kitabnya bahwa: ada yang
mengatakan leluhurnya yaitu Muhammad bin Sulaiman adalah saudara dari leluhur
Ba‘alwi. Dipermulaan narasi itu terbentuk, nama Ahmad bin ‗Isa belum muncul
sebagai leluhur klan Abdurrahman alSaqaf yang berhijrah bersama Muhammad bin
Sulaiman. Perhatikan ibarat Husain al-Ahdal (w.855 H.) dalam kitabnya “Tuhfat al-Zaman” di bawah ini:
وحكي لنا عن بعضهم ان محمد ات١ذكور خرج ىو واخ لو وابن عم فعمد اخوه وابن
عمو الى الشرق فذريتو ال با علوي في حضرموت
Terjemah:
―Diceritakan kepada kami dari sebagian orang, bahwa
Muhammad (bin Sulaiman) tersebut keluar (berhijrah) bersama saudara laki-laki
dan saudara sepupunya. Kemudian saudara laki-laki dan saudara sepupunya itu
menuju timur. Maka keturunan dari saudara sepupunya itu adalah keluarga Ba‘alwi
di Hadramaut.‖[5]
Dalam ibarat
ini dijelaskan, bahwa leluhur Bani Ahdal, Muhammad bin Sulaiman, pindah dari
Irak ke Yaman bersama saudara laki-lakinya (nanti akan diketahui bahwa itu
leluhur Bani
Qudaimi) dan saudara sepupunya (satu kakek) yaitu
Ba‘alwi di Hadramaut. Setelah diketahui bahwa Bani Ahdal dan Ba‘alwi satu
kakek, maka keturunan Bani Ahdal dan Ba‘alwi di abad sembilan menemukan masalah
baru, yaitu susunan lengkap silsilah mereka yang sudah disebut Al-Janadi
sebagai ―Syarif Husaini‖ itu, karena AlJanadi tidak menyajikan silsilah
Muhammad bin Sulaiman sampai kepada Nabi Muhammad Saw. maka kita lihat
bagaimana usaha-usaha dari kedua keluarga ini dalam menelusuri silsilah
keluarga mereka. Dari Bani Ahdal, Husain al-Ahdal (w.855 H.) telah mencoba
melengkapi silsilah Muhammad bin Sulaiman seperti di bawah ini:
ووجدت في بعض الاوراق نسبو مرفوعا فقال محمد بن
سليمان بن عبيد بن عيسى بن علوي بن محمد بن تٛحام بن عون بن اتٟسن بن
اتٟستُ مصغرا بن علي زين العابدين وفي موضع اخر ابن عون بن موسى الكاظم بن جعفر
الصادق بن محمد الباقر...
Terjemah:
―Dan aku menemukan nasab Muhammad bin Sulaiman dalam
sebagian lembaran-lembaran dalam keadaan disambungkan (kepada Rasulullah), maka
ia berkata: Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin ‗Isa bin Alwi bin Muhammad bin
Himham bin Aon bin al-Hasan bin al-Husain –yang bergelar Al-Ashgar-- bin
‗Ali Zanal Abidin, dalam tempat
lain, bin Aon bin Musa alKadzim bin Ja‘far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir…‖[6] Dari usaha Husain al-Ahdal dalam kitab Tuhfat al-Zaman ini ditemukan bahwa
nasab Bani Ahdal ada dua versi pertama:
Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin ‗Isa bin Alwi bin
Muhammad bin Himham bin Aon bin al-Hasan bin al-Husain bin ‗Ali Zainal Abidin bin
Husain bin Fatimah bin Nabi Muhammad saw. Versi kedua adalah: Muhammad bin
Sulaiman bin Ubaid bin ‗Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin Musa
al-Kadim bin Ja‘far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‗Ali bin Husain bin
Fatimah bin Nabi Muhammad saw. Berarti jika leluhur Ba‘alwi adalah sepupunya
maka berarti ia satu kakek. Dengan memperkirakan bahwa leluhur Ba‘alwi yang
hijrah bersama Muhammad bin Sulaiman itu adalah ‗Ali (Khaliqosam), maka
silsilah versi pertama adalah: ‗Ali bin
Alwi bin Ubaid bin ‗Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin
Aon bin al-Hasan bin al-Husain bin ‗Ali Zainal Abidin bin Husain bin Fatimah
bin Nabi Muhammad saw. sedangkan versi kedua adalah sebagai berikut: ‗Ali bin
Alwi bin Ubaid bin ‗Isa bin Alwi bin Muhammad bin Himham bin Aon bin Musa
al-Kadim bin Ja‘far alShadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‗Ali bin Husain bin
Fatimah bin Nabi Muhammad saw.
Lihat bagan di bawah ini:
|
No |
VERSI
PERTAMA |
VERSI
KEDUA |
|
|
|
|
Leluhur Abdurrahman
alSaqqaf |
Leluhur
Bani Ahdal |
Leluhur Abdurrahman
alSaqqaf |
Leluhur
Bani Ahdal |
|
|
1 Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
Nabi Muhammad Saw |
|
|
2 Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
Fatimah |
|
|
3 Husain |
Husain |
Husain |
Husain |
|
|
4 ‗Ali Zainal |
‗Ali Zainal |
‗Ali Zainal |
‗Ali Zainal |
|
|
5 Al-husain (al-Asgar) |
Al-Husain (alAsgar) |
Muhammad al- Baqir |
Muhammad al- Baqir |
|
|
6 Al-hasan |
Al-hasan |
Ja‘far al-Shadiq |
Ja‘far al- Shadiq |
|
|
7 Aon |
Aon |
Musa al-Kadim |
Musa al-Kadim |
|
|
8 Himham |
Himham |
Aon |
Aon |
|
|
9 Muhammad |
Muhammad |
Himham |
Himham |
|
|
1 Alwi |
Alwi |
Muhammad |
Muhammad |
|
|
1 ‗Isa |
‗Isa |
Alwi |
Alwi |
|
|
1 Ubaid |
Ubaid |
‗Isa |
‗Isa |
|
|
1 Alwi |
Sulaiman |
Ubaid |
Ubaid |
|
|
1 ‗Ali (Kh‘Aliqosamam) |
Muhammad |
Alwi |
Sulaiman |
|
|
1 |
|
‗Ali (Kh‘Aliqosam) |
Muhammad |
Lihat kakek
mereka adalah sama-sama Ubaid. Ubaid inilah yang nanti dalam keluarga
Abdurrahman al-Saqqaf berubah menjadi Abdullah kemudian Ubaidillah. Perlu
diketahui pula, sebelumnya tidak ada suatu sumber pun yang dijadikan rujukan
susunan silsilah semacam gambar di atas dari kedua keluarga, ia baru disusun
pada abad ke-9 Hijriah. kitab Al-Suluk
karya Al-Janadi pun hanya menyebut keluarga Bani Ahdal sebagai ―Syarif Husaini‖
(keturunan Nabi dari jalur Husain) tidak mengurut nama-nama silsilahnya. Diakui
oleh Husain al-Ahdal (w.855 H.), bahwa ia menyambungkan silsilah seperti di
atas, baik versi pertama maupun kedua, hanya berdasar lembaran yang ia temukan
di abad ke-9. Sedangkan silsilah keluarga Abdurrahman al-Saqaf, hanya
membonceng dalam silsilah Bani Ahdal. Dan susunan semacam itu tertolak oleh
kitab-kitab nasab yang yang telah ditulis pada abad ke-5 sampai kesembilan,
karena diketahui bahwa Al-Hasan bin Husain al-Ashgar tidak mempunyai anak
bernama Aon,[7]
dan Musa al-Kadim tidak mempunyai anak bernama Aon pula.[8]
Kedanya tertolak.
Keluarga
Abdurrahman al-Saqaf pun mengadakan usaha yang sama seperti keluarga Bani Ahdal
untuk dapat melengkapi silsilah mereka. Kemungkinan, ketika mereka mengetahui
bahwa silsilah Bani Ahdal telah ditemukan, dan di dalamnya tertolak oleh
kitab-kitab nasab, maka mereka mulai mendapatkan sedikit harapan dari kitab Al-
Suluk,
yaitu ketika ditemukan silsilah dari Abul Hasan ‗Ali atau Syarif Abul Jadid, di
mana dalam silsilah itu ada dua nama yang sama dengan silsilah Bani Ahdal, yaitu
‗Isa dan Alwi; dan ada satu nama yang mirip yaitu Abdullah yang mirip dengan
Ubaid. Apalagi ada kalimat bahwa Syarif Abul Jadid ini berasal dari keluarga
―Alu Abi Alwi‖, di mana nama Alwi telah ada dalam silsilah Bani Ahdal itu. Hal
yang demikian membuat keluarga Abdurrahman al-Saqaf menganggap silsilah inilah
yang lebih meyakinkan karena telah masuk dalam kitab sejarah penting di Yaman,
yaitu Al-Suluk, dibanding hasil usaha
dari Husain al-Ahdal yang jelas susunan nasab seperti itu tertolak kitab-kitab
nasab. secara formal, usaha itu dilaksanakan dengan baik oleh cucu Abdurrahman
al-Saqaf yang bernama ‗Ali bin Abubakar al-Sakran bin Abdurrahman al-Saqaf yang
wafat tahun 895 Hijriah. Ia menulis sebuah kitab yang berjudul Al-Burqat al-Musi>qat yang mulai memperkenalkan
silsilah permanen dari keluarganya melalui jalur yang sama dengan silsilah
Syarif Abul Jadid. Tentu usaha itu memerlukan kerja tambahan yaitu harus mampu
mengharmonisasikan sejarah keluarga mereka dengan sejarah keluarga Syarif Abul
Jadid, plus harus pula diharmonisasi dengan keluarga Bani Ahdal yang sebelumnya
mereka telah membonceng sejarahnya. kita akan dapat melihat betapa pun usaha
harmonisasi itu dilakukan, tetapi hasilnya masih tetap banyak kebocoran di sana
sini. Redaksi yang ditulis Al-janadi dalam kitab Al-Suluk tentang nasab
Syarif Abul Jadid atau Abu Hasan ‗Ali adalah sebagai
berikut:
واحببت ان اتْٟق بهم الذين وردوىا ودرسوا فيهَا
وىم تٚاعَة من الطبَ قَة الاولى مِنْ هُم ابو اتْٟسن عَليّ بن تُ٤مَّد ابن أتْٛد
بن حَدِ يد بن عَليّ بن تُ٤مَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أتْٛد بن عِيسَى بن
تُ٤مَّد بن عَليّ ابن جَعْفَر الصَّادِق بن تُ٤مَّد الباقر بن عَليّ بن زين
العابدين بن اتْٟسَتُْ بن عَليّ ابن ابي طالب كرم الله وجهو وَيعرف بالشريف ابي
اتْٟدِيد عِنْد أىل اليمن اصلو من حَضرمَوْت من اشراف ىُنَالك يعْرفونَ بَال ابي
علوي بيت صَلَاح وَعبادَة على طريق التصوف وَفيهِمْ فُ قَهَاء يََتِ ذكر من اتٖقق
ان شَاءَ الله
تَ عَالَى مَعَ أىل ب لده
Terjemah:
―Dan aku ingin memberikan susulan nama-nama orang-orang
yang datang ke Ta‘iz dan belajar di sana. Mereka adalah jama‘ah dari tingkatan
pertama. sebagian dari mereka adalah
Abu al-Hasan, ‗Ali, bin Muhammad bin Ahmad bin Hadid
(Jadid, dua riwayat manuskrip) bin ‗Ali bin bin
Muhammad bin Jadid bin Abdullah bin Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad bin ‗Ali bin
Ja‘far al-Sadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‗Ali bin Zainal Abdidin bin al-Husain
bin ‗Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama Syarif
Abul Jadid menurut penduduk Yaman. Asalnya dari Hadramaut dari para syarif di
sana yang dikenal dengan Al Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan dan ibadah
dalam tarikat tasawwuf. Termasuk didalamnya para ahli fikih yang akan datang
penyebutan mereka yang aku ketahui dengan benar, insya Allah Ta‘ala, bersama
ahli negerinya.‖[9]
Dari redaksi ini, ‗Ali bin Abubakar
al-Sakran kemudian mengurut silsilah keluarga Abdurrahman al-Saqaf berbeda dari
keluarga Bani Ahdal yang katanya satu kakek itu. perhatikan ucapan ‗Ali
al-Sakran di bawah ini:
وقد فهمت ت٦ا تقدم اولا منقولا من تًريخ اتٞندي
وتلخيص العواجي وسبق بو الكلام في ترتٚة الامام ابي اتٟسن عَليّ بن تُ٤مَّد ابن
أتْٛد جدِيد انو عبد الله بن اتٛد بن عيسى حيث قال: مِنْ هُم ابو اتْٟسن عَليّ بن
تُ٤مَّد ابن أتْٛد بن حَدِيد بن عَليّ بن تُ٤مَّد بن حَدِيد بن عبد الله بن أتْٛد
بن عِيسَى بن تُ٤مَّد بن عَليّ ابن جَعْفَر الصَّادِق بن تُ٤مَّد الباقر بن عَليّ
بن زين العابدين بن اتْٟسَتُْ بن عَليّ ابن ابي طالب كرم الله وجهو وَيعرف بالشريف
ابي اتْٟدِيد عِنْد أىل اليمن اصلو من حَضرمَوْت من اشراف ىُنالك يعْرفونَ بَال
ابي علوي بيت صَلَاح وَعبادَة على طَريق
التصوف انتهى.
Terjemah:
―Dan aku memahami dari keterangan yang telah lewat,
untuk pertama kali, berdasar apa yang terdapat dari Tarikh al-Janadi (kitab
al-Suluk) dan kitab Talkhis al-Awaji, dan telah disebutkan pembicaraan
tentangnya, dalam menerangkan biografi sosok al-Imam Abu al Hasan, ‗Ali bin
Muhammad bin
Ahmad Jadid, bahwa Ubaid itu adalah Abdullah bin
Ahmad bin
‗Isa. (yaitu) ketika ia (al-Janadi) berkata:
sebagian dari mereka adalah Abu al-Hasan, ‗Ali, bin Muhammad bin Jadid (Hadid,
dua riwayat manuskrip) bin Abdullah bin Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad bin ‗Ali
bin Ja‘far al-Shadiq bin Muhammad alBaqir bin ‗Ali bin Zainal Abdidin bin
al-Husain bin ‗Ali bin Abi Tholib karramallahu wajhah, dan dikenal dengan nama
Syarif Abul Jadid menurut penduduk Yaman, asalnya dari Hadramaut dari para
syarif di sana yang dikenal dengan Alu Abi Alwi, yang merupakan rumah kesalihan
dan ibadah dalam tarikat
tasawwuf‖.[10]
Untuk selanjutnya, ‗Ali al-Sakran mengurut silsilah keluarga
Abdurrahman menjadi sebagai berikut: ‗Ali
(khaliqosam) bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ahmad bin Ubaid
(Ubaidillah/Abdullah)
―bin‖ Ahmad bin ‗Isa bin Muhammad al-Naqib bin ‗Ali
al-Uraidi bin
Ja‘far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin ‗Ali Zainal
Abidin bin Husain bin Fatimah binti Muhammad Saw. Dari sini kita melihat,
silsilah nasab keluarga Abdurrahman al-Saqaf terjadi perubahan signifikan dari
silsilah Bani Ahdal yang katanya satu kakek tersebut. Dalam versi Husain
al-Ahdal tiga nama yang berurut yaitu: Ubaid bin ‗Isa bin Alwi, telah berubah
menjadi Alwi bin Ubaid bin Ahmad bin
‗Isa, dengan ditambah Ahmad antara ubaid dan ‗Isa.
perubahan itu berdasarkan silsilah keluarga Syarif Abul Jadid tersebut.
Sayangnya, kreasi (ijtihad) yang luarbiasa ini tidak diamini oleh keluarga Bani
Ahdal, untuk waktu-waktu berikutnya keluarga Bani Ahdal tidak menggunakan versi
keluarga Abdurrahman al-Saqaf ini, mereka tetap menggunakan salah satu versi
silsilah dari yang disebut Husain alAhdal dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman. Akhirnya, dua orang yang satu kakek ini kemudian
silsilahnya berbeda. Seperti Abu Bakar bin Abil Qasim bin Ahmad al-Ahdal (w.
1035 H.) dalam kitabnya AlAhsab
al-‟Aliyyah fi al-Ansab al-Ahdaliyyah mengatakan:
وأما نسبو رضي الله عنه فهو علي الأىدل بن عمر
بن محمد بن سليمان بن عبيد بن عيسى بن علوي بن محمد بن تٛحام بن عون بن موسى
الكاظم بن جعفر الصادق بن محمد الباقر بن علي زين العابدين بن اتٟستُ بن علي بن
أبي طالب رضوان الله عليهم أتٚعتُ ىذا
نسبو
Terjemah:
―Dan adapun nasabnya, radiallahu ‗anhu, adalah: ‗Ali
al-Ahdal bin Umar bin Muhammad bin Sulaiman bin Ubaid bin ‗Isa bin Alwi bin
Muhammad bin Himham bin ‗Aon bin Musa al-kadim bin Ja‘far al-Shadiq bin
Muhammad al-Baqir bin ‗Ali Zainal
‗Abidin bin al-Husain bin ‗Ali bin Abi Talib, Ridwanallahu
‗alaihim ajma‘in.‖[11]
Dari sinilah kemudian
singkronisasi dan harmonisasi antara sejarah Bani Ahdal dan Syarif Abil Jadid
yang diramu keluarga Abdurrahman al-Saqaf menjadi sulit dilakukan. Sebelum
membicarakan kerancuan, penulis ingin mengungkapkan, bahwa keluarga Abdurrahman
al-Saqaf semenjak usaha mereka mencari silsilah dan menemukan harapan dari
kitab Al-Suluk itu, telah
mengidentifikasi diri dengan sebutan permanen sebagai keluarga ―Aba Alwi‖ yang
kemudian menjadi ―Ba‘alwi‖. Nama itu didapat dari penamaan Al-Janadi terhadap
keluarga Syarif Abil Jadid. Usaha singkronisasi itu untuk waktu kemudian lebih
mengarah ke sejarah Syarif Abul Jadid daripada sejarah Bani Ahdal, akibatnya,
ketidakakurat-an susunan sejarah, untuk waktu selanjutnya terlihat antara
sejarah Ba‘alwi dan sejarah Bani Ahdal.
Husain al-Ahdal (w.855 H.), dalam kitabnya Tuhfat al-Zaman menyebutkan, bahwa
kakeknya yang bernama ‗Ali al-Ahdal itu adalah putra dari Umar bin Muhammad bin
Sulaiman. 199‗Ali bin Umar alAhdal ini disebut oleh Al-Janadi dalam
kitab Al-Suluk wafat tahun 690
Hijriah.[12]
Sedangkan Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah, sebagaimana disebut
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad
Zabarat al-Son‘ani (w.1381 H.) dalam kitabnya Nail al-Hasanain.[13]
Jika demikian keadaannya, yaitu Muhammad bin Sulaiman wafat tahun 540 Hijriah,
maka akan sulit dapat diterima logika jika ia berhijrah dari Irak ke yaman pada
tahun 317 Hijriah bersama Ahmad bin ‗Isa, sebagaimana berita keluarga Ba‘alwi,
karena berarti ketika Muhammad bin Sulaiman itu wafat tahun 540 Hijriah umurnya
telah lebih dari 223 tahun. Dari kedua berita tahun hijrah itu pasti salah
satunya adalah salah. Pertanyaannya adalah mana di antara kedua berita itu yang
kemungkinan besar salah? tentu, jika kita membaca kembali tentang bahwa
keluarga Ba‘alwi ini sebenarnya hanya membonceng sejarah Bani Ahdal, maka
selaiknya yang harus diduga kuat salah atau dusta adalah tahun hijrah yang
bertitimangsa tahun 317 Hijriah.
Bersamaan dengan semua hal di
atas, Abdullah Muhammad alHabsyi, dalam footnote
kitab Tuhfat al-Zaman yang ia tahqiq, berusaha mempertahankan narasi
hijrahnya Ahmad bin ‗Isa di tahun 317 Hijriah itu. Ia memberi catatan kaki
redaksi Husain al-Ahdal yang menyebut bahwa leluhurnya yang bernama Muhammad
bin Sulaiman hijrah dari Irak ke Yaman. Abdullah Muhammad al-Habsyi mengatakan:
bahwa yang berhijrah itu bukan Muhammad bin Sulaiman tetapi Muhammad bin
Himham.[14]
Narasi aneh semacam itu diperlukan agar singkron narasi Ba‘alwi bahwa yang
berhijrah adalah Ahmad bin ‗Isa, karena yang semasa dengan Ahmad bin ‗Isa
adalah Muhammad bin Himham bukan Muhammad bin Sulaiman. Kita menyaksikan, bahwa
ia yang sejarahnya membonceng, kemudian mengatur bahkan mendominasi runtutan
sejarah yang diboncengnya itu. kita akan sering baca dalam tulisan Abdullah
Muhammad alHabsyi pada khususnya, dan penulis sejarah Ba‘alwi pada umumnya,
yaitu ketika sebuah data historis ditemukan tidak sesuai dengan kesimpulan
kesejarahan Ba‘alwi, maka data historis itu yang harus disesuaikan, bukan
sebaliknya. Bahkan, kita akan dapati adanya usaha-usaha interpolasi halus dan
kasar yang dilakukan para pentahqiq
Ba‘alwi terhadap kitab-kitab ulama yang mereka tahqiq. Dari itu, perlu kewaspadaan tinggi dan analisis kritis jika
membaca kitab karya Ba‘alwi atau kitab yang di-tahqiq mereka dalam sejarah dan genealogi mereka.
Kata Hanif dkk. apa yang ditulis
oleh Abdullah Muhammad Alhabsyi itu adalah kutipan dari kitab seorang ulama
Bani Al-Ahdal yang bernama Muhammad bin Muhammad Al-Ahdal yang wafat pada tahun
2023 M/1445 H. dalam kitabnya Qarar Ulama bani al-Ahdal. Mungkin saja itu
benar, walau setelah penulis lihat salah satu versi kitab itu tidak ada tulisan
semacam itu. tetapi yang terpenting, bagaimana sejarah masa lalu yang telah
ditulis dalam kitab Tuhfat alZaman tahun 855 H. atau 561 tahun yang lalu,
direvisi isinya oleh orang yang wafat tahun 1445 H. hanya untuk singkronisasi
dengan cipta sejarah Ba‘alwi? tidak masuk akal.
Berikut ini penulis sebutkan pula keterangan dari ulama bani
Ahdal yang bernama Abubakar bin Abil Qasim bin Ahmad
al-Ahdal
(w. 1035 H.) dalam kitabnya Al-Ahsab al-Alyyah fi
al-Ansab alAhdaliyah ia mengatakan yang hijrah itu adalah Muhammad bin Sulaiman
bukan Muhammad bin Himham.
محمد بن سليمان ىو الذي خرج من العراق ىو وأخوه
وبن عمو ،
وىو جد السادة آل باعلوي
Terjemah:
―Muhamad bin Sulaiman adalah yang ke luar dari Irak
bersama saudara laiki-laki dan anak pamannya, yaitu kakek Sadat Ba‘alwi.‖[15]
Jika yang hijrah bersama leluhur Ba‘alwi itu adalah Muhammad
bin Sulaiman yang wafat tahun 540 H. lalu siapa leluhur Ba‘alwi itu? jelas
bukan Ahmad bin Isa, karena ia telah wafat tahun 345 H.
Fitnah Terhadap
Alwi bin Tahir al-Haddad Hanif dkk. mengatakan:
―Sosok ulama lainnya yang menjadi sasaran fitnah
Imaduddin adalah Sayid Alwi ibn Thahir. Ia menuduh Sayid Alwi telah berdusta
dan tidak memahami bahasa Arab dengan baik. Imaduddin mengatakan,
"Al-Haddad berusaha mempertahankan sekuat tenaga bahwa Ahmad ibn Isa itu
bergelar "al-Muhajir", bukan "al-Abah" dan
"al-Naffath". Orang dari klan Ba'alawi yang pertama kali menyebut
Ahmad ibn Isa dengan gelar al-
Muhajir adalah Ahmad ibn Zain al- Habsyi (w. 1144 H),
seorang alim dari abad kedua belas Hijriah.‖[16]
Penulis membantah bahwa penulis
telah memfitnah Alwi bin Tahir. Yang penulis sampaikan ke hadapan public adalah
suatu kajian ilmiyah bahwa Alwi bin Tahir terbukti berdusta dalam pengutipan
kitab. Mari kita lihat bukti-buktinya:
Dalam kitab Uqud al-Almas, Alawi Bin
Tahir al-Haddad berusaha mempertahankan bahwa Ahmad bin Isa itu bergelar
alMuhajir. Sekuat tenaga ia ingin mengahancurkan kenyataan bahwa gelar yang
dicatat oleh ulama nasab mulai abad ke-5 sampai abad ke9, untuk Ahmad bin Isa,
adalah al-Abah dan al-Naffat. Tidak ada gelar al-Muhajir untuk Ahmad bin Isa.
Gelar al-Muhajir itu baru ada di abad ke-9 Hijriah dalam kitab al-Burqoh
al-Musyiqoh karya Habib Ali bin Abu Bakar al-Sakran. Gelar al-Muhajir (yang
berpindah) itu diberikan oleh al-Sakran sebagai alibi bahwa benar Ahmad bin Isa
hijrah ke Yaman sesuai yang ia catat dan ia ijtihadi. Alawi al-Haddad
mengatakan: )وحاصل
ىذ البحث الضافي ان الامام ات١هاجر )اتٛد بن عيسى بن محمد
بن علي العريضي لم يلقب بالابح ولا بالنفاط كما جرى عليو
الاقدمون
―Kesimpulan pembahasan yang panjang ini, bahwa Imam
alMuhajir (Ahmad bin Isa) bin Muhammad bin Ali al-Uraidi tidak diberi gelar
dengan al-Abah dan al-Naffat. Seperti yang telah dilakukan para ulama-ulama
yang lebih dahulu.‖[17]
Pernyataan Alawi ini tidak sesuai
dengan kenyataan bahwa, ulama-ulama nasab terdahulu menggelari Ahmad bin Isa
dengan alAbah, sebagian lagi dengan al-Naffat, sebagian lagi dengan keduanya.
Lihat kitab Tahdzibul Ansab karya al-Ubaidili (w. 437 H) halaman
176. Dalam kitab itu disebutkan bahwa gelar Ahmad bin
Isa adalah alNaffat. Lihat pula kitab al-Majdi karya al-Umari (w. 490 H)
halaman 337. Dalam kitab tersebut disebutkan bahwa Ahmad bin Isa bergelar
al-Abah dan dikenal pula dengan al-Naffat. Dalam kitab itupula disebutkan
kenapa Ahmad bin Isa bergelar al-Naffa? Yaitu karena ia menjual minyak tanah.
Dua kitab ini cukup untuk
disebutkan dalam rangka membantah tesis Alawi al-Haddad bahwa Ahmad bin Isa
tidak bergelar al-Naffat dan al-Abah. Karena dua kitab ini adalah termasuk yang
tertua sebagai kitab yang menyebut Ahmad bin Isa dan keturunannya. Adanya
riwayat lain yang menyebut bahwa gelar al-Naffat itu untuk cucu Ahmad bin Isa,
seperti riwayat dari kitab yang lebih muda dari keduanya, adalah hal lain yang
dapat diuji validitas dan kekuatan kedua riwayat itu . Tetapi , seharusnya,
Alawi al-Haddad tidak boleh menafikan realitas riwayat yang terang-benderang
menyebut al-Naffat dan al-Abah tertulis dikitab, yang dapat dikatakan paling
tua yaitu, Tahdzib al-Ansab dan al-Majdi. Justru, kenapa Alawi al-Haddad
sebagai sejarawan keukeuh mempertahankan bahwa Ahmad bin Isa bergelar
al-Muhajir, padahal gelar al-Muhajir ini tidak pernah disebut ulama-ulama dalam
kitab sezaman atau yang mendekatinya? Apakah yang demikian itu untuk misi besar
upaya menyelamatkan tesis bahwa Ahmad bin Isa hijrah ke Yaman?
Bahkan, di halaman sebelas, Alawi
al-haddad menyebutkan dengan tegas bahwa al-ubaidili dan al-Umari tidak
menyebutkan gelar al-Naffat. Apakah ia sengaja berdusta, atau ia tidak mampu
memahami bahasa Arab dengan benar. Kedua-duanya mungkin. Kemungkinan sengaja
berdusta adalah untuk kasus kitab Tahdzib alAnsab. Perhatikan ibaroh di bawah
ini !
واتٛد بن عيسى النقيب بن محمد بن علي العريضي
يلقب النفاط
―Dan Ahmad bin Isa al-Naqib bin Muhammad bin Ali
al-Uraidi, diberi gelar al-Naffat.‖[18]
Sudah jelas ibaroh al-Ubaidili
bahwa Ahmad bin Isa bergelar alNaffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa
al-Ubaidili tidak menuliskannya ? Apalagi yang pantas kita katakan untuk kasus
semacam ini kecuali bahwa ia telah berdusta.
Kemungkinan tidak faham ilmu
Bahasa Arab dan sengaja berbohong secara bersamaan adalah untuk kasus kitab
al-Majdi. Perhatikan ibaroh kitab al-Majdi berikut ini:
وأتٛد ابو القاسم الابح ات١عروف بالنفاط لانو
كان يتجر النفط لو بقية ببغداد من اتٟسن ابي محمد الدلال على الدور ببغداد رأيتو
مات بأخره ببغداد بن محمد بن علي بن محمد بن أتٛد بن عيسى بن محمد بن العريضي.
―Dan Ahmad Abul Qasim al-Abah yang dikenal dengan
―alNaffat‖ karena ia berdagang minyak nafat (sejenis minyak tanah), ia
mempunyai keturunan di bagdad dari al-Hasan Abu Muhammad ad-Dalal Aladdauri di
Bagdad, aku melihatnya (alHasan) wafat diakhir umurnya di Bagdad, ia (al-Hasan)
anak dari Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Isa bin Muhammad
(an-Naqib) bin (Ali) al-Uraidi.‖[19]
Sangat jelas sekali, al-Umari
menulis bahwa Ahmad yang berkunyah Abul Qosim itu bergelar al-Abah dan dikenal
pula dengan gelar al-Naffat. Kenapa Alawi al-Haddad mengatakan bahwa al-Umari
tidak mencatatnya bergelar al-Naffat ? Karena ia salah membalikan domir dan
salah memahami siyaqul kalam. Atau ia faham namun sengaja ia putar bailkan
domir dan siyaqul kalam demi untuk membela nasabnya. Perhatikan tulisan Alawi
al-Haddad, ibarohnya ada satu hurup yang dirubah dari kitab aslinya, ia pula
tambahkan ―dalam kurung‖ dalam beberapa kalimat sehingga pengertiannya akan
berbeda 180 derajat:
وأتٛد ابو القاسم الابح ات١عروف بالنفاط ))لانو
كان يتجر النفط لو بقية ببغداد(( بن اتٟسن ابي محمد الدلال ))على الدور ببغداد
رأيتو مات بأخره ببغداد(( بن محمد بن علي بن محمد بن أتٛد بن عيسى بن محمد بن
العريضي.
Perhatikan dalam kurung di atas.
Perhatikan pula satu huruf dirubah oleh al-Haddad. Yaitu hurup yang terdapat
dalam kalimat
―minal hasan‖ dirubah hurup ―mim‖ nya menjadi hurup ―ba‖
menjadi ―bin al-Hasan‖.
Sebelum dirubah maka pengertiannya
adalah bahwa Ahmad Abul Qosim al-Abah adalah Ahmad bin Isa yang mempunyai
keturunan dari al-Hasan. Ketika huruf ―mim‖ itu dirubah menjadi ―ba‖ maka
maknanya bahwa Ahmad al-Abah itu bukan Ahmad bin Isa tetapi Ahmad bin al-Hasan,
yaitu cucu ke empat dari Ahmad bin Isa. Kesimpulan yang diinginkan oleh Alawi
al Haddad adalah bahwa Ahmad bin Isa tidak bergelar al-Abah atau al-Naffat.
Gelarnya hanya al-Muhajir. Tulisan-tulisan ulama nasab di abad 5-6-7-8-9 di
abaikan dan di takwil sesuai tradisi pencatatan Ba Alawi yang dimulai baru di
abad ke-9 hijriah.
Usaha-usaha besar Alawi al-Haddad,
agar sejarah dan buku nasab masa lalu berjalan sesuai dengan tradisi Ba Alawi
di abad ke-9 patut ―diacungi jempol‖. Usaha yang sama dilakukan oleh banyak
penulis Ba Alawi. Bagaimana seorang Abdullah bin Muhammad alHabsyi, dengan
susah payah mencari manuskrip-manuskrip sejarah Yaman. Ia dapatkan kitab-kitab
tua banyak sekali. Lalu ia tahqiq dan cetak; ia masukan nama-nama Ba Alawi agar
tertulis dalam sejarah. Manuskrip dicetak tidak sesuai dengan aslinya. Ia di
tambahi namanama Ba Alawi. Begitu pula Jamalullail yang menginterpolasi
manuskrip kitab Abana‘ul Imam. Belum lagi manuskrip kitab aljauhar al-Syafaf
yang baru ditulis tahun 1988. Buat apa manuskrip yang katanya dari tahun 855
Hijriah lalu di tahun 1410 Hijriah, bukannya di cetak malah ditulis ulang
dengan tulisan tangan. Apa tujuannya ?
zaman dulu memang tidak ada mesin
ketik, computer dan mesin tulis lainnya. Maka kita mencari manuskrip yang
ditulis di masa lalu yang belum ada mesin tulis agar lestari. Kalau hari ini,
mengapa kita sibuk-sibuk menulis dengan tangan lagi manuskrip yang telah
berumur ratusan tahun, kecuali ada tujuan mau memasukan sesuatu informasi yang
baru yang tidak terdapat dalam manuskrip aslinya. Lalu akan ditulis oleh
penyalin yang tidak amanah ini, bahwa manuskrip ini ditulis sesuai aslinya yang
berangka tahun sekian. Padahal isinya telah ditambah di sana-sini. Lalu agar
dustanya tidak terdeteksi, manuskrip asli yang satu-satunya itu di musnahkan.
Kemudian manuskripnya menjadi satu-satunya manuskrip yang jadi rujukan.
Hanif dkk mengatakan:
―Apakah Imaduddin telah melakukan perjalanan ke
berbagai negara seperti yang dilakukan oleh Sayyid Alwi bin Tahir al-
Haddad?‖[20]
Dari perkataan Hanif itu
seakan-akan Alwi bin Tahir telah betul-betul melihat manuskrip-manuskrip kitab
Tahdzib al-Ansab , AlMajdi dsb. Secara langsung. Padahal jika kita membaca
teliti kitab Alwi bin Tahir, Uqud al-Almas, kita mengetahui bahwa ia tidak
pergi ke tempat di mana manuskrip itu ada. ia hanya mendapat berita tentang
mansukrip itu dari orang yang mengirimkan surat.
Alwi bin Tahir sendiri mengakui
dalam kitabnya, Uqud alAlmas, bahwa, apa yang ia sampaikan dari redaksi
al-Ubaidili itu hanya mengutip dari seorang ahli nasab di Irak. Lihat kitab Uqud alAlmas di halaman empatbelas, Ia
berkata:
ونذكر ىنا نص شيخي الشرف )العبيدلي والعمري( كما
ذكره نسابة العراق
―Dan kami akan menyebutkan di sini teks dua guru
mulia: alUbaidili dan al-Umari. Seperti yang disebutkan oleh pakar nasab Irak.‖
Perhatikan kalimat ini, ―seperti
yang disebutkan oleh pakar nasab Irak.‖ Artinya , Alwi bin Tahir tidak melihat
manuskripnya secara langsung, ia hanya mendapat ―kabar burung‖ dari seorang
pakar nasab Irak. Penulis sebut ―kabar burung‖, karena kalimat Alwi bin tahir
sangat mencurigakan, ―seorang pakar nasab Irak‖. Kenapa ia tidak menyebutkan
dengan jelas siapa pakar nasab itu ? sehingga dapat divervikasi
kebenarannya.
Mestinya Hanif dkk. memperhatikan
setiap kalimat yang dipakai pemberi informasi secara teliti. Kalimat seperti
Alwi bin Tahir itu adalah sebuah berita. Sebuah berita bisa jujur dan bisa juga
dusta. Bagaimana memverivikasinya? Kita buka kitabnya, lalu kita lihat, apakah
yang disampaikan Alwi bin tahir itu jujur atau dusta. Penulis telah melihat dua
kitab itu: kitab al-Ubadili dan kitab al-Umari, hasilnya, yang disampaikan Alwi
bin tahir itu dusta. Alwi bin tahir merubah hurup ―mim‖ menjadi ―ba‖, jelas
maknanya akan berubah: ―min‖ artinya ―dari‖, ―bin‖ artinya ―putra‖.
Mungkin Hanif akan berkata bahwa,
penulis hanya menggunakan versi cetak yang telah disentuh tangan muhaqqiq.
Tidak murni lagi. Begini: muhaqqiq itu bisa jujur bisa dusta juga. Maka, dalam
membaca kitab versi cetak, kita lihat dulu siapa muhaqqiqnya. Apakah ia ada
kaitan subjektivitas dengan substansi kitab itu atau tidak? Jika ada, maka kita
membacanya harus dengan kewaspadaan tinggi. Seperti penulis, jika membaca kitab
sejarah atau kitab nasab yang di tahqiq oleh Ba Alawi semisal: Abdullah
Muhammad alhabsyi, Alwi bin Tahir, Yusuf Jamalullail dll, maka penulis membacanya
dengan penuh waspada. Kenapa? Karena mereka adalah Ba Alawi yang sedang mencari
nama leluhurnya di kitab-kitab abad kelima sampai Sembilan. Ketika mereka
mentahqiq mansukripmanuskrip tua untuk di cetak, sangat besar kemungkinan
mereka akan mengadakan interpolasi (penambahan isi) dalam versi cetak yang
tidak ada pada manuskripnya. Dan itu sering penulis temui.
Sedangkan, kitab al-Ubaidili yang
kita maksud, versi cetaknya ditahqiq oleh Syekh Muhammad al-Kadzim; kitab
al-Umari versi cetaknya di tahqiq oleh Syekh Ahmad al-Mahdawi. Keduanya bukan
kalangan Ba Alawi, dan tidak bisa dikatakan keduanya sengaja membuat kerugian
bagi nasab Ba Alawi. keduanya tidak pantas dicurigai membuat kerugian bagi
nasab Ba Alawi, karena tidak ada berita keduanya bermusuhan dengan Ba Alawi.
Keduanya mencetak kitab itu dari manuskrip terpercaya yang mereka sebutkan
sumbernya dan dapat diverivikasi keberadaanya. Untuk lebih detail, silahkan
baca saja mukaddimahnya.
Untuk mengetahui siapa yang
berdusta, harus mendatangkan bukti bahwa Seh Muhammad al-Kadzim dan Syekh Ahmad
alMahdawi berdusta: mencetak tidak sesuai manuskripnya. Manuskrip al-Ubaidili
ada Universitas al-Dual al-Arabiyah di Mesir. Itu bisa di cek. Untuk al-Umari,
manuskripnya ada di maktabah al-Mar‘asyi, juga di pegang dua manuskrip oleh
al-Afandi pengarang kitab Riyad alUlama. Sedangkan, Alwi bin Tahir tidak
menyebutkan di mana manuskrip yang menjadi sumbernya itu berada ? lalu, yang
tidak sebanding siapa ? Yang lebih pantas dianggap telah berdusta siapa ?
jelas, Alwi bin Tahir adalah orang yang patut diduga berdusta. Ia tidak
menyebut nama pemberi informasi secara jelas; ia juga tidak menyebutkan
manuskripnya ada di mana. Di ahli nasab Irak. Irak itu luas. Irak mana ? ahli
nasab itu banyak. Namanya siapa ?
Kata Hanif, Alwi bin Tahir memburu manuskrip ke berbagai
Negara: Teheran, Qum, dll. Benarkah? Benarkah ia pergi
ke Negara Negara tersebut? Tidak. Tahu dari mana? Dari ibaroh Alwi bin Tahir.
Ia hanya mengesankan pergi ke sana, namun tidak. Perhatikan ibaroh asli Alwi
bin tahir di bawah ini !
كما سنذكره من كتب الانساب الصحيحة ات١خطوطة
ات١وجودة بطهران وقم وخزانة الشيخ الزت٧اني بقم وبالعراق عند نسابهم و التي في
مكتبة النجف الشريف وما كان منها بيد اعيان بغداد وعتَىم وما في ات١كنبة ات١صرية
الكبرى وغتَ ذالك ت٦ا لا يقدر على اتٟصول عليو احد الا برحلة واسعة
―Seperti yang nanti akan kami sebutkan dari kitab
kitab nasab yang sahih yang masih berupa manuskrip yang ada di Teheran, Qum,
koleksi Syaikh al-Zanjani di Qum, Dan di Irak di ahli nasab mereka, dan yang
terdapat di perpustakaan al-Najaf alSyarif, dan yang ada darinya di tangan
tokoh-tokoh Bagdad dll, dan yang ada di al-maktabah al-Mishriyah al-Kubro dan
yang lainnya, daripada yang tidak dapat diperoleh oleh seseorang kecuali dengan
perjalanan yang luas.‖ (Uqud al-mas, halaman 10-11)
Perhatikan ! ibaroh di atas hanya
mengatakan bahwa Alwi bin tahir akan menyebutkan alasan alasan bahwa Ahmad bin
Isa tidak bergelar al-Abah itu, dari kitab kitab yang masih berupa manuskrip
yang ada di Teheran, Qum dst. Ia tidak mengatakan ia telah pergi ke sana. Ia
pula tidak menyebutkan apakah ia telah melihat manuskrip itu. Bisa jadi ia
hanya duduk di rumah, lalu ia kirim surat dan meminta koleganya untuk
menuliskan catatan penting yang ia minta. Bisa pula ia hanya membaca sebuah kitab
yang menyajikan informasi tentang manuskrip manuskrip itu, lalu ia mengutipnya,
dan ia salah kutip.
Dan kecurigaan penulis terkonfirmasi, bahwa
Alwi bin Tahir hanya mengirim surat (dan atau utusan) ke ahli nasab Irak itu,
ia tidak pergi ke Irak. Silahkan baca Uqud al-Almas halaman 13. Di halaman 13
itu, Alwi bin Tahir mengatakan ia mengirim surat kepada ahli nasab Irak
menanyakan tentang sebuah kitab (bukan kitab al-Ubaidili, tapi kitab lainnya).
Kenapa ketika bicara kitab al-Ubaidili dan alUmari ia tidak menyatakan tegas
bahwa ia hanya mengirim surat, tetapi ketika berbicara kitab lain ia menyatakan
dengan jujur bahwa ia hanya mengirim surat, tidak melihat manuskripnya?
Harusnya Gus Rumail faham. Kitab al-Ubaidili dan al-Umari adalah kitab paling tua,
kedudukannya sebagai saksi adalah saksi mahkota. Sangat penting adanya sebuah
kesan yang meyakinkan, tetapi tidak bisa dianggap berdusta. Sedangkan, kitab
lainnya itu hanya pelengkap, jadi walau hanya dengan mengetahui melalui tukilan
dalam sebuah surat, ia tidak menentukan apapun. Inilah kejelian yang harus
dimiliki oleh seorang peneliti dalam membaca kitab pengarang atau pentahqiq
yang dicurigai sering tipu tipu.
Ketika hari ini kita bisa
mengakses kitab al-Ubaidili dan alUmari (jika mau, dan dianggap penting, dengan
pergi ke perpustakaan seperti yang disebut dalam versi cetak), lalu isinya
berbeda dengan ―reportase‖ Alwi bin Tahir, lalu yang harus dianggap berdusta
yang mana ? apakah manuskrip yang tua itu, atau kitab Uqud al-Almas, kitab yang
dikarang dan di cetak 1968 yang berdasar tukilan surat saja? Sungguh dua
perbandingan yang tidak setara.
Nasab Ba Alawi dan sejarahnya hari
ini, diapit oleh kedustaan masa lalu yang tertelusuri dan kedustaan hari ini
yang terkonfirmasi. Aroma kedustaan masa lalu tentang gelar Sohib Mirbat;
tentang makam Ahmad bin Isa; tentang hijrahnya; tentang Abdullah bin Sohib
Mirbat yang mendapat ijajah; tentang Salim bin bashri; tentang bashri yang
katanya nama lain Ismail; tentang Jadid yang katanya saudara Alwi; dan masih
banyak lagi.
Fitnah terhadap Imam Murtada al-Zabidi (w.1204 H.) Hanif
menyatakan bahwa penulis memfitnah Murtadla alZabidi. Ceritanya waktu itu
penulis belum mengetahui bahwa kitab Al-Raudl al-jali adalah kitab palsu karya
Hasan Muhammad Qasim yang kemudian dipalsukan sebagai karya Murtadla al-Zabidi.
Penulis mengutip Arif Abdul Ghani yang mengatakan bahwa Murtadla alZabidi
menulis kitab itu karena permintaan gurunya Abdurrahman alIdrus pada umur 20
tahun.[21]
Jadi itu bukan pendapat penulis tetapi pendapat Arip Abdul Ghani.
Terlepas dari itu penulis sudah
mengetahui bahwa kitab AlRaud al-Jaliy sebenarnya bukan kitab karya Murtadla
al-Zabidi tetapi kitab palsu karya Hasan Muhammad Qasim.
Kitab ini disebut palsu karena,
Badzib, pen-tahqiq kitab Al raudul Jaliy dari Hadramaut,
mengatakan bahwa kemunculan kitab Al
Raudul Jaliy ini mencurigakan. Manuskrip kitab tersebut muncul berdasar
kronologi riwayat yang berakhir kepada sosok yang terbukti telah memalsukan
sebuah kitab. Sosok yang dimaksud adalah seseorang yang bernama Hasan Muhammad
Qasim (w. 1394 H.) yang berasal dari Mesir yang baru wafat 50 tahun yang lalu.
Menurut Badzib, Hasan Muhammad Qasim adalah tokoh pertama yang memunculkan
kitab Al Raud al Jaliy. Sebelumnya
tidak ada berita bahwa Syekh Murtada al Zabidi mempunyai sebuah kitab bernama
Al Raud al Jaliy (lihat Mukaddimah Kitab Al
Raudul Jaliy cetakan Darul Fatah h. 47).
Kronologi munculnya manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy tersebut, menurut
Badzib dalam mukaddimah cetakan kitab tersebut, berdasarkan pengakuan Alwi bin
Tahir al-Haddad (w.1962 M) yang memegang naskah itu: Hasan Muhammad Qasim
berteman dengan para Ba‘alwi yang tinggal di Mesir. Salah satu Ba‘alwi bernama
Ali bin Muhammad bin Yahya. Ali bin Yahya ini adalah murid dari Alwi bin Tahir.
Menurut Alwi bin Tahir, Ali bin Yahya tersebut kemudian mengirimkan kepadanya
sebuah salinan kitab Al-Raudul Jaliy
tulisan
Hasan Muhammad Qasim bertanggal 25 Sya‘ban 1352 H.,
menurutnya lagi, naskah itu disalin dari salinan tahun 1196 H. tulisan Abdul
Mu‘ti al Wafa‘i. katanya lagi, Abdul Mu‘ti ini manyalin dari tulisan asli Syekh
Murtada al Zabidi. Katanya lagi, manuskrip karya Abdul Mu‘ti itu tersimpan di
―Maktabah Sadat Al Wafaiyyah‖ di Mesir.[22]
Pertanyaannya: Benarkah salinan
asli tulisan Abdul Mu‘ti itu ada di ―Maktabah Sadat Al Wafaiyyah‖? Tidak ada.
silahkan di cek di perpustakaan ―Al- Wafaiyyah‖. Tidak ada manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy salinan abdul Mu‘ti.
Kitab Itu Jelas Palsu. Manuskripnya Palsu. Kitab Al-Raudlal-Jaliyi bukan tulisan Syekh Murtada Al Zabidi. Manuskrip
yang beredar sekarang berasal dari dua penyalin: pertama salinan Hasan Muhammad
Qasim tahun 1352 H; kedua salinan Tahir bin Alwi bin Tahir yang menyalin dari
Hasan Muhammad Qasim tersebut.
Lalu siapa Hasan Muhammad Qasim?
Ia adalah sosok yang telah terbukti menulis kitab “Akhbar al Zainabat” lalu disebut sebagai karya Al Ubadili al
‗Aqiqi (w. 277 H.) (lihat Al Raudl
al-Jaliy h. 48). Artinya ia menulis naskah palsu di zaman sekarang lalu
naskah itu diasosiasikan sebagai karangan ulama abad ke-3 H. Ba‘dzib
mencurigai, bahwa munculnya kitab Al-Raudl
al- Jaliy itu pun sama kejadiannya seperti kitab palsu “Akhbar al Zainabat.”[23]
Hasan tinggal di Mesir berteman dengan para
Ba‘alwi yang tinggal di sana seperti Abdullah bin Ahmad bin Yahya (w. 1414 H.)
dan Ali bin Muhammad bin Yahya (w. 1409 H.) (lihat kitab Al Raudl al-Jali h. 8). Jadi jelas, bahwa Hasan ini mempunyai
benang merah ketika menulis kitab Al-Raudl
al- Jaliy itu, yaitu adanya interaksi antara dia dengan para Ba‘alwi di
Mesir. Menurut penulis sangat patut diduga bahwa kitab itu ditulis oleh Hasan
Muhammad Qasim berdasarkan pesanan.
Lalu kenapa Ba‘dzib tetap mencetak
dan menerbitkan kitab itu, walaupun ia tahu bahwa kitab itu kemungkinan besar
adalah palsu? Badzib beralasan bahwa manuskrip kitab Al-Raudl al-Jaliy dalam bentuk microfilm
telah beredar di masyarakat, bahkan telah ada yang mencetak pula tanpa ada
penjelasan kesalahan-kesalahan dan perkaraperkara yang tidak layak dinisbahkan
kepada Syekh Murtada al Zabidi.[24]
Dengan dicetak ulangnya kitab Al Raud
al-Jaliy dengan disertai penjelasan kronologi kemunculan manuskrip itu,
Badzib mengharapkan masyarakat menyadari bahwa kitab Al-Raud al-Jaliy ini penisbatannya kepada Syekh Murtada al Zabidi
adalah “gairu maqtu” (tidak dapat
diputuskan final) ia bersifat “muhtamilah”
(kemungkinan) saja.[25]
Penulis memahami kenapa Ba‘dzib
berbasa-basi bahwa masih ada kemungkinan kitab itu dinisbahkan kepada Syekh
Murtada al Zabidi beserta banyaknya “qarinah”
(tanda-tanda kuat) yang menyimpulkan bahwa kitab itu bukan tulisan Syekh
Murtada al Zabidi, mengingat kedekatan Badzib dengan para tokoh-tokoh Ba‘alwi.
Bagi penulis, kitab itu jelas palsu dan bukan karya Murtada al Zabidi, ia
adalah tulisan Hasan bin Muhamad Qasim sendiri. Seperti dulu ia mengarang kitab “Akhbar al-Zainabat” lalu dikatakan
kitab itu karya Al Ubaidili al Aqiqi, kitab Al-Raud
al-Jali ini pun sama, ia mengarangnya lalu dikatakan ia karya Syekh Murtada
al Zabidi.
Untuk membuktikan kesimpulan
penulis itu benar atau salah sangat mudah: datangkan mansukrip yang katanya
ditulis oleh Abdul Mu‘ti tahun 1196 H. yang dikatakan oleh Hasan Muhammad Qasim
terdapat di Maktabah ―Al Wafaiyyah‖ dan bahwa ia menyalinnya dari salinan itu.
Penulis yakin seyakin yakinnya bahwa salinan itu tidak pernah ada.
Fitnah Terhadap Yusuf Jamalullail
Penulis menyatakan bahwa Yusuf
jamalullail telah menginterpolasi kitab Abna al-imam fi Mishra wa al-Syam al-hasan
wa al-Husain dengan berbagai macam dalil dan bukti. Lalu Hanif dkk. menyatakan
bahwa penulis hanya memfitnah.
Kitab Abna al-Imam adalah kitab palsu
yang dinisbahkan kepada Abu al-Mu‘ammar Yahya bin Thabathaba (w. 478 H.). kitab
versi cetak kitab ini di-tahqiq oleh
Yusuf Jamalullail Ba‘alwi; diterbitkan oleh ―Maktabah Jull al-Ma‘rifah‖ dan
―Maktabah AlTaubat‖ tahun 2004 M.
Kitab ini palsu dan tidak bisa
dijadikan pegangan karena di karang oleh pengarang yang berasal dari keluarga
Thabathaba yang wafat tahun 199 H. Tetapi menyebut nama Abdullah atau
Ubaidillah sebagai anak Ahmad bin Isa yang wafat tahun 383 H.. Bagaimana
seseorang yang telah wafat di tahun 199 H. bisa mencatat Ubaidillah yang wafat
tahun 383 H.? untuk menjawab pertanyaan itulah kemudian kitab itu diatribusikan
kepada keluarga Thabathaba yang lain yaitu Abul Mu‘ammar Yahya yang wafat tahun
478 H. seperti yang ditulis dalam jilid kitab tersebut.
Tetapi perhatikan ibarat kitab Abna‟ al-Imam dalam mukaddimah, ia masih
mencantumkan tahun 199 H. sebagai tahun wafat pengarang kitab tersebut.
Keluarga Thabathaba yang wafat di tahun 199 H. adalah Muhammad bin Ibrahim
Thabathaba [Al-Kamil fi al-Tarikh 5/464]
bukan Abul Mu‘ammar Yahya bin Thabathaba, karena ia wafat tahun 478 H. Yusuf
Jamalullail Ba‘alwi juga mengakui bahwa kitab ini tidak murni tulisan Abul
Mu‘ammar, tetapi isinya telah ditambahi oleh tiga ulama di abad 12 dan 13
Hijriyah, mereka adalah: Abi Shadaqah al-Halabi (w. 1180 H.), Abul Aun Muhammad
al-Safarini (w.1188 H.) dan Muhammad bin Nashar Ibrahim Al-Maqdisi (w.1350 H.).
Jadi, kitab ini adalah kitab yang sangat problematis dan tidak konsisten. Ia
tidak bisa disebut tulisan ulama abad ke-2 atau abad ke-5 karena isinya telah
ditambahi oleh para ulama abad ke-12 dan ke-14 Hijriyah, bahkan patut diduga
yang menyebut nama Abdullah atau Ubaidillah itu adalah Yusuf Jamalullail
sendiri.
Pengkhiantan Ilmiyah
Sulit Menerima Rujukan yang mengabsahkan Nasab Ba’alwi
Hanif dkk. menuduh penulis
melakukan pengkhianatan ilmiyah karena tidak menerima kitab-kitab rujukan
Ba‘alwi yang mencatat nasab Ba‘alwi. penulis tidak menerima kitab-kitab rujukan
Ba‘alwi karena dibatasi oleh kaidah-kaidah ilmu nasab seperti: Ba‘alwi
mensodorkan kitab-kitab abad sembilan dan setelahnya, sedangkan mereka tidak
mampu membawakan satupun kitab nasab abad ke-8 H. yang mencatat nasab mereka.
Dalam kaidah ilmu nasab, kitab yang bisa digunakan hujjah tentang nasab adalah
kitab-kitab nasab, sedangkan sejak abad ke-4 H. sampai abad ke-9 H. tidak ada
satupun kitab nasab yang mencatat mereka sebagai dzuriyat Nabi.
Kedua: ada kitab nasab yang mereka
sodorkan, katanya dari abad ke-5 H. yaitu kitab Abna al-Imam, tetapi terbukti
kitab itu kitab palsu. Karya seorang yang hidup di tahun 199 H. lalu disebut
ditulis tahun 478 H.
Ketiga: mereka mensodorkan
manuskrip-manuskrip palsu seperti manuskrip Hasan al-Allal, Abul Qasim
al-Naffat, Al-Arba‘un karya Syarif Abul jadid, Musnad Faqih Muqoddam dsb. Semua
itu kitab palsu yang tidak ada sumbernya. Diciptakan hari ini lalu diatribusikan
ditulis ulama masa lalu.
Mengenai kitab-kitab yang ditahqiq oleh Ba‘alwi seperti kitab
Tuhfat al-Zaman, Tarikh Ibnu Hisan, tarikh Syunbul,
Tuhfat alZaman, Tabaqat al-Khawash, semua itu telah mengalami interpolasi,
dicetak tidak sesuai naskah aslinya. Walau kitab-kitab tersebut misalnya tidak
terdeteksi diinterpolasi sekalipun, kitab-kitab tersebut bukanlah kitab nasab
yang dapat dijadikan hujjah. Apalagi dalam keadaan sekarang yang telah terbukti
diinterpolasi.
Hanif dkk. mengatakan:
―… Imaduddin menuduh bahwa semua kitab yang ditahkik
oleh kalangan Ba'alawi harus dicurigai kebenarannya. Sebaliknya, Imaduddin
begitu saja mengutip pendapat Abdullah al-Habsyi yang meragukan integritas
Habib Salim ibn Jindan dalam periwayatan nasab dan sejarah. Semestinya, jika
konsisten, ia akan menerima pendapat Abdullah al-Habsyi, bukan hanya pendapat
yang meragukan integritas Habib Salim ibn Jindan.‖[26]
Dari kalimat
di atas jelas hanif tidak mengerti cara kerja ahli nasab dalam meneliti nasab.
para peneliti nasab, ketika meneliti kesahihan nasab suatu klan, tidak akan
menggunakan kitab-kitab yang ditulis oleh klan itu sendiri kecuali sebagai
hujjah kelemahan nasab klan itu sendiri.
Abdul Majid al-Qaraja dalam kitabnya Al-kafi
al-Muntkhab: ات١صلحة فان ظهرت مصلحة عند ات١ثبت او النافي
يتًك قولو-5- غالبا ، وقد يعمل بنقيض مصلحتو في حالات ت٥صصة،
ولا يؤخذ بقولو
الا اذا وجد ما يعضده عند غتَه ت٦ن ليست ت٢م مصلحة ولم
ينقلوا عن من لو مصلحة،"
Terjemah:
―Yang kelima adanya al-maslahat (kepentingan). Maka
jika dari seorang yang meng-itsbat dan menafikan (nasab) jelas ada kepentingan
maka biasanya pendapatnya ditinggalkan. Kadang dalam hal-hal tertentu
pendapatnya dapat digunakan jika bertentangan dengan kepentingannya. Dan tidak
dapat diambil pendapatnya kecuali dikuatkan oleh ulama lainnya yang tidak
berkepentingan. Para ulama nasab tidak mengutip dari orang yang punya
kepentingan.‖[27]
Perhatikan kalimat ―Walam yanqulu
‗an man lahu mashlahatun‖ (Para ahli nasab tidak mengutip pendapat orang yang
punya kepentingan). Perhatikan pula kalimat ―Wa qad yu‘amlu binaqidi
mashlahatihi‖ (Terkadang pendapatnya diambil jika berbalik dari
kepentingannya). Maka sudah tepat ketika penulis mengambil pendapat Abdullah
Muhammad al-Habsyi ketika melemahkan Salim bin Jindan di satu sisi, dan
mengabaikan segala usaha skandal ilmiyahnya untuk menyambungkan nasab Ba‘alwi
di sisi lainnya, karena begitulah para ahli nasab bekerja.
Menggunakan Teori
Tetapi Mengabaikan Ba’alwi Hanif dkk. mengatakan:
―Imaduddin kerap menggunakan teori dari seorang ulama untuk
menyerang Ba‘alawi, sementara ulama itu sendiri menerima dan mengakui nasab
Ba‘alawi. Imaduddin menggunakan teorinya, tetapi mengabaikan isbat yang
dilakukan ulama tersebut. Sikap ini, selain menunjukkan standar ganda Imad,
juga menunjukkan kekeliruannya dalam memahami teori yang ia pergunakan.‖[28]
Lalu Hanif memberi contoh ketika
penulis mengutip pendapat Ibnu Hajar ketika berpendapat wajib menjaga nasab
Nabi dari para pencangkok tetapi mengabaikan kutipan Ibnu Hajar tentang nasab
Ba‘alwi dalam kitabnya.
Inipula menunjukan Hanif dkk.
tidak ilmiyah dalam menghadapi suatu persoalan. Hanif melihat kebenaran bukan
berdasarkan daliltetapi berdasarkan individu yang mengatakan, seakan ulama itu
bersifat maksum. Jika Hanif dkk. itu ilmiyah, maka ketika melihat pendapat
seorang ulama itu logis dan ilmiyah kita ikuti, jika tidak kita abaikan. Itulah
cara kerja manusia ilmiyah. ketika Ibnu hajar mengatakan wajib kita menjaga
nasab Nabi dari para pencangkok, kalimat itu logis dan ilmiyah, maka penulis kutip.
ketika ia mengutip nasab Ba‘alwi tanpa meneliti, itu tidak logis dan tidak
ilmiyah, penulis mengabaikannya. kita tidak boleh mensucikan kata-kata ulama
seakan ia adalah Al-Qur‘an yang mutlak harus diterima. Itulah cara kerja
ilmiyah. Pakar nasab Syekh Kholil bin Ibrahim mengatakan:
وينبغي على باحث الأنساب أن لا يقدس النصوص، فكل
نص عدا كلام الله وحديث رسولو صلى الله عليو والو، فهو يخضع
للتحقيق والتدقيق وىو معرض للخطأ والصواب
Terjemah:
―Dan seyogyanya bagi peneliti nasab untuk tidak
menganggap suci teks-teks (tentang kutipan nasab). maka setiap teks selain
kalam Allah dan hadits Rasulullah SAW ia tunduk untuk bisa diteliti dan
didalami; ia bisa salah dan benar.‖[29]
Menuntut kitab
Sezaman Padahal Ia Tidak Menggunakan Sumber Sezaman
Hanif mempertanyakan kepada
penulis, kenapa penulis menuntut sumber sezaman tetapi referensi penulis bukan
kitab sezaman. Penulis menjawab, kitab sezaman itu penting dihadirkan jika ada,
jika tidak ada maka kitab yang paling mendekati yang dapat ditemukan. Untuk
nasab Ahmad bin Isa yang paling mendekati adalah kitab Tahdzib al-Ansab tahun
435 H. Tidak ada kitab nasab yang lebih tua dari itu yang menyebut Ahmad bin
Isa. kitab tersebut telah penulis hadirkan bersama kitab abad lima lainnya
yaitu Al-Majdi dan Muntaqilat al-Thalibiyah. Kemudian kitab abad ke-6
Al-Syajarah alMubarakah yang menyebut seluruh nama anak Ahmad bin Isa yang
berketurunan: Muhammad, Ali dan Husain. Tidak ada lagi kitab nasab yang lebih
tua yang menyebut seluruh nama anak Ahmad bin Isa yang berketurunan selain
Al-Syajarah al-Mubarakah.
Kemudian Hanif dkk. dalam bukunya
tersebut tidak bisa menghadirkan kitab nasab yang menyebut nama keluarga
Abdurrahman Assegaf selain kitab Tuhfat al-Thalib
tahun 996 H. yang bertentangan dengan kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad
keenam. Tentu kitab Tuhfat al-Thalib itu tertolak sebagai hujjah nasab
Ba‘alwi karena
isinya bertentangan dengan kitab yang lebih tua. Pakar nasab Syekh Khalil bin
Ibrahim dalam kitab Muqaddimat fi ‗Ilm alAnsab mengatakan: وأعلم أن ات٠بر إذا كان يباين ات١عقول ويخالف ات١نقول -24 ويناقض
الأصول فهو منحول أي موضوع، وات١نحول وات١وضوع لا . يحتج بها
Terjemah:
―Kaidah nasab yang ke-42 adalah: Dan ketahuilah
bahwa informasi jika bertentangan dengan logika dan referensi dan bertentangan
dengan ushul maka ia informasi palsu yakni maudlu‘. Informasi yang palsu dan
maudlu‘ tidak dapat dijadikan sebgai hujjah‖[30]
Perhatikan kalimat “Yubayinul manqul wa yukhaliful ushul”
(Berbeda dengan riwayat tertulis dan bertentangan dengan kitab-kitab asal).
Kerap Menolak
Validitas Kitab Yang Mengitsbat Ba’alwi Namun Menerima Begitu Saja Kitab Yang
Menolak Ba’alwi
Hanif kembali menuduh penulis penulis
bahwa penulis menolak validitas kitab yang mengitsbat Ba‘alwi. pertanyaannya:
mana kitab nasab yang diajukan Ba‘alwi? tidak ada satupun kitab nasab yang
diajukan Ba‘alwi untuk membela nasabnya. Yang mereka ajukan adalah kitab nasab
setelah abad ke-9 H. yang bertentangan dengan kitab nasab sebelumnya.
Sanggupkah Ba‘alwi menyajikan kitab nasab sebelum abad ke-9 H. bawa kitabnya
jika ada.
Kebohongan Dalam Pengutipan
Hanif dkk. menuduh penulis
berbohong dalam pengutipan, padahal yang berbohong itu adalah pembuat kitab
Al-Raudl al-jaliy. Kitab tersebut menyatakan Al-Ubaidili menyatakan bahwa Ahmad
bin Isa hijrah ke Hadramaut dan mempunyai anak bernama Abdullah, padahal
keterangan tersebut tidak ada dalam kitab Al-Ubaidili, Tahdzib al-Ansab.
Silahkan pembaca kroscek kitab Tahdzib al-Ansab, lalu saksikan siapa yang
berbohong.
Hanif beralasan bahwa kutipan itu
bukan ada dikitab AlUbaidili yang berjudul Tahdzib al-Ansab, tetapi ada di
kitab lainnya. Sekarang wahai tuan, bawakan kitab Al-Ubaidili yang lain yang
menyebut Ahmad bin Isa hijrah ke Hadramaut dan mempunyai anak bernama Abdullah.
Bawa kitabnya jika ada!
Salah satu
pola para pemalsu nasab sudah disebutkan oleh pakar nasab, yaitu ia berhujjah
dengan nama besar seorang ahli nasab, lalu dikatakan ia menulis sebuah kitab,
padahal kitab itu tidak pernah ada. Syaikh Husain bin Haidar berkata: م ثل أن ينسب لأحد رجال السلسلة كتاباً يزعم أنو
ألفو ، ثم يزعم .. أن الكتاب فقد ، أو احتًق ، أو تلف ، أو لا يدكن
إظهاره وما ذلك إلا لأن الكتاب لا واقع لو أصلاً
Terjemah:
―Seperti ia menisbahkan seorang ahli nasab kepada
sebuah kitab yang katanya ia menulisnya kemudian katanya kitab itu hilang atau
terbakar atau hancur atau tidak mungkin menghadirkannya.
Tidaklah yang demikian itu dikatakan kecuali bahwa
memang kitab itu tidak pernah ada sama sekali.‖[31]
Memelintir Dalil Al-Qur’an dan Sunnah Tentang
Gelar Habib Hanif dkk. menuduh penulis memelintir dalil Al-Qur‘an
dan
Sunnah. Yaitu ketika penulis mengatakan bahwa tidak
ada istilah
―Habib‖ untuk keturunan Nabi dalam Islam, yang ada adalah
orang
Yahudi dan Nashrani mengaku dirinya sebagai ―Ibnun‖ (anak)
dan ―Habib‖ (kekasih)-nya Allah sesuai yang ada dalam Al-Qur‘an Surat
Al-Maidah:18. Yang mau membantah silahkan cari satu
dalil dari AlQur‘an atau Al-hadits yang menyatakan bahwa keturunan Nabi
Muhammad SAW harus bergelar ―Habib‖. Tidak ada.
Hanif Alatas dkk. membawakan hadits di bawah ini
sebagai dalil gelar
―Habib‖ untuk keturunan Nabi‖
وقال رزين بن عبيد: كنت عند ابن عباس رضي الله
عنهما فأتى زين العابدين علي بن اتٟستُ، فقال لو ابن عباس: مرحبا باتٟبيب ابن
اتٟبيب.
"Razin ibn Ubaid mengatakan: 'Aku bersama Ibn
Abbas r.a., lalu datang Zainal Abidin Ali ibn al-Husain. Ibn Abbas berkata
kepadanya, "Selamat datang, wahai kekasih (al-Habib) putra Sang Kekasih
(al-Habib)."
Hadits di atas tidak ada “Wijhat al-Dilalah” (Arah dalil) untuk
dijadikan dalil bahwa keturunan Nabi harus bergelar ―Habib‖. Ini menunjukan
bahwa Hanif dkk. tidak mengerti metode ―istikhraj alhukmi an al-nushus‖ (mengeluarkan
hukum dari teks). Jika ucapan Ibnu abbas kepada Zainal Abidin (anak Sayyidina
Husain) ―Selamat datang wahai habib putra habib (kekasih putra kekasih)‖
dijadikan dalil keturunan Nabi harus bergelar ―Habib‖, maka keturunan Nabi
Ibrahim AS harus bergelar ―Karim‖ berdasarkan hadits sahih di bawah ini:
عن ابن عمر رضي الله عنهما أن رسول الله الله عليه وسلم قال : الكرنً ابن الكرنً ابن
الكرنً ابن الكرنً يوسف بن يعقوب بن إسحاق بن
إبراىيم عليهم السلام
Terjemah:
―Diriwayatkan dari Umar RA bahwa sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: Al-Karim putra Al-karim putra Al-Karim putra
Al-Karim: Yusuf bin Ya‘qub bin Ishaq bin Ibrahim.‖ (H.R.
Bukhari)
Ketika Nabi menggelari Nabi Yusuf
sebagai Al-Karim dan ayahnya, Nabi Ya‘qub, sebagai Al-Karim, dan keduanya
adalah keturunan Nabi Ibrahim, maka berarti semua keturunan Nabi Ibrahim
berarti bergelar ―Karim‖, padahal tidak ada keturunan Nabi Ibrahim hari ini
menggunakan gelar ―Karim‖. Demikian jika kesesatan logika Hanif dkk. itu kita
terima.
Tidak Ada Hadits Sahih
Tentang Kewajiban Mencintai
Keturunan
Nabi Hanif dkk. mengatakan:
―Selain memelintir ayat Al-Qur'an, Imaduddin juga
menyatakan bahwa tidak ada hadis sahih yang memerintahkan umat untuk mencintai
habaib dzurriyah (keturunan) Nabi Saw. Tentu saja pernyataan Imaduddin itu
salah besar. Kita bisa menemukan banyak hadis sahih yang menegaskan pentingnya
mencintai dan menghormati keturunan Nabi Muhammad Saw., dan juga
mencintai habaib dzurriyah Nabi Saw.‖[32]
Pernyataan Hanif Itu adalah
kedustaan yang nyata. Tidak ada satupun hadits sahih yang mewajibkan umat islam
mencintai habaib. Memangnya Habib itu siapa sehingga ada hadits yang mewajibkan
mencintai mereka. Habaib itu bukan keturunan Nabi Muhammad SAW; haplogroupnya
G. bukan J1; Nasabnya tidak dicatat kitab nasab dari abad 4-9 H.; sejarahnya
kosong melompong, tidak ada kitab sejarah yang mencatat nama Faqih Muqoddam
sampai abad 9 H.
Mengenai keturunan Nabi, memang
tidak ada satupun hadits sahih yang mewajibkan umat Islam mencintai keturunan
Nabi. Jika ada silahkan tunjukan. Hanif bernarasi ada haditsnya tetapi ia tidak
menunjukannya, kenapa? Karena Hadits yang dimaksud bukanlah untuk keturunan
tetapi untuk Ahlu Baitinnabiy: Ali, Fatimah, hasan dan Husain.
Pengambilan Kesimpulan Yang Serampangan
Ba’alwi adalah Keturunan Qahtan
Setelah Syarif Abul Jadid tertolak
sebagai keturunan Ahmad bin Isa melalui anak bernama Abdullah, karena adanya
kitab Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan dengan tegas bahwa Ahmad bin Isa
tidak mempunyai anak bernama Abdullah. Maka penulis menyimpulkan nama Aba Alwi
itu adalah keturunan Qahtan sebagaimana yang ditulis oleh Al-Hamadani dalam
kitabnya Al-Iklil. Al-Hamadani berkata:
فهؤلاء بنو علوي بن عيان وقد قلوا في ديَر
همدان، ولم يبق منهم إلا بيت آل عاصم وآل روشا وآل حكيم أبيات صغار. ومن أشراف بتٍ
علوي شريح بن مالك، ولا أدري إلى أي ىذه البطون ىو. وقد يقول بعض علام أرحب: إن
علوي صغر وكبّر. يقولون: أولد علوي بن عليان بن علوي ،فأولد عليان بن علوي علوي
الأصغر ومنو انتشرت بنو علوي انقضت بنو علوي .
Terjemah:
―Maka mereka adalah Banu Alwi bin ‗Ayan, mereka telah
sedikit di kampung-kampung negara Hamadan, dan tidak tersisa dari mereka
kecuali rumah Keluraga Alu ‗Asim, Alu Rausha, Alu Hakim, keluarga-keluarga
kecil. Dan sebagian dari Bani
Alwi adalah Shuraih bin Malik, aku tidak tahu dari keluarga
mana ia. Dan berkata sebagian cendikiawan Arhab
bahwa Alwi kadang di ―tasgir‖ (menjadi ‗Ulawi), kadang pula tidak di‖tasgir‖
(Alwi). Mereka berkata Alwi bin Alyan bin Alwi mempunyai anak. Alyan bin Alwi
mempunyai anak Alwi yunior. Darinyalah menyebar Banu Alwi. Selesai pembicaraan
Banu Alwi.‖[33]
Hanif dkk. tidak bisa menyebutkan
satupun kitab nasab sebelum abad ke-9 H. yang menyebut nama Syarif Abul Jadid
sebagai keturunan Ahmad bin Isa. dengan itu apa yang ditulis Al-Suluk yang
menyambungkan nasab Syarif Abul Jadid kepada Ahmad bin Isa tertolak oleh kitab
nasab Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan tidak ada anak Ahmad bin Isa
yang bernama Abdullah. Selain itu, Hanif dkk. juga tidak bisa menyajikan kitab
sebelum abad ke-9 H. yang menyebutkan bahwa keluarga Abdurrahman al-Saqqaf
adalah bagian dari keluarga Syarif Abul Jadid. Dengan itu keluarga
Ba‘alwiAbdurrahman Assegaf bukan hanya tertolak menjadi keturunan Ahmad bin
Isa, ia pula tertolak menjadi bagian keluarga Syarif Abul Jadid.
Kakek Ba’alwi Adalah Sepupu langsung bani Ahdal
Hanif Alatas dkk. menyanggah bahwa Ba‘alwi dan Bani
Ahdal adalah sepupu langsung. Padahal kitab-kitab sejarah mencatat mereka
―Ibnul ‗am‖ (sepupu). Asal makna kalimat sepupu adalah sepupu langsung kecuali
ada dalil yang menyatakan lain. Syaikh Musa‘id al-Thayyar mengatakan:
إذا كان للفظِ مدلولانِ، أحدهما قريبٌ متبادرٌ
للذِّىنِ، والْخرُ بعيدٌ، وتٝعْتَ متكلِّماً يتكلم بهذا اللفظِ، فإنَّ الغالبَ أن
يتبادرَ إلى ذىنِكَ ات١عتٌ الظاىِرُ القريبُ، دون ات١عتٌ البعيدِ الذي لا يوصَلُ
إليو إلاَّ بتقليبِ النظرِ في ات١عاني المحتملةِ .
Terjemah:
―Apabila suatu lafad mempunyai dua makna: yang
pertama makna dekat yang langsung difahami dan yang lain makna jauh, dan engkau
mendengar orang berbicara dengan lafadz ini maka biasanya makna yang difahami
hatimu adalah makna dzahir yang dekat bukan makna jauh yang tidak sampai
kepadanya kecuali dengan membolak-balikan pemikiran dalam maknamakna yang
berkemungkinan‖.[34]
Ahmad bin Isa
Tidak Pernah Hijrah ke Hadramaut Hanif dkk. mengatakan:
―Tidak diperlukan rujukan berupa kitab-kitab yang
ditulis pada masa Imam Ahmad al-Muhajir hidup untuk membuktikan bahwa ia dan
keluarganya telah hijrah dari Bashrah ke
Hadramaut.‖223
Hanif menyerah kalah. Bahwa memang
tidak ada satu kitab-pun di masa Ahmad bin Isa yang menyatakan Ahmad bin Isa
berhijrah dari Bashrah ke Hadrmaut. Jangankan kitab semasa, kitab abad ke-8 H.
saja tidak ada yang menyatakan bahwa Ahmad bin Isa berhijrah ke Hadramaut.
Dongeng hijrahnya Ahmad bin Isa hanya baru muncul di abad ke-9 H. dari
kitab-kitab Ba‘alwi seperti Al-Burqah dan Al-Jauhar al-Syafaf. Dari sini
mukibin (pendukung Ba‘alwi) harusnya memahami: bagaimana orang yang tidak
pernah hijrah ke hadramaut makamnya ada di sana?
[1]
Ridla Kahhalah, Mujam al-Muallifin, Juz 5 h.178
[2]
Hanif dkk…h.278
[3]
Hanif dkk…h.262-283
[4]
Al-Janadi…
juz 2 h. 360
[5] Al-Husain bin Abdurrahman
bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat alZaman fi
Tarikh Sadat al-Yaman (Maktabah al-Irsyad, San‟a, 1433 H.) juz 2 h. 238
[6]
Al-Husain
al-Ahdal…juz 2 h. 238
[7]
Lihat Al-Ubaidili…h. 248
[8]
Lihat Al-Ubaidili… h. 147
[9]
Al-janadi…juz
2 h. 135-136
[10]
‗Ali
bin Abubakar al-Sakran,… h. 150
[11] Abu Bakar bin Abil Qasim
bin Ahmad al-Ahdal, “Al-Ahsab al-‟Aliyyah
fi 199al Al-Ansab al-Husain al-Ahd‟Aliyyah”-Ahdal…juz 2 h. 238
(T.pn. T.tp. T.t.) h. 4
[12]
Al-janadi… juz 2 h. 361
[13]
Muhammad bin Muhammad bin yahya bin Abdullah bin Ahmad bin
Ismail
bin Husain bin Ahmad Zabarat al-Son‟ani, Nail
al-Hasanain bi Ansab min al-Yaman min Buyut Itrat al-Hasanain, dicetak
bersama Al-Anba‟ min Daulat Bilqis wa
Saba (Maktabah al-Yaman al-Kubra, Son‟a, 14014 H.) h. 121
[14] Abdullah Muhammad
al-habsyi, dalam Al-Husain bin Abdurrahman bin Muhammad al-Ahdal, Tuhfat
al-Zaman fi Tarikh Sadat al-Yaman
(Maktabah al-Irsyad, San‟a, 1433 H.) footnote juz
2 h. 238
[15] Abubakar bin Abil Qasim
bin Ahmad al-Ahdal, Al-Ahsab al- Aliyyah fi al-Ansab al-Ahdaliyah, h. 4
[16]
Hanif dkk…h. 286
[17]
Alwi
bin Tahir, Footnote Uqud al-Almas: juz 2 h. 7
[18]
Al-Ubaidili…h.
176
[19]
Al-Umari,
Al-Majdi h. 337
[20]
Hanif dkk…h. 230
[21]
Lihat Murtada al-Zabidi, Tahqiq Arif Abdul Ghani, h. 13-14
[22]
lihat
Muratada al-Zabidi, Al- Raudl al- Jali
h. 7).
[23]
Lihat
Ibid
[24] Ibid h.49
[25]
ibid
[26]
Hanif dkk…h.305
[27]
Abdul Majid al-Qaraja, Al-Kafi al-Muntkhab, 49
[28]
Hanif dkk…h.314
[29]
Khalil bin Ibrahim, h. 85
[30]
Khalil bin Ibrahim, Muqaddimat fi „Ilm al-Ansab, h. 88
[31]
Husain bin Haidar…h. 166
[32]
Hanif dkk…h.324
[33]
Al-Hamadani, Al-Iklil (Al-Maktabah al-Syamilah, T.tp. T.t.) h. 36
[34] Musaid al-Thayyar,
Al-Tafsir al-Lughawi lil Qur‟an al-karim, 491 223 Hanif dkk…h.339

Posting Komentar untuk "Lanjutan Bab II: KH Imadudin Al-Bantani: Menjawab Framing Fitnah Kepada Para Ulama"
Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...